Masa Kecil dan Remaja
Muhammad Ali dilahirkan dengan nama awal Cassius Marcellus
Clay, Jr. Sosok yang dilahirkan pada 17 Januari 1942 silam di Louisville,
Kentucky, Amerika Serikat yang terkenal dengan
perbedaan etnis yang kental itu merupakan seorang mantan petinju professional
keturunan kulit hitam yang pada zamannya dianggap memiliki kedudukan dan martabat
yang lebih rendah dibandingkan orang berkulit putih. Ayahnya bernama Cassius
Marcellus Clay, Sr yang berprofesi sebagai pelukis papan nama dan reklame di
pinggir jalan, sedangkan ibunya yang bernama Odessa Grady Clay berprofesi
sebagai pembantu rumah tangga. Ia memiliki seorang adik laki-laki bernama
Rudolph Rudy Clay yang kemudian berganti nama menjadi Rahman Ali.
Siapa yang menyangka bahwa kehilangan sepeda BMX baru
miliknya pada tahun 1954 silam mengantarkan Ali kepada kancah pertijuan.
Semuanya berawal ketika Ali masih berusia 12 tahun. Sepeda yang baru saja
dibelikan oleh orangtuanya raib diambil pencuri. Ali kecil pun akhirnya
melaporkan kejadian ini kepada seorang polisi di Louisville yang bernama Joe
Martin yang kebetulan juga merupakan seorang pelatih tinju. Akhirnya Martin pun
mengajari Ali untuk bertinju agar dapat menghajar si pencuri. Ali sangat
antusias dalam berlatih tinju di bawah bimbingan Martin. Musibah inilah yang
membuat Ali berkenalan dengan dunia tinju yang kemudian digelutinya hingga
menjadi juara dunia tinju sejati.
Sejak kecil, Ali sudah merasakan perbedaan perlakuan yang
dikarenakan oleh warna kulitnya. Hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk
belajar tinju agar dapat membalas perlakuan jahat teman-temannya yang berkulit
putih disamping tujuan awalnya yaitu untuk menghajar si pencuri. Ali pun diberi
karunia yang memudahkannya berlatih tinju, yaitu kelebihan fisik serta otot yang
kuat.
Masa Keemasan Karir
Muhammad Ali pertama kali memenangkan pertandingan tinju
pertamanya saat ia masih berusia 12 tahun. Lawannya dikalahkan dengan angka
tipis. “Saya adalah yang terhebat. Saya akan menjadi juara dunia,” kata Ali
seusai pertandingan. Enam tahun berselang, keahlian Ali semakin bertambah
dengan keberhasilannya mengalahkan petinju-petinju tangguh di Olimpiade Roma,
1960. Usia Ali saat itu menginjak 18 tahun. Ia meraih medali emas kelas berat
ringan.
Selama karir amatirnya, total debut pertandingan Ali
tercatat sebanyak 105 kali. Ali menang sebanyak 100 kali dan kalah sebanyak 5
kali. Tak lama kemudian, tepatnya pada 29 Oktober 1960 ia memulai debutnya
sebagai petinju profesional melawan Tunney Hunsaker. Ali menang angka dalam
pertarungan 6 ronde.
Setelah empat tahun kemudian tepatnya pada 25 Februari 1964
Ali berhasil merebut gelar juara dunia kelas berat dengan menang TKO ronde 7
dari 15 ronde yang direncanakan atas Sonny Liston di Florida, AS. Pertandingan
itu diberi nama “Clay Liston I”. Kemenangan itu membungkam keraguan banyak
orang akan pertarungan ini. Pertarungan ini berlangsung singkat dan berakhir
sebelum bel ronde ke-7 berdering. Saat itulah Ali benar-benar menjadi juara
dunia. Liston mengalami cedera pada leher yang membuatnya tak merespon dan
mengundurkan diri dari jalannya pertandingan.
Ali memiliki cara unik sebelum bertanding melawan Liston.
Ia mendatangi rumah tetangganya satu per satu. Ia ketuk pintu setiap rumah yang
didatanginya dan mengatakan bahwa dialah juara dunia sejati. Hal ini dilakukan
semata-mata untuk mengokohkan mentalnya untuk melawan Liston, juara dunia tinju
kelas berat saat itu. Tetangganya keheranan. Ali dianggap bercanda bahkan tidak
waras.
