TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Sunday, July 2, 2017

Biografi Mr. Kasman Singodimedjo

Image result for Kasman Singodimedjo

Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung Indonesia periode 1945 sampai 1946 dan juga mantan Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II. Selain itu ia juga adalah Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal dari DPR.

Mr. Kasman Sinodimedjo sejak masa mudanya merupakan figur yang memiliki semangat belajar tinggi. Sejak sebelum memperoleh gelar sarjana di bidang hukum, Kasman muda adalah sosok yang belajar ilmu agama, ilmu ketatanegaraan, dan pengetahuan umum secara otodidak melalui berbagai literatur yang di bawa oleh teman-teman seperjuangannya dari luar negeri.

Kasman Singodimedjo telah aktif dalam organisasi Muhammadiyah sejak masa mudanya dan mengenal secara dekat tokoh-tokoh besar Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan dan Ki Bagus Hadikusumo. Selain itu sejak 1935, ia telah aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, terutama di Bogor yang sekarang markasnya menjadi Museum Perjuangan Bogor.

Pada 1938, Kasman Singodimedjo ikut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta bersama KH Mas Mansur, Farid Ma’ruf, Soekiman, dan Wiwoho Purbohadidjoyo. Pada Muktamar 7 November 1945 Kasman terpilih menjadi Ketua Muda III Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Pengurus lain pada saat itu adalah KH Hasjim Asjari (Ketua Umum), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I), KH Wahid Hasjim (Ketua Muda II), Mr. Moh. Roem, M. Natsir, dan Dr. Abu Hanifah.

Peran dan pemikiran Kasman Singodimedjo berkembang dalam tempaan tokoh-tokoh besar pada saat ia bergabung dengan organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Dalam organisasi tersebut, ia berhubungan dengan tokoh-tokoh seperti KH Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, Syeikh Ahmad Surkati, Natsir, Roem, Prawoto, dan Jusuf Wibisono. Karena aktivitas politiknya, pada Mei 1940 Kasman ditangkap dan ditahan oleh pemerintahan penjajah Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, Kasman menjadi Komandan PETA Jakarta. Kasman merupakan salah satu tokoh yang berperan dalam mengamankan pelaksanaan upacara pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan rapat umum IKADA. Setelah proklamasi, Mr. Kasman Singodimedjo diangkat menjadi anggota PPKI sebagai anggota yang ditambahkan oleh Soekarno untuk mengubah sifat lembaga ini yang semula adalah bentukan Jepang. Anggota yang ditambahkan selain Mr. Kasman Singodimedjo adalah Wiranatakoesoemah, Ki Hajar Dewantara, Sajuti Melik, Mr. Iwa Koesoema Soemantri, dan Mr. Achmad Soebardjo. Dengan demikian anggota PPKI bertambah menjadi 27 orang dari jumlah semula 21 orang.

Pada saat menjelang pengesahan UUD 1945 terjadi permasalahan terkait dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang akan menjadi Pembukaan UUD 1945. Perwakilan kawasan Indonesia timur menyatakan keberatan terhadap tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Mengingat bahwa Piagam Jakarta tersebut merupakan hasil kesepakatan yang telah dicapai dalam persidangan BPUPK, tentu tidak dapat dengan mudah dilakukan perubahan. Oleh karena itu dibutuhkan persetujuan, terutama dari tokoh Islam. Diantara tokoh Islam yang mempertahankan tujuh kata tersebut adalah Ki Bagus Hadikusumo. Beberapa sumber menyatakan yang berperan dimintai tolong oleh Soekarno untuk melobi Ki Bagus Hadikusumo agar menyetujui penghapusan tujuh kata tersebut adalah Mr. Kasman Singodimedjo.

Rapat PPKI 18 Agustus 1945 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu (1) menetapkan UUD 1945; (2) memilih Presiden dan Wakil Presiden; (3) menentukan pembagian wilayah Indonesia; (4) membentuk departemen pemerintahan; (5) membentuk BKR; dan (6) membentuk Komite Nasional.

Pada hari itu, Mr. Kasman bersama dengan Daan Jahya, Oetarjo, Islam Salim, Soebianto Djojohadikusumo, Soeroto Kunto, Eri Sudewo, Engelen, Soeyono Martosewoyo, menghadap Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta untuk membahas organisasi ketentaraan Indonesia. Diputuskan organisasi tersebut terdiri dari jajaran PETA dan tenaga paramiliter serta eksponen perorangan Heiho dan KNIL. Jajaran PETA terdiri atas 80.000 pasukan dan 400.000 tenaga paramiliter. Akhirnya, pada 23 Agustus 1945, dengan Dekrit Presiden, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai organisasi ketentaraan Indonesia. Sebagai Ketua BKR Pusat ditetapkan mantan Komando Batalyon PETA Jakarta, Mr. Kasman Singodimedjo, Kepala Staf BKR Daan Jahya, dan Wakil Kepala Staf adalah Soebianto Djoyohadikusumo.

Mr. Kasman juga diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang secara resmi terbentuk pada 29 Agustus 1945. Bahkan Mr. Kasman Singodimedjo juga terpilih sebagai Ketua KNIP, parlemen pertama di Indonesia. Selain itu, terpilih sebagai Wakil Ketua I adalah Mr. Sutardjo Kartohadikusumo, Wakil Ketua III adalah Mr. J. Latuharhary, serta Wakil ketua III adalah Adam Malik.

Peran dan kiprah selanjutnya adalah diangkat menjadi Jaksa Agung pada 1945 – 1946 menggantikan Gatot Taroenamihardja. Pada saat menjabat sebagai menjadi Jaksa Agung, Kasman mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No. 3 tanggal 15 Januari 1946. Maklumat tersebut ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa, dan Kepala Polisi tentang ajakan untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yang selalu menyelenggarakan pengadilan yang cepat dan tepat. Dianjurkan pula untuk segera menyelesaikan perkara-perkara kriminal yang belum diselesaikan. Polisi dan Jaksa dituntut untuk selalu menyelaraskan diri dengan pembangunan negara yang berdasarkan hukum dengan bantuan para hakim. Jaksa Agung Mr. Kasman Singodimedjo digantikan oleh Tirtawinata pada 1946.

Selanjutnya Mr. Kasman Singodimedjo aktif dalam dunia politik Indonesia bersama Partai Masyumi. Dalam struktur pemerintahan, Mr. Kasman pernah menjabat sebagai Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II, yaitu mulai 11 November 1947 hingga 29 Januari 1948. Pada saat itu yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman adalah Susanto Tirtoprodjo.

Pada pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Konstituante, 29 September 1955, Mr. Kasman Singodimedjo terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi. Pada persidangan-persidangan Dewan Konstituante ini Mr. Kasman Singodimedjo mewarnai perdebatan pembentukan UUD terutama mewakili fraksi yang menghendaki Islam sebagai dasar negara.

