Oleh: KH. Abdurrahman Wahid
(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Persepsi, No. 1 Tahun 1982)
Selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih
mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam. Banyak
faktor pendorong kepada tumbuhnya anggapan seperti itu. Secara politis,
umpamanya dalam sejarah yang belum sampai satu abad, Marxisme-Leninisme
telah terlibat dalam pertentangan tak kunjung selesai dengan
negara-negara (dalam artian pemerintahan negara bangsa atau
nation
state), bangsa-bangsa dan kelompok-kelompok muslim di seluruh dunia.
Dalam Peristiwa Madiun 1948, umpamanya, kaum muslimin Indonesia
berdiri berhadapan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) karena dua
alasan. Pertama, karena PKI di bawah pimpinan Muso berusaha
menggulingkan pemerintahan Republik Indonesia yang didirikan oleh bangsa
yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kedua, karena banyak pemuka
agama Islam dan ulama yang terbunuh, seperti kalangan pengasuh Pesantren
Takeran yang hanya terletak beberapa kilometer di luar kota Madiun
sendiri. Kiaya Mursyid dan sesama kiai pesantren tersebut hingga saat
ini belum diketahui di mana dikuburkan.
Percaturan geo-politik saat ini pun menghadapkan Uni Soviet, kubu
pertama paham Marxisme-Leninisme kepada Dunia Islam, karena
pendudukannya atas bangsa muslim Afghanistan semenjak beberapa tahun
lalu. Selain itu, secara ideologis, Marxisme-Leninisme juga tidak
mungkin dipertemukan dengan Islam. Marxisme-Leninisme adalah doktrin
politik yang dilandaskan pada filsafat materialisme. Sedangkan Islam
betapa pun adalah sebuah agama yang betapa praktisnya, sekalipun dalam
urusan keduniaan, masih harus mendasarkan dirinya pada spiritualisme dan
kepercayaan akan sesuatu yang secara empiris sudah tentu tidak dapat
dibuktikan.
Apalagi Marxisme-Leninisme adalah pengembangan ekstrem dari filsafat
Karl Marx yang justru menganggap agama sebagai opium (candu) yang akan
melupakan rakyat dari perjuangan strukturalnya untuk merebut alat-alat
produksi dari tangan kaum kapitalis. Demikian pula dari skema penataan
Marxisme-Leninisme atas masyarakat, Islam sebagai agama harus
diperlakukan sebagai super struktur yang dibasmi, karena “merupakan
bagian dari jaringan kekuasaan reaksioner yang menunjang kapitalisme”,
walaupun dalam dirinya ia mengandung unsur-unsur antikapitalisme.
Atau dengan kata lain, yang menjadi bagian inti dari doktrin
Marxisme-Leninisme, Islam adalah “bagian dari kontradiksi internal
kapitalisme”. Dialektika paham tersebut memandang pertentangan antara
Islam dan kapitalisme hanya sebagai pertentangan subsider dalam pola
umum pertentangan antara kaum proletar melawan struktur kapitalisme yang
didirikan oleh kaum feodal.
Sebuah aspek lain dari pertentangan ideologis antara Islam dan
Marxisme-Leninisme dapat dilihat pada fungsi kemasyarakatan
masing-masing. Dalam kerangka ini, Marxisme-Leninisme berusaha mengatur
kehidupan bermasyarakat secara menyeluruh atas wawasan-wawasan rasional
belaka, sedangkan Islam justru menolak sekulerisme seperti itu.
Menurut ajaran formal Islam, pengaturan kehidupan bermasyarakat harus
diselaraskan dengan semua ketentuan-ketentuan wahyu yang datang dari
Allah. Pengaturan hidup secara
revelational (walaupun memiliki wawasan
pragmatis dan rasionalnya sendiri untuk dapat menampung aspirasi
kehidupan nyata), bagaimanapun juga tidak mungkin akan berdamai
sepenuhnya dengan gagasan pengaturan masyarakat secara rasional
sepenuhnya.
Tidak heranlah jika pengelompokan politik dan sosial budaya yang
memunculkan apa yang dinamai “golongan Islam” juga menggunakan pola
penghadapan dalam meletakkan Marxisme-Leninisme dalam hubungannya dengan
Islam. Seperti dalam forum yang melawan dan menentangnya.