Padahal, saat itu Ali-lah menjadi underdog. Sebelum
pertandingan, denyut nadi Ali mencapai angka 120 kali per menit, sangat jauh
dari kebiasaannya yang berkisar 50-60 kali per menit. Hal ini diperkirakan
merupakan kegelisahan Ali sesaat sebelum melawan rivalnya itu. Namun ketika
pertarungan berlangsung, ia berhasil mengubah kegelisahannya menjadi sebuah
“alat” untuk memecut semangatnya. Liston adalah petinju yang ditakuti karena
memiliki pukulan yang sangat keras yang membuat lawannya bertumbangan di atas
ring tinju. Muhammad Ali menjadi juara dunia tinju kelas berat ini pada usia 22
tahun, usia yang masih sangat belia. Hal ini membuat ia dinobatkan menjadi
pemegang rekor petinju termuda yang berhasil meraih gelar tersebut. Jagat tinju
dunia pun sontak geger dibuatnya.
Karir Ali di dunia pertinjuan pun berlanjut. Pada 25 Mei
1965, Ali melakukan tanding ulang melawan Liston. Pertandingan tersebut
dinamakan “Ali Vs. Liston II” yang penuh kontroversi. Pukulan Ali yang begitu
cepat menimbulkan spekulasi di kalangan para ahli tinju yang menyebut pukulan
Ali sebagai “Phantom Punch.” Pukulan itu begitu cepat, sehingga tidak tampak
mengenai Liston yang roboh. Banyak isu-isu yang berkembang, diantaranya
termasuk suap dan ancaman orang-orang Nation of Islam (organisasi yang menjadi
tempat Ali bernaung setelah memeluk Islam) terhadap Liston dan keluarganya.
Tapi Liston membantah semua itu dengan menyatakan pukulan Ali menghantam-nya
dengan keras.
Kontroversi kembali dilakukan Ali, walau kali ini bukan di
atas ring tinju. Pada tahun 1967-1970 Ali dikenakan skors
oleh Komisi Tinju karena menolak program wajib militer pemerintah Amerika
Serikat dalam menghadapi perang Vietnam. Bukan hanya diskor, namun gelar yang
berhasil ia raih pun dicabut serta ia dijebloskan ke dalam penjara. Ungkapannya
yang terkenal dalam menolak wajib militer ini adalah, "Saya tidak ada
masalah dengan orang-orang Vietcong, dan tidak ada satupun orang Vietcong yang
memanggilku dengan sebutan Nigger!".
Muhammad
Ali pun sempat mengalami kekalahan ketika bertarung melawan Joe Frazier pada
tanggal 8 Maret 1971 di New York, Amerika Serikat. Pertandingan itu diberi
tajuk “the Fight of the Century”. Pada saat itu, kekalahan Ali disebabkan oleh
kalah point dan Ali harus rela untuk melepaskan “mahkotanya” sebagai juara
dunia tinju kelas berat kepada rivalnya itu. Joe Frazier menang mutlak atas
Muhammad Ali dalam pertarungan melelahkan tersebut selama 15 ronde. Joe,
pemegang sabuk juara tiga versi badan tinju, bertarung menghadapi Ali, seorang
petinju yang tak terkalahkan. Pada ronde ke-11, Ali hampir saja roboh setelah
terkena hook kiri Joe. Ali kalah mutlak 8-6-, 19-6, dan 11-4. Itu-lah
awal dari “trilogi maut.”
Kekalahan Ali yang kedua terjadi
pada 31 Maret 1973. Kali ini ia harus bertekuk lutut ketika melawan Ken Norton.
Dalam duel maut yang berlangsung selama 12 ronde ini, Norton dinyatakan sebagai
pemenang setelah skor yang diperolehnya mengalahkan skor Ali. Tak
tanggung-tanggung, Ali mengalami cedera yang serius karena rahangnya yang
patah akibat serangan beringas Norton. Akhirnya Norton pun dijuluki “si
Penghancur Rahang” akibat aksinya ini. Duel Ali
Vs. Norton pernah berlangsung tiga kali dimana dua diantaranya dimenangkan oleh
Ali.
Pada 28 Januari 1974, duel bebuyutan
yang kedua kalinya terjadi antara Ali dan Frazier di Amerika Serikat.
Pertandingan ini diberi tajuk sebagai “Ali Vs Frazier II”. Hasilnya, Ali
berhasil menang untuk pertama kalinya kerika melawan Frazier.
