TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Sunday, November 27, 2016

Biografi Daan Mogot


Daan Mogot (lahir di Manado, Sulawesi Utara, 28 Desember 1928 – meninggal di Lengkong, Tangerang Selatan, Banten, 25 Januari 1946 pada umur 17 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia dan mantan anggota (dan pelatih) PETA di Bali dan Jakarta pada tahun 1942-1945. Setelah Perang Dunia ke-2 selesai, ia menjadi Komandan TKR di Jakarta dengan pangkat Mayor. Bulan November 1945 mendirikan sekaligus menjadi Direktur Pertama Akademi Militer Tangerang (MAT) dalam usia 17 tahun. Ia gugur di Hutan Lengkong, di selatan Kota Tangerang, bersama 36 orang lainnya dalam pertempuran melawan tentara Jepang saat hendak melucuti senjata mereka di Hutan Lengkong di Tangerang.

Masa Kecil

Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 28 Desember 1928 dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien), diberi nama Elias Daniel Mogot dan dipanggil Daan Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hakim Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex Kawilarang (Panglima Divisi Siliwangi, serta Panglima Besar PERMESTA) dan Inspektur Jenderal Polisi A. Gordon Mogot (mantan Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Utara).

Pada tahun 1939, ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia (sekarang Jakarta) dan menempati rumah di Van Heutsz Plein (sekarang bernama Jalan Cut Mutia di Jakarta Pusat). Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang di timur Meester Cornelis (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur).

Bergabung dengan PETA di Masa Pendudukan Jepang

Pada tahun 1942, Jepang menduduki Hindia Belanda. Pada tahun itu juga, Daan Mogot direkrut ke Seinen Dojo, pasukan paramiliter pribumi bentukan Jepang di Tangerang. Di pasukan tersebut, Daan menjadi angkatan pertama. Sebenarnya usia Daan Mogot belum memenuhi syarat yang ditentukan pihak Jepang yakni 18 tahun, ia waktu itu masih berumur 14 tahun. Namun karena kepandaiannya dan prestasinya selama pendidikan militer, Daan justru dipromosikan menjadi pembantu instruktur Pembela Tanah Air (PETA) di Bali pada tahun 1943. Semasa di Bali, ia mendapatkan dua sahabat karib, yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis. Mereka bertemu saat bersama 47 orang lainnya mengikuti pendidikan gerilya (“guerilla warfare”) di bawah pimpinan Kapten Yanagawa. Selain mereka, peserta lainnya adalah Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Satibi Darwis dan Effendi.

Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris bersama beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih para calon anggota PETA di Bali. Jepang mengganggap Bali sebagai daerah pertahanan strategis dan tempat pendaratan potensial bagi musuh. Untuk itu kekuatan dipersiapkan, terutama di daerah-daerah Tabanan, Negara dan Klungkung. Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot melatih di Tabanan, Kemal Idris di Nagara dan Zulkifli Lubis di Klungkung. Sekalipun ketiga sahabat itu terpisah-pisah tempat tugasnya, namun mereka selalu mengadakan kontak, baik membicarakan hal yang berhubungan dengan latihan maupun tentang nasib rakyat yang sedang menderita di bawah penjajahan. Kegiatan latihan yang spesifik saat itu ialah mempersiapkan pertahanan guna menghadapi serangan musuh di pantai.

Selama setahun para Shodancho di Bali menjalankan tugas dengan baik. Tahun 1944 mereka harus berpisah. Daan Mogot, bersama 3 orang Shodancho lainnya harus kembali ke Jawa, sedangkan Zulkifli Lubis dan Kemal Idris yang tetap tinggal di Bali. Mereka bertindak sebagai instruktur PETA, memberikan latihan kepada calon-calon perwira hingga mereka mahir dalam berbagai bidang ketentaraan. Sedangkan Daan ditempatkan sebagai Staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945.