Dalam persidangan Konstitante, Mr. Kasman mengemukakan bahwa untuk menyelesaikan masalah perbedaan tentang dasar negara terdapat dua cara yang dapat ditempuh, yaitu dengan cara kompromi dan dengan cara membanding. Mr. Kasman, dan fraksi pendukung Islam lainnya, tidak menyetujui apabila masalah dasar negara diselesaikan dengan cara kompromi karena dasar negara dipandang sebagai hal yang sangat penting. Oleh karena itu cara yang dipilih adalah membanding pilihan-pilihan dasar negara tersebut, mana yang paling baik dan benar yang seharusnya dipilih.

Mr. Kasman Singodimedjo mendukung Islam sebagai dasar negara berdasarkan alasan-alasan yang bersifat universal, dan alasan-alasan dialektis Indonesia. Alasan-alasan universal dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap kedaulatan hukum Tuhan yang termanifestasikan dalam ajaran agama. Sedangkan alasan dialektis Indonesia adalah pengakuan bahwa agama di Indonesia yang kuantitatif dan kualitatif berpengaruh di Indonesia adalah Islam. Islam adalah faktor nasional Indonesia yang utama dan yang menguasai psyche Indonesia.

Untuk menunjukkan sisi universal Islam, Kasman mengutip firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13; 


“Hai kamu manusia, sesungguhnya Aku telah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan perempuan, dan telah Ku jadikan kamu menjadi kaum-kaum dan keluarga-keluarga, supaya kamu antara yang satu dengan yang lain akan kenal-mengenal dan harga menghargai. Sesungguhnya bagi Allah yang amat terpandang tinggi diantaramu itu ialah siapa saja yang memperhatikan (akan kewajibannya) dengan setertib-tertibnya. Sesungguhnya Allah itu yang mengetahui (akan segala yang menjadi kehendaknya)”.

Berdasarkan firman Allah tersebut, Mr. Kasman menyatakan bahwa Islam meletakkan dasar hidup berbangsa atas dasar prinsip saling menghargai. Islam membersihkan kehidupan dunia dari prinsip chauvinisme dan rasialisme sehingga perdamaian dapat terpelihara. Dengan demikian Islam menjamin hak asasi manusia seimbang dengan penuaian kewajiban asasi. Islam menjunjung tinggi nilai perikemanusiaan dengan penuh tanggungjawab baik terhadap diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan seluruh umat manusia di dunia.

Selain itu, Mr. Kasman juga menguraikan enam alasan Islam sebagai dasar negara Indonesia, yaitu (1) Islam mewajibkan demokrasi berdasarkan musyawarah yang mendudukkan kebenaran dan hak; (2) Islam mewajibkan pemimpin rakyat, pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan penuh tanggung jawab kepada rakyatdan kepada Tuhan; (3) Islam menegakkan kemerdekaan lahir dan batin, menolak penjajahan, penindasan atau eksploitasi manusia atas manusia lain dalam bentuk apapun; (4) Islam memberantas kemelaratan dan menegakkan kemakmuran lahir dan batin atas dasar hidup keragaman antara golongan dan golongan (kelas); (5) Islam mewajibkan menunaikan fardhu kifayah disamping menunaikan fardhu ‘ain sehingga tidak boleh ada egoisme yang tamak atau bakhil. Kekayaan milik perseorangan tidak terlepas dari fungsi sosial sehingga ada pemerataan; dan (6) Islam memberikan penilaian yang sama antara kaum wanita dan kaum pria.

Pembahasan dasar negara dalam Dewan Konstituante yang belum juga dapat membuahkan hasil hingga 1959, ditambah dengan kondisi politik yang tidak stabil akibat terjadinya beberapa pemberontakan mendorong pemerintah mengusulkan kembali pada UUD 1945. Presiden bersama dengan kabinet memutuskan penerapan demokrasi terpimpin untuk menjaga stabilitas nasional. Pada 2 Maret 1959 setelah rapat kabinet yang memutuskan tentang Demokrasi Terpimpin, Perdana Menteri Djuanda memberi keterangan kepada DPR mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 yang digagas oleh Presiden Soekarno. Gagasan Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 itu disampaikan juga dalam sidang Dewan Konstituante di Bandung pada 22 April 1955 melalui amanat Presiden. Hal itu menjadi bahan perdebatan di kalangan anggota Dewan Konstituante, terutama mengenai prosedur kembali ke UUD 1945. Sebagian berpendapat agar kembali ke UUD 1945 dilakukan tanpa amendemen, sebagian lainnya meminta dilakukan amendemen. Perdebatan tersebut tidak menemukan titik temu hingga tiga kali masa sidang.

Kondisi dalam Dewan Konstituante tersebut dipandang oleh Presiden telah mengalami kebuntuan. Untuk mengatasi hal tersebut Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Melalui dekrit, Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang menetapkan pembubaran Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, dan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Dekrit ini kemudian dikukuhkan oleh DPR secara aklamasi pada 22 Juli 1959.

Dengan dimulainya era demokrasi terpimpin, kondisi politik dan pemerintahan mengalami pergeseran. Demokrasi terpimpin yang secara konseptual dimaksudkan sebagai pelaksanaan demokrasi yang dipimpin oleh kebijaksanaan demi kepentingan bangsa dan negara, menjadi demokrasi yang segalanya ditentukan oleh pemimpin. Dengan demikian, demokrasi menjadi kehilangan eksistensinya dikalahkan oleh kepemimpinan yang cenderung otoriter.

Kondisi demokrasi terpimpin tersebut juga dapat dilihat dari kehidupan partai politik yang pada saat itu sudah mulai dibatasi. Pada tanggal 13 Desember 1959, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang kemudian diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 1959 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-partai yang diikuti dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI. Selain itu juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 tentang penolakan Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo. Di samping itu melalui Keppres 440 Tahun 1961 diakui pula partai-partai politik, antara lain Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).

Pimpinan Masyumi dan PSI, pada 21 Juli 1960 dipanggil oleh Presiden Soekarno dan diberikan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka dalam jangka waktu satu minggu. Namun karena jawaban yang diberikan tidak memuaskan, pada 17 Agustus 1960 diterbitkan Keppres Nomor 200/1960 dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang ditujukan kepada kedua partai tersebut agar dalam jangka waktu 30 hari membubarkan diri. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka partai tersebut akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Akhirnya pimpinan Masyumi dan PSI membubarkan partai mereka. Upaya pembubaran Masyumi ini terkait dengan adanya pemberontakan PRRI Permesta yang oleh banyak pihak diduga mendapatkan dukungan dari Partai Masyumi dan PSI.

Pembubaran Masyumi menjadi salah satu wujud pertentangan antara pemerintahan demokrasi terpimpin dengan kelompok Islam Politik yang saat itu direpresentasikan oleh partai Masyumi. Pertentangan tersebut juga berakibat pada penangkapan tokoh-tokoh Islam yang dianggap kontra revolusi.