Forum-forum formal Islam sendiri juga demikian, senantiasa meletakkan
Marxisme-Leninisme dalam kategori “ideologi lawan”. Atau dalam jargon
Rabithah al-Alam al-Islami (
Islamic Word Association) yang berkedudukan
di Makkah, “ideologi yang menentang Islam (
al-fahm al-mudhadli
al-islami).” Dalam forum-forum resmi internasional di kalangan kaum
muslimin, Marxisme-Leninisme dalam “baju” komunisme secara rutin
dimasukkan ke dalam paham-paham yang harus ditolak secara tuntas.
Sikap demikian dapat juga dilihat pada karya-karya tulis para
pemikir, ideolog dan budayawan yang menjadikan Islam sebagai kerangka
acuan dasar untuk menata kehidupan (dalam arti tidak harus dalam bentuk
negara theokratis atau secara ideologis formal dalam kehidupan negara,
tetapi sebagai semangat pengatur kehidupan). Para penulis “pandangan
Islam” itu memberikan porsi panjang lebar kepada penolakan atas ideolgi
dan paham Marxisme-Leninisme dalam karya-karya mereka.
Penolakan ini antara lain berupa sikap mengambil bentuk peletakan
“pandangan Islam” sebagai jalan tengah antara kapitalisme dan komunisme
atau menurut istilah Mustofa al-Siba’I, antara kapitalisme dan
sosialisme. Menurut pandangan mereka, kapitaisme akan membawa bencana
karena terlalu mementingkan kepentingan perorangan warga masyarakat,
karena sandarannya kepada individualisme. Sedangkan kolektivisme yang
menjadi ajaran Marxisme, diserap oleh Marxisme-Leninisme, justru akan
menghilangkan hak-hak sah dari individu yang menjadi warga masyarakat.
Islam menurut mereka memberikan pemecahan dengan jalan menyeimbangkan
antara “hak-hak masyarakat” dan “hak-hak individu”.
Melihat pola hubungan diametral seperti itu memang mengherankan.
Bahwa masih saja ada kelompok-kelompok Marxis-Leninis dalam
masing-masing lingkungan bangsa muslim mana pun di seluruh dunia. Bahkan
di kalangan minoritas muslim di negara yang mayoritas penduduknya
beragama bukan Islam, seperti Sri-Lanka, Filipina. Bukan karena adanya
orang-orang yang berpaham Marxis-Leninis, karena memang mereka ada di
mana-mana.
Tambahan pula, keadaan masyarakat bangsa-bangsa yang memiliki
penduduk beragama Islam dalam jumlah besar memang membuat subur
pertumbuhan paham itu. Secara teoritis, karena besarnya kesenjangan
antara teori kemasyarakatan yang terlalu muluk-muluk yang ditawarkan
dan kenyataan menyedihkan akan meluaskan kemiskinan dan kebodohan. Yang
menarik justru kenyataan bahwa oleh pemerintah negara-negara berpenduduk
mayoritas muslim, (kecuali sudah tentu di Indonesia), kalaupun dilarang,
maka bukan karena paham itu sendiri tidak dibiarkan secara hukum
negara, melainkan karena di lingkunngn bangsa itu tidak diperkenankan
adanya gerakan politik dari rakyat sama sekali, seperti Arab Saudi saat
ini.
Yang lebih menarik lagi justru adalah terus-menerus adanya upaya
untuk meramu ajaran Islam kepada atau dengan paham-paham lain, termasuk
Marxisme. Seperti yang saat ini dilakukan dengan giatnya oleh Muammar
Khadafi, pemimpin Lybia yang berperilaku eksentrik itu. Ternyata upaya
tersebut tidak terbatas pada “penggalian” konsep konsep Marx yang
nonkomunistis saja, tetapi juga mencapai “pengambilan” dari
Marxisme-Leninisme.