Pada 30 Oktober 1974, untuk kedua
kalinya sejak 25 Februari 1964 , Ali berhasil merebut kembali gelar juara dunia
kelas berat WBC dan WBA setelah mengalahkan George Foreman di Kinsasha, Zaire,
pada ronde ke-8. Pertandingan itu dikenal sebagai “Rumble in the Jungle.”.
Keadaan Ali saat itu tidak diunggulkan. Pasalnya selain sebagai juara dunia,
George Foreman memiliki rekor yang sangat menawan yaitu tidak pernah kalah
selama 40 kali pertarungan. Selain itu, Foreman baru saja merobohkan Ken
Norton, dan Joe Frazier yang sebelumnya berhasil menjadi juara dunia kelas
berat serta berhasil membuat Ali bertekuk lutut. Keduanya dikalahkan oleh
George Foreman pada ronde kedua.
Setahun kemudian, pertandingan
mengesankan lainnya dipersembahkan Ali pada 1 Oktober 1975. Presiden Ferdinand
Marcos memboyong pertandingan Ali versus Frazier untuk yang ketiga kalinya ke
kota Manila, Filipina. Publik menamai pertarungan tersebut “the Thrilla in
Manila.” Frazier
yang kelelahan akhirnya terpaksa menyerah dan tidak melanjutkan pertarungan
pada istirahat menjelang ronde ke-15. Ali menang TKO pada ronde ke-14 dalam pertandingan yang sangat seru
dan menegangkan, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu pertandingan tinju
terbaik abad ini. Setelah itu, saat akan wawancara dengan
televisi, Ali terjatuh karena kehabisan tenaga. Setelah istirahat beberapa
menit, wawancara baru bisa dilakukan, tapi Ali harus duduk di bangku karena
sudah kehabisan tenaga. “Frazier adalah petinju terhebat yang pernah saya
hadapi,” kata Ali saat itu.
Ali
kembali mengukir sejarah pada 15 September 1978 ketika ia mengalahkan Leon
Spinks dengan angka dalam 15 ronde di New Orleans, Amerika Serikat. Ali
mengukuhkan dirinya sebagai petinju pertama yang merebut gelar juara kelas
berat sebanyak 3 kali.
Pada 6 September 1979, dunia pertinjuan sempat dibuat gempar setelah Ali
menyatakan mundur dari ring tinju dan gelar juara dunia dinyatakan kosong.
Suatu keputusan yang sangat bijaksana mengingat faktor kesehatan Ali yang akan
semakin menurun seiring perjalanan waktu.
Setahun kemudian “Ali is Back!”.
Suatu ungkapan yang tepat ketika Ali kembali ke ring tinju pada tanggal 2
Oktober 1980. Ia melawan bekas kawan latih tandingnya, Larry Holmes, yang telah
menjadi juara dunia kelas berat dalam pertandingan yang diberi judul “The Last
Hurrah”. Dalam pertandingan yang berat sebelah, Ali tidak mampu berkutik,
sedangkan Holmes tampaknya tidak tega untuk “menghabisi” Ali yang tak berdaya.
Ali menyerah dan mengundurkan diri pada ronde ke-11. Holmes dinyatakan menang
TKO terhadap Ali.
Meski
telah mengidap gejala sindrom Parkinson yang belum ada obatnya, Ali yang
jiwanya telah terpanggil untuk menjadikan tinju sebagai jalan hidupnya pun
belum mau mengibarkan bendera putih dan tetap ingin bertanding kembali. Sekali
lagi, pada 11 Desember 1981 silam, Ali yang sudah uzur mencoba kembali ke dunia
tinju melawan Trevor Berbick di Bahama dalam pertandingan yang diberi tajuk
“Drama in Bahama.” Dalam kondisi renta itu, Ali mampu tampil lebih bagus
daripada saat melawan Holmes, walaupun akhirnya harus menelan kekalahan yang
pahit saat kalah angka 10 ronde. Setelah pertandingan itu, Ali benar-benar
pensiun seutuhnya dari dunia pertinjuan yang telah mengibarkan namanya itu.
Ali tidak bisa lagi menari-nari dan beraksi. “Float
like a butterfly, sting like a bee”. “Kejarlah saya, saya menari, saya menari.