Pada 9 November 1963, Mr. Kasman dipanggil menghadap Komandan Korps Intelejen di Kantor Polisi Komisariat Jakarta Raya. Namun pemanggilan tersebut ternyata langsung diikuti dengan penahanan. Pada 16 November 1963, penahanan Mr. Kasman Singodimedjo dipindahkan ke Ciloto, Cianjur, tepatnya di kompleks sekolah kepolisian Sukabumi bersama-sama dengan Hamka dan Ghazali Syahlan. Dakwaan yang ditujukan kepada Mr. Kasman Singodimedjo adalah melanggar Pasal 169 ayat (1), (2), dan (3) KUHP yaitu turut serta dalam perkumpulan dan perserikatan lain yang bermaksud melakukan kejahatan, yang dilarang undang-undang dan diancam hukuman penjara setinggi-tingginya enam tahun.

Penahanan kemudian dipindah ke penjara Bogor dan dituduh mengadakan rapat gelap di Desa Cilendek bersama KH Sholeh Iskandar. Tuduhan lain yang dikenakan kepadanya adalah sebagai ketua kelompok empat yang berniat membunuh Presiden. Selain itu Mr. Kasman juga dituduh menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara dan mengajak orang untuk memusuhi pemeritahan Soekarno. Mr. Kasman dituduh melanggar Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 dan No. 5 tahun 1963. Akhirnya, dakwaan tersebut diputus pada 14 Agustus 1964 dengan hukuman penjara 8 tahun, yang pada tingkat banding berubah menjadi 2 tahun 6 bulan.


Setelah kekuasaan Soekarno runtuh dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru, tidak banyak lagi terdengar pemberitaan tentang Mr. Kasman Singodimedjo. Namun beliau tetap aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Mr. Kasman Singodimedjo, meninggal pada 25 Oktober 1982.


sumber : https://biografi-tokoh-ternama.blogspot.co.id/2015/08/biografi-kasman-singodimedjo.html


Image result for Kasman Singodimedjo

Sunday, June 18, 2017

Biografi Leo Kristi

 Leo Kristi


Leo Imam Sukarno atau lebih dikenal dengan nama Leo Kristi  adalah musisi pengelana yang amat menikmati karier musiknya di jalanan. Ia Ikut mendirikan satu grup musik beraliran rock progresif bernama Lemon Trees bersama Gombloh dan Franky. Setelah memisahkan diri dari Lemon Tree's, Leo Kristi lebih suka tampil dalam konser dengan memakai jubah hitam di atas panggung. Balada adalah ciri khas dari hampir seluruh musik yang diciptakannya.


Pendidikan

Leo Kristi lahir di Surabaya, Jawa Timur, 8 Agustus 1949. Leo memasuki dunia Sekolah Dasar pada tahun 1961 di SD Kristen Surabaya. Setelah itu ia memasuki Sekolah Menengah Pertama (SMP) pada tahun 1964. Pada masa ini Leo juga masuk ke Kursus Musik Dasar oleh Syam Kamaruzaman. Sekolah dilanjutkan di SMA Negeri 1 Surabaya pada tahun 1967. Ia sempat berkuliah di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Institut Teknologi Sepuluh Nopember di Surabaya pada tahun 1971. Ia tidak menyelesaikan kuliahnya dan mulai berdagang daster, namun di sinilah ia bertemu Gombloh dan mengawali karier sebagai pemusik keliling (trubadur).


Dunia musik

Musik adalah dunia yang dikenalnya sejak kecil. Leo kecil menyimak setiap irama yang dimainkan tiap subuh oleh ayahnya, Raden Ngabei Iman Soebiantoro, seorang pensiunan pegawai negeri yang juga merupakan seorang musisi. Sejak kecil, Leo Kristi aktif dalam kegiatan menyanyi di gereja, bagian dari kegiatan sekolah dasarnya, meskipun ia sendiri muslim. Leo waktu itu sekolah di SD Kristen, Surabaya pada tahun 1961. Ia berkata bahwa musik baginya sahabat, menyambut nyanyian sebagai kecintaan.

Di SMP pula ia mendapat sebuah gitar dari ayahnya. Lalu, ia masuk kursus Tony Kerdijk, Direktur Sekolah Musik Rakyat di Surabaya. Untuk menyanyi ia belajar pada Nuri Hidayat dan John Garang. Ia juga pernah kursus gitar pada Poei Sing Gwan dan Tan Ek Tjoan. Dua gitaris yang diakuinya cukup memberi pengaruh pada musiknya. Di SMAN 1 Surabaya, ia tidak lepas dari kewajiban berbaris dan ikut menyanyikan lagu-lagu perjuangan di bawah Tugu Pahlawan.

Ia juga bergabung dalam band sekolah beraliran rock n' roll bernama "Batara" yang beranggotakan teman-temannya dari SMA: Ratno, Karim, Soen Ing, John Kotelawala, Andre Muntu, dan Harry Darsono (kini menjadi desainer nasional). Mereka kerap kali mereka menyanyikan lagu-lagu milik The Beatles dan namanya cukup terkenal di kawasan lokalisasi Surabaya.

Di kalangan wartawan, Leo adalah sosok yang sulit dicari, namun bisa tiba-tiba muncul dan menggelar konser. Sebelum dikenal sebagai musisi, pria yang logat jawa timurannya masih sangat kental ini pernah menjadi penjual buku Groliers American Books dan karyawan pabrik cat Texmura. Leo juga pernah menjadi penyanyi di restoran "China Oriental" dan "Chez Rose" (1974-1975) dan menyanyi di LIA dan Goethe Institut Surabaya.


Karya

Leo mendirikan grup musik beraliran rock progresif, Lemon Tree's bersama Gombloh dan Franky Sahilatua. Sederet album telah mereka rilis terhitung sejak tahun 1978, dan Nadia & Atmospheer menjadi album pertama Lemon Tree's.

Musikalitas Leo juga tertuang dalam sebuah grup bernama Konser Rakyat Leo Kristi (KRLK), bersama Naniel Yakin, Mung Sriwiyana, serta kakak beradik Lita Jonathans dan Jilly Jonathans. Meski sempat terjadi fenomena bongkar pasang, semangat grup ini tidak menurun dan telah menghasilkan sederet album.

Berikut ini daftar album mereka:
  • Nyanyian Fajar (1975)
  • Nyanyian Malam (1976)
  • Nyanyian Tanah Merdeka (1977)
  • Nyanyian Cinta (1978)
  • Nyanyian Tambur Jalan (1980)
  • Lintasan Hijau Hitam (1984)
  • Biru Emas Bintang Tani (1985) yang gagal beredar
  • Deretan Rel Rel Salam Dari Desa (1985, aransemen baru)
  • Ada pula (Diapenta) Anak Merdeka (1991)
  • Catur Paramita (1993)
  • Tembang Lestari (1995, direkam pada CD terbatas), Warm, Fresh and Healthy (17 Desember 2010)
  • Hitam Putih Orche (2015)

Leo Kristi dengan Konser Rakyat-nya, ternyata mempunyai penggemar, yang nyaris men-tradisi (selain seumuran dengan Leo juga terus mengikuti dengan aktif berkontribusi hingga kini), yang tergabung dalam sebuah komunitas dengan nama LKers (Komunitas Pecinta Musik Konser Rakyat Leo Kristi). LKers dibuat oleh dan untuk penikmat karya legendaris pemusik troubadour Leo Kristi yang terekam dalam sejumlah album Konser Rakyat Leo Kristi (KRLK).