Secara formal, paham tersebut di larang di Lybia. Tetapi secara
faktual banyak unsur-unsur Marxisme-Leninisme ke dalam doktrin politik
Khadafi. Umpanya saja, pengertian “kelompok yang memelopori revolusi"
yang jelas berasal dari konsep Lenin tentang pengalihan pemerintah dari
kekuasaan kapitalisme (tidak harus yang berwatak finansial-industri,
tetapi cukup yang masih berwatak agraris belaka). Demikian juga konsep
“pimpinan revolusi”, yang dicanangkan sebagai “dewan-dewan rakyat”
(
al-jamariyah) sebagai satu-satunya kekuatan “pengawal revolusi” dari
kemungkinan direbut kembali oleh kapitalisme internasional.
Fenomena upaya meramu unsur Marxisme-Leninisme ke dalam teori politik
yang ditawarkan sebagai “ideologi Islam” sangat menarik untuk dikaji,
karena bagaimanapun ia mengandung dua aspek. Pertama, ia tidak terbatas
pada kalangan eksentrik seperti Khadafi, tetapi juga di kalangan
sujumlah pemikir muslim serius, semisal Abdel Malek be be Nabi dan Ali
Syari’ati. Saat ini pun, gerakan Mojaheddin el Khalq yang bergerak di
bawah tanah di Iran dan dipimpin oleh Masoud Rajavi dari Paris,
menggunakan analisis perjuangan kelas yang mengikuti acuan
Marxisme-Leninisem. Kedua, kenyataan bahwa upaya “meramu” tersebut
sampai hari ini masih mampu mempertahankan warna agamanya yang kuat.
Bukan proses akulturasi yang muncul, di mana Islam dilemahkan, melainkan
sebaliknya, terjadi penguatan ajaran-ajarannya melalui “penyerapan
sebagai alat analisis”.
Keseluruhan yang dibentangkan di atas menghendaki adanya kajian lebih
mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan
membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret
akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam
sebagai ajaran kemasyarakat dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi
politik.
Pemahaman dan pengertian seperti itu akan memungkinkan antisipasi
terhadap peluang bagi terjadinya “titik sambung” keduanya dinegeri ini.
Antisipasi mana dapat saja digunakan, baik untuk mencegahnya maupun
mendorong kehadirannya.
Salah satu cara untuk melihat titik-titik persamaan antara Islam dan
Marxisme Leninisme, keduanya sebagai semacam “ajaran kemasyarakatan”
(untuk meminjam istilah yang populer saat ini di kalangan sejumlah
theolog Katolik yang menghendaki perubahan struktural secara mendasar)
adalah menggunakan pendekatan yang disebut sebagai
vocabularies of
motive (keragaman motif) oleh Bryan Turner dalam bukunya yang terkenal,
Weber and Islam (hlm. 142).
Menurut pendekatan ini, tidak ada satu pun motif tunggal dapat diaplikasikan secara memuaskan bagi keseluruhan perilaku kaum muslimin sepanjang
sejarah mereka. Kecenderungan “agama” seperti tasawuf (mistisisme),
syariat (legal-formalisme), dan akhlak (etika sosial) dalam hubungannya
dengan kecenderungan “ekonomis”, seperti semangat dengan etos kerja
agraris, pola kemiliteran dan asketisme politis, ternyata menampilkan
banyak kemungkinan motivatif bagi perilaku kaum muslimin itu. Walaupun
pendekatan itu oleh Turner dipakai justru untuk mencoba melakukan
pembuktian atas kaitan antara Islam dan kapitalisme, bagaimanapun juga
penggunaannya sebagai alat untuk meneliti kaitan antara Islam
Marxisme-Leninisme akan membuahkan hasil kajian yang diharapkan.
Umpamanya saja, pendekatan ini dapat mengungkapkan adanya kesamaan
orientasi antara pandangan kemasyarakatan Marxisme-Leninisme yang
bersumber pada kolektivisme dan tradisi kesederhanaan hierarki dalam
masyarakat suku yang membenntuk masyarakat Islam yang pertama di Madinah
di zaman Nabi Muhammad.
Kesamaan orientasi tersebut dapat dilihat pada besarnya semangat
egalitarianisme dan populisme dalam kedua sistem kehidupan itu.
Orientasi kehidupan seperti itu mau tidak mau akan membawa sikap untuk
cenderung menyusun pola kehidupan serba senang kepada tindakan
(
action-oriented) dan menjauhi kecenderungan kontemplatif dan
meditatif.