Coba ikuti saya,” ujar Ali pada setiap lawannya. Parkinson menggerogoti
tubuhnya sejak 1984. Meski penyakit itu belum ada obatnya, Ali tetap tidak mau
menyerah. Ia bahkan sempat tampil sebagai pembawa obor saat Olimpiade Atlanta
pada 1996. Saat itu, jutaan penonton televisi harus menahan haru ketika melihat
Ali yang perkasa berjuang keras mati-matian untuk mengatasi gemetar di tangannya
demi menyulut obor Olimpiade yang berlangsung di Atlanta, Amerika Serikat.
Kehidupan Spiritual
Ali mengucapkan kedua kalimat syahadat di atas ring tinju,
diiringi kilatan kamera dan tepuk riuh penonton serta disaksikan jutaan
penonton layar kaca di seluruh dunia setelah menang melawan Sony Liston pada 25
Februari 1964. Ia mengumumkan nama barunya saat itu, yaitu Muhammad Ali. Nama
ini merupakan pemberian seorang tokoh Muslim dari Nation of Islam (NOI), Elijah
Muhammad, tahun 1964. Ketika itu, Elijah membuat sebuah pernyataan umum dalam
suatu siaran radio dari Chicago, ”Nama Clay ini tidak menyiratkan arti
ketuhanan. Saya harap dia akan menerima dipanggil dengan nama yang lebih baik.
Muhammad Ali, nama yang akan saya berikan kepadanya selama dia beriman kepada
Allah dan mengikuti saya.” kata Elijah.
Nama Muhammad sendiri merupakan sebuah nama yang sangat
menakjubkan yang diambil dari Nabi panutan umat Islam, yaitu Nabi Muhammad SAW,
sedangkan Ali merupakan nama yang diambil dari menantu Nabi Muhammad SAW yang
juga merupakan salah satu dari keempat Khalifah pengganti Nabi SAW. Ketika
kedua nama tersebut dirangkaikan, maka akan menjadi Muhammad Ali.
“Ini sesuai fitrahku sebagai manusia ciptaan Allah”, kata
Ali saat ditanya alasan keputusannya memeluk Islam. “Islam tidak
membeda-bedakan warna kulit, etnis, dan ras. Semuanya sama di hadapan Allah
SWT. Yang paling utama di sisi Tuhan mereka adalah yang paling bertakwa. Aku
meyakini bahwa aku sedang berada di depan sebuah kebenaran yang tak mungkin
berasal dari manusia”, lanjut Ali.
Kembalinya Ali ke fitrah kebenaran membutuhkan waktu
bertahun-tahun untuk berfikir, ini dimulai tahun 1960, ketika seorang teman
muslim menemaninya pergi ke masjid untuk mendengarkan pengajian tentang Islam.
Ketika mendengarkan ceramah, Ali merasakan panggilan kebenaran memancar dari
dalam jiwanya, menyeru dirinya untuk menggapainya, yaitu kebenaran hakikat
Allah, agama dan makhluk.
Masuk Islamnya bukanlah akhir dari segalanya tapi baru
permulaan, karena hari itu adalah hari kelahirannya yang sebenarnya. Dia
memulai hidup barunya dari sini, dia tinggalkan seluruh masa lalunya yang
bertentangan dengan Islam dan memfokuskan perhatiannya hanya kepada Allah.
Surat yang pertama kali dia hafal adalah surah Al-Fatihah yang memulai
perjalanan kedamaian serta keimanan.
Keyakinannya terhadap Islam makin bertambah manakala Ali
membaca terjemahan Al-Qur'an. ”Aku bertambah yakin bahwa Islam adalah agama
yang hak, yang tidak mungkin dibuat oleh manusia. Aku mencoba bergabung dengan
komunitas Muslim dan aku mendapati mereka dengan perangai yang baik, toleransi,
dan saling membimbing. Hal ini tidak aku dapatkan selama bergaul dengan
orang-orang Nasrani yang hanya melihat warna kulitku dan bukan kepribadianku.”,
paparnya.
Sejak saat itu, ia kerap membelanjakan uangnya beberapa
ratus ribu dolar untuk buku-buku dan pamflet-pamflet Islami demi memperkenalkan
agama barunya itu. Dia percaya bahwa bukan hanya kaum Muslim, tetapi juga orang
Kristen dan Yahudi yang takut pada Tuhan juga akan masuk surga.
Selama tiga tahun sebelum pertarungannya untuk
memperebutkan gelar juara dunia kelas berat dengan Sonny Liston, Ali telah
menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh NOI.