Meninggal dunia

Leo Kristi meninggal pada hari Minggu, 21 Mei 2017 sekitar pukul 00:30 WIB di Rumah Sakit Immanuel Bandung, Jawa Barat. ia wafat di usia 57 tahun. Sebelum berpulang Leo dirawat di rumah sakit karena menderita disentri amoeba atau radang usus yang disebabkan oleh bakteri entamoeba histolytica. Mula-mula Leo mengeluh diare dan tekanan darahnya turun drastis. Leo lalu segera dibawa ke rumah sakit. Setelah dirawat dua hari, kondisi Leo menurun, sehingga ia dipindah ke ruang ICU.

Leo meninggal tepat setelah konser penggalangan dana untuknya digelar. Konser tersebut digelar Penggemar Leo (LKERS) dan para sahabatnya di Anjungan Sumatera Utara, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur pada Sabtu (20/5)

Sunday, May 7, 2017

Benyamin Sueb : Seniman Multitalenta

 Image result for benyamin sueb



Benyamin Sueb lahir di Kemayoran, Jakarta, 5 Maret 1939, Celetukan "muke lu jauh" atau "kingkong lu lawan" pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb. Sejak kecil, Benyamin Sueb sudah merasakan getirnya kehidupan. Bungsu delapan bersaudara pasangan Suaeb-Aisyah kehilangan bapaknya sejak umur dua tahun. Karena kondisi ekonomi keluarga yang tak menentu, si kocak Ben sejak umur tiga tahun diijinkan ngamen keliling kampung dan hasilnya buat biaya sekolah kakak-kakaknya. Benyamin sering mengamen ke tetangga menyanyikan lagu Sunda Ujang-Ujang Nur sambil bergoyang badan. Orang yang melihat aksinya menjadi tertawa lalu memberikannya recehan 5 sen dan sepotong kue sebagai "imbalan".


Penampilan Benyamin kecil memang sudah beda, sifatnya yang jahil namun humoris membuat Benyamin disenangi teman-temannya. Seniman yang lahir di Kemayoran, 5 Maret 1939 ini sudah terlihat bakatnya sejak anak-anak. Bakat seninya tak lepas dari pengaruh sang kakek, dua engkong Benyamin yaitu Saiti, peniup klarinet dan Haji Ung, pemain Dulmuluk, sebuah teater rakyat - menurunkan darah seni itu dan Haji Ung (Jiung) yang juga pemain teater rakyat di zaman kolonial Belanda. Sewaktu kecil, bersama 7 kakak-kakaknya, Benyamin sempat membuat orkes kaleng.

Benyamin bersama saudara-saudaranya membuat alat-alat musik dari barang bekas. Rebab dari kotak obat, stem basnya dari kaleng drum minyak besi, keroncongnya dari kaleng biskuit. Dengan "alat musik" itu mereka sering membawakan lagu-lagu Belanda tempo dulu. Kelompok musik kaleng rombeng yang dibentuk Benyamin saat berusia 6 tahun menjadi cikal bakal kiprah Benyamin di dunia seni. Dari tujuh saudara kandungnya, Rohani (kakak pertama), Moh Noer (kedua), Otto Suprapto (ketiga), Siti Rohaya (keempat), Moenadji (kelima), Ruslan (keenam), dan Saidi (ketujuh), tercatat hanya Benyamin yang memiliki nama besar sebagai seniman Betawi. Benyamin memulai Sekolah Dasar (dulu disebut Sekolah Rakyat) Bendungan Jago sejak umur 7 tahun. Sifatnya yang periang, pemberani, kocak, pintar dan disiplin, ditambah suaranya yang bagus dan banyak teman, menjadikan Ben sering ditraktir teman-teman sekolahnya.

SD kelas 5-6 pindah ke SD Santo Yusuf Bandung. SMP di Jakarta lagi, masuk Taman Madya Cikini. Satu sekolahan dengan pelawak Ateng. Di sekolah Taman Madya, ia tergolong nakal. Pernah melabrak gurunya ketika akan kenaikan kelas, ia mengancam, "Kalau gue kagak naik lantaran aljabar, awas!" Lulus SMP ia melanjutkan SMA di Taman Siswa Kemayoran. Sempat setahun kuliah di Akademi Bank Jakarta, tapi tidak tamat.

Baru setelah menikah dengan Noni pada 1959 (mereka bercerai 7 Juli 1979, tetapi rujuk kembali pada tahun itu juga), Benyamin kembali menekuni musik. Bersama teman-teman sekampung di Kemayoran, mereka membentuk Melodyan Boy. Benyamin nyanyi sambil memainkan bongo. Bersama bandnya ini pula, dua lagu Benyamin terkenang sampai sekarang, Si Jampang dan Nonton Bioskop. Benyamin Mengaku tidak punya cita-cita yang pasti. Tergantung kondisi, kata penyanyi dan pemain film yang suka membanyol ini. Benyamin pernah mencoba mendaftar untuk jadi pilot, tetapi urung gara-gara dilarang ibunya.

Ia akhirnya jadi pedagang roti dorong. Pada tahun 1959, ia ditawari bekerja di perusahaan bis PPD, langsung diterima. Tidak ada pilihan lain, katanya. Pangkatnya cuma kenek, dengan trayek Lapangan BantengwPasar Rumput. Itu pun tidak lama. Habis, gaji tetap belum terima, dapat sopir ngajarin korupsi melulu, tuturnya. Korupsi yang dimaksud ialah, ongkos penumpang ditarik, tetapi karcis tidak diberikan. Ia sendiri mula-mula takut korupsi, tetapi sang sopir memaksa. Sialnya, tertangkap basah ketika ada razia. Benyamin tidak berani lagi muncul ke pool bis PPD. Kabur, daripada diusut.

Sebenarnya selain menekuni dunia seni, Benyamin juga sempat menimba ilmu dan bekerja di lahan yang ‘serius’ diantaranya mengikuti Kursus Lembaga Pembinaan Perusahaan dan Pembinaan Ketatalaksanaan (1960), Latihan Dasar Kemiliteran Kodam V Jaya (1960), Kursus Administrasi Negara (1964), bekerja di Bagian Amunisi Peralatan AD (1959-1960), Bagian Musik Kodam V Jaya (1957-1969), dan Kepala Bagian Perusahaan Daerah Kriya Jaya (1960-1969).
 
Image result for benyamin sueb 
 
Kesuksesan dalam dunia musik diawali dengan bergabungnya Benyamin dengan satu grup Naga Mustika. Grup yang berdomisili di sekitar Cengkareng inilah yang kemudian mengantarkan nama Benyamin sebagai salah satu penyanyi terkenal di Indonesia. Selain Benyamin, kelompok musik ini juga merekrut Ida Royani untuk berduet dengan Benyamin. Dalam perkembangannya, duet Benyamin dan Ida Royani menjadi duet penyanyi paling popular pada zamannya di Indonesia. Bahkan lagu-lagu yang mereka bawakan menjadi tenar dan meraih sukses besar. Sampai-sampai Lilis Suryani salah satu penyanyi yang terkenal saat itu tersaingi.