Orientasi kepada tindakan ini demikian kuat terlihat dalam kehidupan
masyarakat Islam sehingga keimanan dan tuntasnya keterlibatan kepada
ajaran agama (dikenal dengan nama Rukun Islam) sepenuhnya diidentifisir
dengan “tindakan”. Dari syahadat (pengakuan akan keesaan Allah dan
kerasulan Muhammad), salat, zakat, puasa, hingga kewajiban menjalankan
peribadatan haji.
Walaupun Marxisme bersandar pada ajaran determinisme-materialistik
(dalam jargon sosialisme dikenal dengan nama historis-materialisme) dan
dengan demikian Marxisme-Leninisme mendasarkan ideologinya sampai titik
tertentu pada acuan tersebut, tetapi orientasinya kepada “sikap
aksional” tetap tampak sangat nyata. Justru acuan deterministik yang
mendorong kaum Marxis termasuk Marxis-Leninis, untuk mempersoalkan
struktur kekuasaan dan tindakan terprogram dalam memperjuangkan dan
kemudian melestarikan struktur masyarakat yang mereka anggap sebagai
bangunan kehidupan yang adil.
Orientasi inilah yang “menghubungkan” antara Islam dan
Marxisme-Leninisme, menurut versi pikiran orang-orang seperti Khadafi
dan Masoud Rajavi. Walaupun secara prinsipiil mereka menentang komunisme
sebagai ideologi dan memenjarakan pemimpin-pemimpin komunis serta
melawan mereka dalam bentrokan-bentrokan fisik.
Berbeda dengan mendiang Jamal Abdul Nasser dari Mesir, yang
berideologi sosialistik dan sedikit banyak dapat mentolerir kehadiran
pemimpin-pemimpin komunis, seperti Mustafa Agha di negerinya, walaupun
sering juga ditahan kalau ternyata masih melakukan aktivitas yang
dinilainya subversif. Sikap Nasser ini juga diikuti oleh kedua rezim
sosialis Ba’ath (kebangunan) yang berkuasa di Irak dan Syiria sekarang
ini.
Sebuah perkecualian menarik dalam hal ini, karena perbedaan ideologis
yang ada dapat “dijembatani” oleh kesamaan orientasi di atas adalah
kasus Parta Tudeh di Iran. Pertai yang nyata-nyata berideologi
Marxis-Leninis itu ternyata hingga saat ini masih dibirakan hidup oleh
rezim revolusi Islam di Iran, walaupun gerakan gerilya Fedayen el Khalq
yang juga Marxis-Leninis justru ditumpas dan dikejar-kejar.
Ternyata kesamaan orientasi populistik dan egalitarian anatara
ideologi Islam dan Marxis-Leninisme dihadapan lawan bersama imperialisme
Amerika Serikat menurut jargon mereka, mengandung juga benih-benih
kontradiksi interen antara kaum mula dan kaum Marxis-Leninis Iran,
selama yang terakhir ini tidak mengusik-usik kekuasaan Partai Republik
Islam, selama itu pula mereka ditolerir.
Dari sudut pandangan ini, sikap kaum muslimin Indonesia yang menolak
kehadiran Marxisme-Leninisme melalui ketetapan MPR adalah sebuah
anomali, yang hanya dapat diterangkan dari kenyataan bahwa telah dua
kali mereka dikhianati oleh kaum komunis di tahun 1948 dan 1965.
Penolakan dengan demikian berwatak politis, bukannya ideologis.
Hal ini menjadi lebih jelas, jika diingat bahwa kaum muslimin
Indoesia sudah tidak lagi memiliki aspirasi mereka sendiri di bidang
ideologi, tetapi meleburkannya ke dalam ideologi “umum” bangsa,
Pancasila.
Kenyataan seperi ini memang jarang dimengerti, karena tinjauan yang
dilakukan selama ini atas hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme sering
sekali bersifat dangkal, melihat persoalannya dari satu sisi pandangan
saja, itu pun yang bersifat sangat formal. Wajar sekali kalau kaitan
dengan Marxisme-Leninisme tidak diakui secara formal di kalangan
gerakan-gerakan Islam, tetapi diterima dalam praktek. Seperti
wajarnya”garis partai” yang menolak kehadiran agama di negara-negara
komunis, tetapi dalam praktek diberikan hak melakukan kegiatan serba
terbatas.