Kehadiran Ali diberitakan oleh koran Daily Nezus di Philadelphia pada September
1963. Pada Januari 1964, dia membuat sensasi besar dengan berbicara di sebuah
rapat Muslim di New York.
Beberapa minggu kemudian, ayahnya mengatakan bahwa Ali
telah bergabung dengan NOI. Kendati demikian, Ali belum memberikan pernyataan
publik tentang keikutsertaannya dalam NOI. Akan tetapi, dia sibuk mempelajari
Islam di bawah bimbingan Kapten Sam Saxon (sekarang Abdul Rahman) yang dijumpai
Ali di Miami pada 1961.
Ali juga merenungkan ajaran Islam dan membaca surat kabar
yang diterbitkan NOI. Di samping itu, ia juga mencari bimbingan dan saran dari
Malcolm X, tokoh NOI lainnya, yang dijumpainya di Detroit pada awal 1962.
Sebelum pertandingan Ali melawan Liston, Malcolm
mengunjungi Ali sebagai pribadi, bukan sebagai wakil Elijah. Malcolm menganggap
Ali sebagai adiknya dan menasihatinya. Nasihat Malcolm ini justru menjadi
pemicu semangatnya untuk bertekad mengungguli Liston. Walaupun merasa takut
menghadapi Liston, akhirnya Ali menang dalam pertandingan. Pertandingan
tersebut berakhir sebelum bel ronde ke-7 berbunyi. Dengan kemenangan
tersebut, dunia memiliki seorang juara baru di arena tinju.
Pada buku biografi Ali yang diluncurkan pada tahun 2004,
Ali mengaku sudah tidak bergabung dengan Nation of Islam, tapi bergabung dengan
jamaah Islam Sunni pada tahun 1975.
Ketika para dokter di Amerika Serikat memvonisnya dengan penyakit
Sindrom Parkinson, Ali mengatakan bahwa dia telah mendapatkan hidup yang baik
sebelumnya dan sekarang. Dia tidak membutuhkan simpati dan belas kasihan. Dia
hanya ingin menerima kehendak Allah SWT. Penyakitnya ini, menurutnya, merupakan
cara Allah SWT merendahkannya untuk mengingatkan pada kenyataan bahwa tak ada
seorang pun yang lebih hebat dari Allah.
Dengan sikap yang tegar, kuat, dan penuh percaya diri,
Muhammad Ali merupakan seorang muslim yang benar-benar menjalankan keyakinannya
dengan sangat baik. Putri Muhammad Ali yang bernama Hanna Yasmeen Ali, buah
perkawinannya dengan Veronica Porche Ali (istri ketiga) pernah mengungkapkan
kehidupan dan spiritualitas Muhammad Ali. Hanna mengatakan, ayahnya adalah
orang yang sangat taat dalam menjalankan perintah agama. Bahkan, ia tak
segan-segan untuk bersikap keras dan tegas terhadap anggota keluarganya yang
tidak mau menjalankan perintah Allah. Sikap ini dibuktikan Ali dengan
menceraikan istrinya yang pertama, Sonji Roi, pada tahun 1966. Karena, menurut
Ali, istrinya tersebut tidak menunjukkan sikap sebagai seorang Muslim.
Hanna menambahkan, ayahnya tidak pernah meninggalkan shalat
lima waktu. ”Sesibuk apa pun, ayah akan senantiasa mengerjakan shalat lima
waktu,” ujar Hanna. Bahkan, Ali juga senantiasa berupaya melaksanakan shalat
fardhu secara berjamaah di masjid. ”Walaupun jaraknya membutuhkan waktu hingga
20 menit perjalanan, ayah akan selalu berupaya pergi ke masjid.” jelas Hanna.
”Spiritualitas ayah saya sangat tinggi. Dari sikapnya yang
sangat religius itu, ia praktikkan dalam kehidupan sehari-hari, menyayangi
sesama, melakukan kegiatan sosial, dan mendorong banyak orang untuk senantiasa
rajin mendekatkan diri kepada Tuhan,” terangnya lagi.
Ketika terjadi peristiwa 11 September 2001 akibat serangan
teroris terhadap dua menara kembar World Trade Center (WTC) hingga memunculkan
tuduhan terhadap Islam sebagai agama teroris, Ali pun tampil ke publik dan
menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan oknum dan bukan Islam. Ia
menyatakan, aksi tersebut merupakan perbuatan orang-orang yang keliru dalam
memahami Islam secara benar. ”Islam adalah agama yang damai dan cinta akan
kedamaian”.