Pada akhir hayatnya, Benyamin juga masih bersentuhan dengan dunia panggung hiburan. Selain main sinetron/film televisi (Mat Beken dan Si Doel Anak Sekolahan) ia masih merilis album terakhirnya dengan grup Rock Al-Haj bersama Keenan Nasution. Lagu seperti Biang Kerok serta Dingin-dingin menjadi andalan album tersebut.

Dalam dunia musik, Bang Ben (begitu ia kerap disapa) adalah seorang seniman yang berjasa dalam mengembangkan seni tradisional Betawi, khususnya kesenian Gambang Kromong. Lewat kesenian itu pula nama Benyamin semakin popular. Tahun 1960, presiden pertama Indonesia, Soekarno, melarang diputarnya lagu-lagu asing di Indonesia. Pelarangan tersebut ternyata tidak menghambat karier musik Benyamin, malahan kebalikannya. Dengan kecerdikannya, Bang Ben menyuguhkan musik Gambang Kromong yang dipadu dengan unsur modern.

Benyamin yang telah empat belas kali menunaikan ibadah haji ini meninggal dunia setelah koma beberapa hari seusai main sepak bola pada tanggal 5 September 1995, akibat serangan jantung. Benyamin dimakamkan di TPU Karet Bivak, Jakarta. Ini dilakukan sesuai wasiat yang dituliskannya, agar dia dimakamkan bersebelahan dengan makam Bing Slamet yang dia anggap sebagai guru, teman, dan sosok yang sangat memengaruhi hidupnya.
 
Image result for benyamin bing slamet
 
sumber : http://www.biografiku.com/2011/09/biografi-benyamin-s-seniman-multi.html
 
Ia menjadi figur yang melegenda di kalangan masyarakat Betawi khususnya karena berhasil menjadikan budaya Betawi dikenal luas hingga ke mancanegara. Celetukan 'muke lu jauh' atau 'kingkong lu lawan' pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb, seniman Betawi serba bisa yang sudah menghasilkan kurang lebih 75 album musik, 53 judul film serta menyabet dua Piala Citra ini.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/60-seniman-betawi-serba-bisa
Copyright © tokohindonesia.com
Ia menjadi figur yang melegenda di kalangan masyarakat Betawi khususnya karena berhasil menjadikan budaya Betawi dikenal luas hingga ke mancanegara. Celetukan 'muke lu jauh' atau 'kingkong lu lawan' pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb, seniman Betawi serba bisa yang sudah menghasilkan kurang lebih 75 album musik, 53 judul film serta menyabet dua Piala Citra ini.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/60-seniman-betawi-serba-bisa
Copyright © tokohindonesia.com
Ia menjadi figur yang melegenda di kalangan masyarakat Betawi khususnya karena berhasil menjadikan budaya Betawi dikenal luas hingga ke mancanegara. Celetukan 'muke lu jauh' atau 'kingkong lu lawan' pasti mengingatkan masyarakat pada Benyamin Sueb, seniman Betawi serba bisa yang sudah menghasilkan kurang lebih 75 album musik, 53 judul film serta menyabet dua Piala Citra ini.

Sumber: http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/60-seniman-betawi-serba-bisa
Copyright © tokohindonesia.com

Sunday, April 2, 2017

Kisah Margonda

Margonda Kota Depok.jpg
Margonda bukan sekadar nama jalan raya di Depok. Gugur dalam perjuangan, namun tak diketahui di mana pusaranya.

Foto hitam putih itu nyaris luntur. Terpampang lusuh di lantai dua Museum Perjoangan Bogor, Jalan Merdeka No. 56 Kota Bogor. Di bawah foto tertulis nama yang kini lebih dikenal sebagai jalan besar di kota Depok : Margonda.

Foto Margonda dipajang berdampingan dengan foto Kapten Tb. Muslihat dan Letnan Jenderal Ibrahim Adjie. “Semasa hidupnya Margonda berkawan dekat dengan Ibrahim Adjie dan Tb. Muslihat,” kata Mahruf, juru rawat museum, “Di sini (Museum Perjoangan Bogor) sering berkumpul para veteran pejuang. Saya dapat cerita tentang persahabatan Margonda, Ibrahim Adjie dan Kapten Muslihat dari kawan-kawannya yang masih hidup.”

Ibrahim Adjie pernah menjadi komandan Batalion Ujung Tombak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Barat, yang bermarkas di Depok. Belakangan dia menjabat Pangdam Siliwangi. Sedangkan Tb. Muslihat adalah pimpinan TKR Bogor yang gugur sewaktu perang mempertahankan kemerdekaan di Bogor. Untuk mengenangnya, pemerintah daerah Bogor membangun patung Kapten Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun Bogor.

Dibanding Muslihat dan Ibrahim Adjie, sepak terjang Margonda tidak banyak diketahui. Padahal dia pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). “AMRI pimpinan Margonda lebih dahulu berdiri dibanding BKR (Badan Keamanan Rakyat),” tulis buku Sejarah Perjuangan Bogor. Buku yang terbit pada 1986 ini disusun oleh orang-orang yang terlibat dalam perang kemerdekaan di Bogor beserta beberapa wartawan.

AMRI bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor. Umur kelompok ini relatif singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dan lain-lain.

Pada 11 Oktober 1945, Margonda dan pasukan AMRI beserta para pejuang berbagai laskar dari Bogor dan sekitarnya menyerbu Depok karena kota itu tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia. Dilepas istrinya, Maemunah, Margonda berangkat naik kereta dari stasiun Bogor.
Ribuan pemuda mengepung dan berhasil menguasai Depok. Namun, tidak lama kemudian, Sekutu datang dan merebut Depok. Para pejuang mundur untuk menyusun kekuatan. Mereka melakukan serangan balik pada 16 November 1945 dengan sandi perang Serangan Kilat.

“Itulah pertempuran yang paling benar-benar sengit. Dari jam lima pagi sampai jam lima pagi besoknya lagi. Perang sehari semalam itu sandinya Serangan Kilat, kalau di Jogja ada Serangan Fajar. Saya ikut bertempur,” tandas Adung Sakam kepada Historia.

Meski tak ingat pasti berapa umurnya sekarang, Adung masih mengingat kisah Serangan Kilat itu. “Serangan Kilat itu untuk merebut Depok yang telah dikuasai NICA, namun gagal. Banyak sekali pejuang yang gugur dalam peristiwa itu,” ungkap Adung.

Dalam Serangan Kilat itu, Margonda gugur di Kalibata Depok dalam usia muda, 27 tahun – lahir di Baros Cimahi Bandung pada 1918. Namanya bersama para pejuang lainnya yang gugur dalam berbagai pertempuran terpampang di dinding Museum Perjoangan Bogor.