Melihat kenyataan di atas, menjadi nyata bagi mereka yang ingin
melakukan tinjauan mendalam atas Maexisme-Leninisme dari sudut pandangan
Islam, bahwa harus dilakukan pemisahan antara sikap Islam yang
dirumuskan dalam ajaran resmi keagamaannya dan “sikap Islam” yang tampil
dalam kenyataan yang hidup dalam bidang politik dan pemahaman secara
umum.
Banyak pertimbangan lain yang mempengaruhi hubungan antara Islam dan
Marxisme-Leninisme dalam praktek, sehingga tidak dapat begitu saja
digeneralisasi tanpa mengakibatkan penarikan kesimpulan yang salah.
Demikian juga, dalam melihat kaitan dalam praktek kehidupan pemeintahan,
tidaklah cukup kaitan itu sendiri diidentifikasikan sebagai sesuatu
yang sumir dan berdasarkan kebutuhan taktis belaka, seperi yang
disangkakan pihak Amerika Serikat atas hubungan Khadafy dan Uni Soviet.
Karena sebenarnya yang terjadi adalah proses saling mengambil antara dua
ideologi besar, tanpa salah satu harus mengalah terhadap yang lain.
Betapa tidak permanennya hubungan itu sekalian, karena keharusan tidak
boleh mangalah kepada ideologi lain, kaitan antara Islam dan
Marisme-Leninisme memiliki dimensi ideologinya sendiri yaitu kesamaan
sangat besar dalam orientasi perjuangan masing-masing.
Kalau diproyeksikan terlebih jauh ke masa depan, bahkan akan muncul
varian lain dari pola hubungan yang telah ada itu yaitu dalam hasil
akhir ideologis dari upaya yang sedang dilakukan sejumlah intelektual
muslim untuk mendalami sumber-sumber ajaran Islam melalui analisis
pertentangan kelas yang menjadi “merek dagang” Maxisme-Leninisme.
Ayat-ayat Al-Qur’an, ucapan nabi dalam hadits dan penjelasan ulama
dalam karya-karya mereka diperiksa kembali “wawasan kelas”-nya,
digunakan sudut pandangan sosial-historis untuk melakukan penfsiran
kembali atas “pemahaman salah” akan sumber-sumber ajaran agama itu.
Zakat sebagai salah satu Rukun Islam, umpamanya, dilihat secara
kritis sebagai alat populistik untuk menata orientasi kemasyarakat kaum
muslimin dalam pengertian struktural. Lembaga tersebut diwahyukan dengan
beban terbesar atas penyelenggaraan hidup bermasyarakat pada pundak
lapangan pertanian sebagai profesi kaum elite Madinah waktu itu (karena
membutuhkan masukan modal sangat besar, tidak seperti usaha dagang
kecil-kecilan di pasar yang menjadi kerja utama kebanyakan penduduk
Madinah). Pendekatan struktural dalam menafsirkan kembali ajaran agama
itu bagaiamanapun akan membawa kepada kesadaran akan pentingnya analisis
perjuangan kelas untuk menegakkan struktur masyarakat yang benar-benar
adil dalam pandangan Islam.
Di pihak lain, semakin berkembangnya pemahaman “humanis” atas
Marxisme-Leninisme, seperti dilakukan Partai Komunis Italia dewasa ini
akan membawa apresiasi lebih dalam lagi tentang pentingnya wwaasan
keagamaan ditampung dalam perjuangan kaum Marxis-Leninis untuk
menumbangkan struktur kapitalis secara global.
Hal ini sebenarnya sudah disadari oleh sejumlah teoritisi
Marxis-Leninis sejak dasawarsa 30-an dari abad ini, semisal
Gramsci. Sudah tentu akan muncul aspek kesamaan orientasi kemasyarakatan
antara Islam dan Marxisme-Leninisme dengan dilakukan kajian-kajian di
atas yang antara lain sedang dilakukan oleh Mohammad Arkoun dan Ali
Merad, yang dua-duanya kini tinggal di Perancis.
sumber : https://gusdurkita.wordpress.com/2015/07/01/pandangan-islam-tentang-marxisme-leninisme/