Ali pun kerap memberikan nasehat kepada anak-anaknya agar
senantiasa menjalankan perintah Allah. Ini dibuktikan ketika Hana (putri Ali
dari Veronica) menginjak remaja, ia pertama kali bertemu dengan ayahnya sesudah
perceraiannya. Pertemuan singkat itu terjadi di Hotel Disneyland, Anaheim,
California dimana Ali dan istrinya saat itu, Lonnie sedang menginap. Saat itu,
Hana mengenakan kaos tank top mini berwarna putih dan sepotong celana pendek
berwarna hitam. Ketika Ali masih menjadi suami ibunya, Hana tidak pernah
mengenakan pakaian minim seperti itu. Ketika sampai, pak supir mengantarkan
Hana dan adiknya Laila ke kamar sang Ayah. Seperti biasa, Ali sang Ayah
bersembunyi di balik pintu untuk mengejutkan kedua putrinya itu. Mereka bertiga
saling berpelukan dan melepas kerinduan selama seharian itu. Ali memperhatikan
kedua putrinya dengan seksama. Naluri sang ayah membuat Ali menatap kedua bola
mata putrinya dalam-dalam, sembari berkata, “Hana, segala sesuatu yang Allah
jadikan berharga di dunia ini semuanya disembunyikan dan sulit untuk dijangkau.
Dimana engkau akan menemukan permata? Jauh di dalam tanah, tersembunyi dan
terlindungi. Dimana engkau akan menemukan mutiara? Jauh di dasar samudra,
tertutup dan terlindungi oleh cangkang yang indah. Dimana engkau akan menemukan
emas? Jauh di dalam tambang, tertutup oleh berlapis-lapis batuan. Engkau harus
berusaha keras untuk mendapatkan semua itu.” terang Ali kepada putrinya itu.
“Tubuhmu masih suci. Engkau lebih berharga daripada permata, mutiara, bahkan
emas. Oleh karena itu, tubuhmu harus ditutupi juga”, lanjut Ali.
Ali dan Indonesia
Ali, yang pernah dinobatkan sebagai “Petinju Terbesar Abad
ini” oleh BBC dan “The Sportsman of the Century” oleh Sport Illustrated pada
tahun 1999, sempat datang berkunjung ke Indonesia. Ali pertama kali
menginjakkan kakinya di tanah Ibu Pertiwi pada tahun 1973. Pada 20 Oktober 1973
perhelatan akbar antara Ali bertarung melawan Rudi Lubbers berlangsung, selama
12 ronde dalam pertandingan kelas berat tanpa gelar di Istora Senayan, Jakarta.
Oleh publik dan pers Indonesia, pertandingan Ali Vs Lubbers disebut-sebut
sebagai pertandingan eksibisi belaka, namun nyatanya ini adalah pertandingan
resmi walau tidak memperebutkan gelar.
Setelah beberapa kali melakukan kunjungan ke Indonesia, Ali
yang memang telah pensiun dari dunia tinju itu terakhir kali menginjakkan
kakinya di bumi Pertiwi pada 23 Oktober 1996 dan sempat bertemu beberapa
pejabat tinggi negeri ini. “Sebuah negara yang unik, dimana penduduknya sangat
bersahabat dan selalu tersenyum kepada siapa pun,” kesan Ali tentang Indonesia.
Masa Tua: Kesehatan yang Kian Memburuk
Disebutkan dalam laporan medis yang dilakukan di Mayo Clinic, sebelum pertandingan Ali Vs Holmes berlangsung, Ali sempat dinyatakan menderita gejala sindrom Parkinson sejak 1984 seperti tangan yang gemetar, bicara yang mulai lamban, serta ada indikasi bahwa terjadi kerusakan pada selaput (membran) di otak. Sindrom Parkinson merupakan penyakit khas yang menimpa para petinju dan biasanya disebabkan oleh sering terkena pukulan khususnya pada bagian kepala. Namun Don King sang promotor tinju merahasiakan hasil medis itu, sehingga pertandingan Ali Vs Holmes tetap berlangsung tanpa kendala. Sebelum pertandingan melawan Larry Holmes itu, Dr Ferdie Pacheco, dokter pribadi yang telah mendampingi Ali selama puluhan tahun, dengan terpaksa mengundurkan dirinya karena beranggapan bahwa Ali tidak mau mendengarkan nasehatnya untuk menolak atau membatalkan pertandingan melawan Holmes. Dalam salah satu buku biografi Muhammad Ali, Pacheco pernah mengemukakan bahwa selama latihan, Ali sempat kencing darah akibat kerusakan ginjal akibat terkena pukulan. Ia juga mengemukakan bahwa Ali sudah mengalami gejala sindrom Parkinson sejak sebelum pertandingan tersebut. Setelah pertandingan tersebut usai, cek medis ulang dilakukan dan hasilnya menguatkan hasil sebelumnya.Pada 20 Desember 2014, Ali dirawat di rumah sakit karena terkena pneumonia ringan. Ali kembali dirawat di rumah sakit pada 15 Januari 2015 karena mengalami infeksi saluran kemih, namun keesokan harinya Ali sudah keluar dari rumah sakit.