Maemunah kerap ke stasiun Bogor untuk mencari Margonda. Anaknya, Jopiatini yang baru bisa berjalan dibawa serta. Margonda tak kunjung datang, bahkan sampai penghujung perang pada 1949.
Suatu waktu, para sekondan Margonda menyambangi Maemunah. Mereka menceritakan bahwa Margonda bertempur gagah berani dan tertembak. Namun, Maemunah tak pernah mempercayai cerita itu. Dia tetap sabar menanti. Beredar sasus di kalangan para pejuang di Bogor bahwa Margonda dikubur dalam satu liang lahat dengan pejuang lainnya di Kalibata, Depok. Makam itu kemudian dibongkar dan jasad Margonda dimakamkan ulang di samping stasiun Bogor – kini jadi Taman Ade Irma Suryani, dekat Taman Topi – namun, tidak diketahui pusaranya.

Kisah Cinta Margonda

Untuk mengenang tempat pertemuannya di organisasi JOP, Margonda dan Maemunah menamai anaknya dengan awalan nama organisasi itu.
Setelah Margonda gugur, Maemunah membesarkan buah hatinya yang bernama Jopiatini. Nama Jop diambil dari JOP (Jajasan Obor Pasoendan), salah satu anak organisasi Pagoejoeban Pasoendan yang berdiri pada 1914, di mana Margonda dan Maemunah kali pertama bertemu.

“Kata ibu, nama Jopiatini diambil dari nama organisasi JOP, tempat ayah dan ibu pacaran dulu,” ujar Jopiatini kepada Historia. “Ibu sering bercerita kalau ayah saya itu orangnya periang dan pemberani. Karena itulah ibu jatuh cinta.”

Pada masa Hindia Belanda, Maemunah pernah belajar di Sekolah Kepandaian Putri di Kebon Sirih Jakarta. Setelah lulus, dia mengajar di sekolah yang diselenggarakan oleh JOP di Kuningan Jawa Barat.

Sedangkan Margonda pernah mengikuti pendidikan analysten cursus, yang diselenggarakan Indonesiche Chemische Vereniging. Kini, tempat kursus itu menjadi Balai Besar Industri Agro Bogor. Dia juga pernah ikut pelatihan penerbang cadangan di Luchtvaart Afdeeling, salah satu unit kemiliteran Belanda.

Margonda dan Maemunah menikah di Bogor pada 24 Juni 1943. Semenjak menikah mereka tinggal di rumah keluarga Maemunah di Bogor. Rumah itu selalu ramai oleh anak-anak JOP dan para pemuda Bogor.

“Dari cerita yang sering saya dengar, kawan-kawan ayah yang sering berkumpul di rumah antara lain Ahmad Tirtosudiro, Pak Adam, Ibrahim Adjie, Mintaredja, dan banyak lagi,” kenang Jopiatini.

Untuk menafkahi keluarga, Margonda bekerja di Departemen Jawatan Penyelidikan Pertanian Jepang. Setelah setahun menikah, mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Jopiatini. Sepeninggal Margonda, Maemunah membesarkan Jopiatini sendiri dengan membuka tempat jahit “Modiste Tini.” Nama ini diambil dari panggilan Jopiatini : Tini.

“Waktu saya masih kecil, di zaman Bung Karno, ibu mendapat order menjahit pakaian orang-orang di Istana Bogor,” tutur Jopiatini. “Yang saya ingat, orang Istana Bogor yang sering menjahit baju di tempat ibu saya, Ibu Hartini istri Bung Karno dan istrinya Pak Sabur (komandan) Tjakrabirawa.”

Selain itu, menurut Jopiatini, Jaka Bimbo yang kelak menjadi penyanyi terkenal juga menjahit baju di tempat ibunya. Dengan usaha itu, Maemunah dapat menyekolahkan Jopiatini hingga perguruan tinggi.

Riwayat Sebuah Jalan

Sebagai penghargaan atas perjuangannya, Margonda dijadikan nama jalan raya di Depok.
Pada 1973, kawan-kawan seperjuangan Margonda sering datang ke rumah menemui Maemunah. Mereka berencana mengusulkan Margonda sebagai nama jalan.

“Dalam perbincangan itu, samar-samar saya dengar, kawan-kawan ayah sedang mengusulkan kepada Departemen Sosial beberapa nama kawan seperjuangan yang telah gugur agar diabadikan menjadi nama jalan. Termasuk nama Margonda,” kata Jopiatini kepada Historia.
Usul itu disetujui. Nama Margonda diabadikan menjadi nama jalan di Depok, yang saat itu masih menjadi bagian dari wilayah Bogor.

Kala itu, Margonda hanyalah jalan kecil, belum sebesar sekarang. Sebelum bernama Margonda, jalan itu lebih dikenal sebagai Jalan Pintu Air. Jalan setapak itu kemudian menjadi jalan raya besar.

Lulus dari Universitas Indonesia, Jopiatini menikah dengan Abu Hanifah, seorang tentara Angkatan Laut. Mereka dikarunia seorang anak laki-laki bernama Teguh Hassanudin. Suatu hari, sekira tahun 2000-an, mereka melancong ke Depok. Mereka makan di restoran Bakmi Margonda.

“Waktu kami makan di Bakmi Margonda, ibu bertanya kepada pelayan restoran; ini restoran kok pakai nama suami saya?” kata Jopiatini, “Seloroh ibu sambil tertawa. Pelayan itu bisa jadi menganggap itu hanya guyonan saja.”
Sehabis dari restoran, sebelum kembali ke rumah, Abu Hanifah mengusulkan agar ibu mertuanya berpose di plang Jalan Margonda. Usul itu sebenarnya sering dilontarkan. Namun baru kali itu Maemunah bersedia. Beberapa waktu kemudian Maemunah berpulang menyusul Margonda.

Dalam buku Yasin mengenang ibunya, Jopiatini menulis puisi berjudul “Bundaku.” Syairnya menggambarkan penantian ibunya yang penuh harap akan kedatangan Margonda dari medan juang:

Teringat dan tersayat hatiku/Berpuluh tahun lalu ketika ku masih balita/Tertatih-tatih di pegang erat tanganku/Barisan tentara berbaju hijau/Melintas terus berlalu/Siapa tahu ada ayahku
Lubuk hati bunda risau tak terjawab/Bayangpun tak tertinggal di situ/Ayahku tertembak penjajah ibu pertiwi/Terkubur di belantara Kalibata/Tak ketemu/Tak ada satupun nisan nama ayahku/Tapi bunda setia menunggu/Sampai maut menyapa.

 Maemunah, istri Margonda, berpose di plang Jalan Margonda Depok, tahun 2000-an.
Foto

Tuesday, March 7, 2017

Mengenang Sayuti Melik, Wartawan Pengetik Naskah Proklamasi










Image result for sayuti melik

Usia Sayuti Melik baru 16 tahun ketika pertama kali merasakan dikurung dalam jeruji besi penjara. Saat itu tahun 1924 di Kecamatan Ambarawa, Jawa Tengah, Sayuti dituduh menghasut rakyat untuk bersikap dan bertindak anti-Belanda.

Pria kelahiran 25 November 1908 di Desa Kadilobo, Rejondani, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, ini memang dikenal sebagai pejuang yang menghabiskan “sebagian dari hidupnya di dalam penjara.” Tak heran jika cerita hidup Sayuti, yang mengembuskan napas terakhir pada hari ini, 27 Februari, tahun 1989, seperti perjalanan dari penjara ke penjara.