Bergabung dengan BKR di Masa Kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR) dan mendapat pangkat Mayor. Ini hal yang menarik, mengingat usia Daan Mogot saat itu baru 16 tahun. Daan Mogot bertugas di bawah Letnan Kolonel Moefreni Moe'im, seorang mantan Daidanco PETA dari Daidan I Jakarta. Pasukan yang menaungi wilayah Karesidenan Jakarta dan Meester Cornelis dan bermarkas di Jalan Cilacap No. 5. Sejumlah perwira ex-PETA yang bergabung di pasukan tersebut, antara lain Singgih, Daan Jahja, Kemal Idris, Daan Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin (Resimen Cikampek), Darsono (Resimen Cikampek), dan lain-lain.

Mendirikan Akademi Militer Tangerang

Berbekal pengalamannya sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot, bersama rekan-rekannya sesama perwira menengah TKR, seperti Kemal Idris, Daan Jachja dan Taswin, menggagas pendirian akademi militer untuk melatih calon-calon perwira TKR dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Gagasannya ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta dan pada 18 November 1945 berdirilah Militaire Academie Tangerang (MAT) dan Daan Mogot pun dilantik sebagai Direktur.

Pada tahap awal direkrutlah 180 orang calon kadet angkatan pertama yang akan dilatih menjadi perwira. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku Jakarta. Mereka dipersiapkan menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje) Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, dan Sersan Sirodz.

Pada saat yang hampir bersamaan, yaitu pada tanggal 5 November 1945, di Yogyakarta juga berdiri sebuah Militaire Academie Yogya (MAY).

Pertempuran Lengkong

Pada tanggal 24 Januari 1946, Kepala Staf Resimen IV Tangerang Mayor Daan Jahja menerima informasi intelijen bahwa pasukan Belanda dan KNIL sudah menduduki Parung dan akan merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki Belanda bulan Maret 1946). Gerakan militer Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.

Tanggal 25 Januari 1946 sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada Komandan Resimen IV Tangerang Letnan Kolonel Singgih, berangkatlah pasukan di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70kadet MA Tangerang dan 8 tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira, yaitu Mayor Wibowo, Letnan Satu Soebianto Djojohadikoesoemo dan Letnan Satu Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira Corps Polisi Militer (CPM). Strategi ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata tentara Jepang yang sudah menyerah tidak jatuh ke tangan kepada tentara Belanda.

Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di depot senjata Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Kadet MAT diserahkan kepada Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo untuk menunggu di luar.

Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini, Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang pelucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo sudah mengerahkan para kadet memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana. Sementara sekitar 40 orang tentara Jepang yang ada di depot tersebut dikumpulkan di lapangan.

Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan Kadet MAT yang terjebak. Tentara Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya dan berbaris di lapangan lantas berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.

Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Kadet MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur satu lawan satu.
Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran, namun upaya tersebut tidak berhasil. Mayor Daan Mogot segera memerintahkan pasukannya untuk meninggalkan depot tentara Jepang tersebut dan mundur ke hutan karet di sekitarnya. Kadet MAT yang berhasil lolos lantas menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang mereka sandang. Seringkali peluru yang dimasukkan ke magazsin tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.

Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru. Akhirnya 33 kadet dan 3 perwira gugur, sementara 10 kadet luka berat dan Mayor Wibowo beserta 20 kadet lainnya ditawan Jepang. Sedangkan, 3 kadet lainnya: Soedarno, Menod, Oesman Sjarief, berhasil meloloskan diri pada 26 Januari 1946 dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi keesokan harinya.

Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya.

Monumen Pertempuran Lengkong, terletak di Jalan Pahlawan Seribu, Lengkong Wetan, Serpong, Tangerang Selatan, Propinsi Banten, Indonesia.
Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain para perwira militer dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menteri Luar Negeri Agus Salim, yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut, dan para anggota keluarga kadet yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.

Penutup

Nama Daan Mogot diabadikan sebagai nama jalan yang menghubungkan Grogol dan Cengkareng di Jakarta Barat dengan kota Tangerang. Sementara, di tempat pertempuran Lengkong tersebut, dibangun monumen peringatan. Kisah Pertempuran Lengkong dijadikan dasar penulisan skenario film Merah Putih (2009).

Ironisnya, sementara Daan Mogot berjuang gugur di medan pertempuran dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ayahnya justru tewas dibunuh gerombolan perampok yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londo-londo (antek-antek) Belanda.