Pada 2 Juni 2016, Ali kembali dirawat di rumah sakit karena masalah pernapasan. Saat itu kondisi kesehatannya masih stabil. Hari berikutnya, kondisi Ali memburuk. Kondisinya tidak kunjung membaik, dan pada 3 Juni 2016 Ali meninggal dunia di usia 74 tahun.
Keluarga
Pasangan Hidup
Sebagai seorang petinju, Ali memiliki seorang istri dan
tiga mantan istri. Istri pertama yang dinikahi Ali adalah Sonji Roi. Mereka
berdua menikah pada 14 Agustus 1964. Dua tahun berselang tepatnya pada 10
Januari 1966, rumah tangga mereka kandas. Perceraian ini dilatar belakangi oleh
pendapat Ali yang menganggap bahwa Roi tidak berpakaian dan berperangai seperti
wanita muslimah.
Setelah bercerai dengan Roi, Ali pun kembali membangun
bahtera rumah tangganya dengan Belinda Boyd pada 17 Agustus 1967. Belinda pun
merubah namanya menjadi Khalilah Ali setelah resmi menikah. Ali dan Khalilah
akhirnya bercerai dikarenakan Khalilah mendapati Ali berselingkuh dengan wanita
lain, Veronica Porche Anderson. Dalam film dokumenter Ali "When We Were
Kings" ditunjukkan Khalilah 'melabrak' Ali di arena tinju, menjelang
pertandingan Ali Vs Foreman di Zaire, 1975 silam. Pada tahun 1977, Ali dan
Belinda resmi bercerai.
Pada tahun yang sama, Ali kembali menikah dengan seorang
model bernama Veronica Porche Anderson yang lebih dikenal dengan nama Veronica
Ali. Ali dan Veronica resmi bercerai pada tahun 1986.
Pada 19 November 1986, Ali kembali menikah dengan Yolanda
Lonnie Williams. Mereka berdua telah menjadi kawan semenjak 1964 di
Louisville.Hingga sekarang, Ali dan Lonnie tetap menjadi pasangan suami istri.
Buah Hati
Ali dikaruniai beberapa anak hasil dari pernikahannya
dengan istri kedua dan ketiganya, walau ia tak dikaruniai anak oleh istri
pertamanya, Roi. Dari istri keduanya, Khalilah Ali, ia dikaruniai sepasang anak
kembar bernama Jamilah dan Rasheda, Maryum, serta Muhammad Ali, Jr.Sedangkan
dari istri ketiganya, Veronica Ali, keduanya dikaruniai 2 anak, yaitu Hanna
Yasmeen Ali dan Laila Ali. Laila Ali bertekad untuk meneruskan perjuangan
ayahandanya menjadi seorang petinju wanita yang berangan untuk menjadi juara
dunia tinju wanita. Keinginannya menjadi seorang petinju itu diwujudkan pada
tahun 1999. Ali dan Lonnie tidak memiliki buah hati. Oleh karena itu, mereka
mengadopsi seorang anak yang diberi nama Asaad Amin yang diadopsi saat usia
Amin baru menginjak 5 bulan. Ali pun diketahui memiliki 2 orang putri dari
hubungan di luar pernikahan, yaitu Khaliah dan Miya, sehingga, diketahui Ali
memiliki 7 orang putri dan 2 orang putra.
sumber : noerarifinyusuf.blogspot.com/2015/06/biografi-muhammad-ali-sportsman-of.html
Bang bisa tolong ubah jadi link aktif nggak untuk sumbernya. Terima kasih :)
ReplyDelete