Tahun 1926, Sayuti bertemu lagi dengan jeruji besi setelah ditangkap di Cilacap, Jawa Tengah. “Di sini saya disiksa kemudian dikirim ke penjara Banyumas. Tahun 1927 dibuang ke Digul Atas (Boven Digul) dan baru kembali ke Pulau Jawa tahun 1933,” kata Sayuti seperti dikutip dari buku Wawancara dengan Sayuti Melik karya Arief Priyadi tahun 1986.

Penangkapan dan pembuangan Sayuti ke Digul waktu itu, dia sebut bertalian dengan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Enam tahun di Digul, Sayuti menghabiskan waktunya untuk belajar bahasa Inggris dan Perancis, serta mempelajari ilmu perjuangan dari para tokoh yang juga dibuang di kabupaten di Papua tersebut.

Digul bukan tempat terakhir Sayuti merasakan dipenjara. Tahun 1936 dia dipenjara di Singapura karena kedapatan mengirim surat ajakan rapat gerakan Liga Anti Imperialisme; bebas dari Singapura menuju Jakarta, Sayuti kembali ditangkap Polisi Rahasia Belanda dan digelandang ke Penjara Gang Tengah, Salemba, Jakarta, tahun 1937-1938.

Menikahi SK Trimurti
Hanya beberapa bulan setelah keluar dari Gang Tengah, Sayuti menikahi Soerastri Karma Trimurti, salah satu wartawan perempuan pertama di Indonesia dan juga pejuang yang seide dengan Sayuti. Pernikahan berlangsung pada Juli 1938, di rumah seorang kawan Sayuti bernama Kartopandoyo yang juga seorang Digulis, di kampung Kabangan, Solo.

Mirip dengan Sayuti yang “hobi” keluar masuk penjara, Trimurti juga mengalami hal yang sama. Bahkan saat pernikahan berlangsung, Trimurti sedang menjalani tahanan luar, setelah sebelumnya dipenjara karena terkena pers-delict—delik yang seharusnya dikenakan kepada Sayuti.

Sayuti menceritakan, surat kabar Sinar Selatan kala itu menerbitkan artikel yang dia tulis berisi anjuran agar orang Indonesia tidak membantu Belanda jika sewaktu-waktu direbut tentara Jepang. Tulisan itu juga meminta orang Indonesia juga tidak perlu membantu Jepang dan memanfaatkan waktu untuk menyusun kekuatan merebut kemerdekaan.

Sebagai mantan Digulis, artikel tersebut jelas membahayakan keselamatan Sayuti sehingga Trimurti yang kala itu menjadi Sekretaris Redaksi Sinar Selatan, memutuskan agar tulisan Sayuti dimuat atas namanya. Benar saja, Trimurti ditangkap Polisi Rahasia Belanda (PID).

Dalam perjalanan pernikahan mereka, suami istri ini lantas bergantian keluar masuk penjara. Pada suatu waktu tahun 1939, selama satu bulan, Sayuti dan Trimurti pernah sama-sama berada di dalam penjara. Anak pertama mereka, Musafir Karma Budiman, saat itu masih berusia sekitar enam bulan.

“Terpaksa si kecil Budiman saya titipkan ke Solo kepada kawan saya Kartopandoyo. Setelah Bu Tri bebas, ia diambil untuk dibawa ke Semarang,” tutur Sayuti.

Mendirikan Media Cetak
Kehidupan Sayuti banyak diisi dengan aktivitas perjuangan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, dia berjualan kain batik dari Yogyakarta ke Semarang. Pekerjaan sebagai pedagang kain itu tetap dia lakukan setelah menikah dengan Trimurti.

Menurut Sayuti, hasilnya pas-pasan dan pernah kena tipu satu dua kali. Trimurti tidak senang dengan kondisi itu dan memberi gagasan agar suaminya mendirikan usaha penerbitan yang sekaligus menjadi tempat menuangkan ide dan pemikiran perjuangan.

Sayuti menerima gagasan itu dan mendirikan Majalah Pesat, dengan menjual tempat tidur dan perabot rumah tangga lainnya untuk modal awal. Pendirian majalah ini lantas kembali mengantarkan Sayuti ke balik jeruji besi.

Kala itu, Pesat memuat artikel salah seorang pemimpin Islam di Solo dengan nama samaran Sribiantoro. Artikel itu dianggap berbahaya oleh pemerintah Hindia Belanda yang membuat Pesat berurusan dengan pengadilan.

“Saya lalu dijatuhi hukuman 20 bulan masuk penjara dan ditempatkan di Penjara Sukamiskin Bandung. Saya bebas sekitar pertengahan tahun 1941,” ucap Sayuti, masih mengutip buku setebal 382 halaman itu.

Selama di penjara, Sayuti tetap mengirimkan artikel untuk Pesat yang keberlangsungan penerbitannya dilanjutkan Trimurti. Majalah itu sukses menarik perhatian pembaca yang berimbas pada peningkatan oplah, hingga bisa berubah menjadi Harian Pesat tahun 1942.

Pada tahun yang sama, Jepang masuk ke Hindia Belanda dan di Semarang disambut dengan pembentukan Panitia Indonesia Merdeka. Namun atas perintah penguasa Jepang, panitia itu diminta menghentikan sementara kegiatannya, demikian juga aktivitas penerbitan, termasuk Harian Pesat.

Penjajah Jepang lantas mengajak kerja sama dalam pemerintahan dan penerbitan. Harian Pesat dibubarkan dan didirikan harian baru bersama Jepang, Sinar Baru. Sayuti ditunjuk sebagai Pemimpin Redaksi dengan seorang Jepang melakukan sensor terhadap konten surat kabar itu.

Tapi bukan Sayuti jika tidak tegas dan memegang prinsip. Dia menolak campur tangan Jepang atas konten pemberitaan Harian Sinar Baru, terutama untuk artikel yang dia tulis agar tidak diberlakukan sensor.
“Kalau masih disensor, lebih baik pemimpin redaksinya diganti saja. Saya tidak usah menjadi pemimpin redaksi,” katanya.

Prestasi di Penjara
Tahun 1942, Sayuti ditangkap Jepang, disiksa, dijatuhi vonis lima tahun, dan dimasukkan ke Penjara Ambarawa. Menurutnya, selain karena Jepang tidak menyukai dia yang kerap melakukan gerakan bawah tanah, dia juga terkena imbas dari tindakan yang dilakukan anggota partai politik saat itu.

Selama mendekam di bui, seperti biasa Sayuti tidak pernah meninggalkan kebiasaan menulis hingga ada sebuah sayembara mengarang dari Jawa Hookoo Kai Jakarta pada pertengahan tahun 1945. Sayembara bertajuk “Kemerdekaan dan Kebudayaan” itu sampai ke telinga Sayuti lewat Mantri Penjara bernama RM Hadikusumo.

Sayuti lantas diminta membuat karangan itu untuk dikirim ke Jakarta atas nama sang mantri. Sayuti menurut dan menulis konsepnya dengan tulisan tangan, yang selanjutnya diketik oleh seseorang bernama Sugijono. Tulisan Sayuti memenangkan hadiah nomor satu, tapi dia merendah.

“Saya kira bukan karena tulisannya baik, melainkan karena yang menjadi ketua dewan juri kebetulan almarhum Mohammad Yamin. Dia mengenal gaya tulisan saya dan tahu saya di Penjara Ambarawa. Hal ini dilaporkan ke Bung Karno dan diperintahkan agar diberi hadiah nomor satu,” tuturnya.

Karangan Sayuti lantas dicetak menjadi buku dan beredar di Ambarawa hingga Semarang.

Naskah Proklamasi
Sayuti pertama kali bertemu Soekarno, yang kelak menjadi Proklamator Kemerdekaan Indonesia, tahun 1926 di Bandung. Namun dalam buku Wawancara dengan Sayuti Melik, tak banyak hal yang dia ceritakan saat pertemuan pertama itu.

Dia hanya mengatakan, “Pada tahun dan tempat inilah untuk pertama kalinya saya bertemu dengan Bung Karno.”

Pada 15 Agustus 1945, Sayuti bercerita bahwa dia bertemu dengan Bung Karno di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur—sekarang menjadi Gedung Proklamasi. Saat itu, Sayuti sudah menjadi Asisten Pribadi Bung Karno.

Setelah dua jam berbincang, sejumlah pemuda datang ingin menemui Bung Karno dan menyampaikan berita bahwa Jepang sudah menyerah kepada sekutu pada siang hari itu. Perdebatan antara Bung Karno dan para pemuda terjadi.

Selanjutnya, menurut cerita Sayuti, rapat pada tanggal 16 Agustus 1945 sore itu bukanlah rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan melainkan rapat wakil-wakil bangsa Indonesia, yang dilakukan di kediaman Laksamana Madya Maeda, Jalan Imam Bonjol Nomor 1.

Penyusunan konsep itu hanya dilakukan oleh tiga orang yaitu Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo. Ditambah dia dan Sukarni menjadi lima orang.

“Tetapi kami berdua hanya menganggukkan kepala saja jika ditanya. Dalam proses penyusunan naskah itu yang banyak berbicara adalah Bung Hatta dan Subardjo, sedangkan Bung Karno yang menulisnya,” kata Sayuti.

Setelah naskah proklamasi selesai dibuat, Sayuti mengusulkan agar kalimat “Wakil-wakil Bangsa Indonesia” diubah menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”. Usul itu disetujui, disusul perintah Bung Karno kepada Sayuti, “Ti, Ti, tik, tik!”

Hari ini, kiprah Sayuti hanya bisa dikenang. Dia meninggal setelah sakit selama satu tahun, dan dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.



sumber : https://aksarainstitute.wordpress.com/2016/02/27/mengenang-sayuti-melik-wartawan-pengetik-naskah-proklamasi/

Buku Wawancara dengan Sayuti Melik, diterbitkan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) tahun 1986. (Dok. Aksara Institute)

Wednesday, February 8, 2017

Biografi Sam Ratulangi (Seri Pahlawan di Uang 2017)


Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi (lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 5 November 1890 – meninggal di Jakarta, 30 Juni 1949 pada umur 58 tahun) adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia dari Sulawesi Utara, Indonesia. Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Sam Ratulangi juga sering disebut-sebut sebagai tokoh multidimensional. Ia dikenal dengan filsafatnya: "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Sam Ratulangi juga merupakan Gubernur Sulawesi yang pertama. Ia meninggal di Jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh pada tanggal 30 Juni 1949 dan dimakamkan di Tondano. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Manado yaitu Bandara Sam Ratulangi dan Universitas Negeri di Sulawesi Utara yaitu Universitas Sam Ratulangi

Pendidikan

Sam Ratulangi mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar Belanda (Europesche Lagere School) di Tondano, lalu ia melanjutkannya di Hoofden School (Sekolah Raja:setingkat SMA), Tondano dan menyelesaikan Sekolah Teknik Koninginlijke Wilhelmina School (saat ini bernama SMK Negeri 1 Jakarta Budi Utomo) bagian mesin, Jakarta pada tahun 1908. Pada tahun 1915, Sam Ratulangi berhasil memperoleh ijazah guru ilmu pasti (Middelbare Acte Wiskunde en Paedagogiek) di Universitas Amsterdam (Universiteit van Amsterdam), Belanda. Pada tahun yang sama, ia melanjutkan studi ke Swiss dan mendapat gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr. Phil.) untuk Ilmu Pasti dan Ilmu Alam di Universitas Zürich tahun 1919.

https://id.wikipedia.org/wiki/Sam_Ratulangi

.

Biografi Frans Kaisiepo (Seri Pahlawan di Uang 2017


Frans Kaisiepo (lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921 – meninggal di Jayapura, Papua, 10 April 1979 pada umur 57 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua. Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia mengusulkan nama Irian, kata dalam bahasa Biak yang berarti tempat yang panas. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Papua antara tahun 1964 -1973. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Untuk mengenang jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak Selain itu namanya juga di abadikan di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo.
Pada tanggal 19 Desember 2016, ia diabadikan dalam uang kertas Rupiah baru pada pecahan Rp. 10.000,-

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Frans_Kaisiepo

Biografi Djoeanda Kartawidjaja (Seri Pahlawan di Uang 2017)


Ir. Raden Haji Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).
Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.
Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang kertas rupiah baru NKRI, pecahan Rp. 50.000

Awal Kehidupan dan Pendidikan 

Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung) dan lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhamadiyah. Karier selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.
Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karier dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari TH Bandung (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar.
Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Deklarasi Juanda dan Perundingan lainnya

Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Isi dari Deklarasi Juanda ini menyatakan:
  1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
  2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
  3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
    1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
    2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
    3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI

https://id.wikipedia.org/wiki/Djoeanda_Kartawidjaja

Biografi Idham Chalid (Seri Pahlawan di Uang 2017)


Dr. KH. Idham Chalid (lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921 – meninggal di Jakarta, 11 Juli 2010 pada umur 88 tahun) adalah salah satu politisi Indonesia yang berpengaruh pada masanya. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua DPR. Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan ia pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1956 -1984.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang kertas rupiah baru, pecahan Rp. 5.000,-

Latar Belakang

Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1921 di Satui, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Ia merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai yang sekitar 200 kilometer dari Kota Banjarmasin. Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Riwayat

Sejak kecil Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR ia langsung duduk di kelas dua dan bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik.
Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah pada tahun 1922. Idham, yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum. Kemudian Idham melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.
Tamat dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibukota, kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia.
Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang dipimpin Hasan Basry yang juga muridnya saat di Gontor. Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.
Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.
Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Hasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.
Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid. Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU. Saat dipercaya menjadi orang nomor satu NU ia masih berusia 34 tahun. Jabatan tersebut dijabatya hingga tahun 1984 dan menjadikannya orang terlama yang menjadi ketua umum PBNU selama 28 tahun.
Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekret Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.
Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam Kabinet Ampera I, Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I yang dibentuk Soeharto, ia dipercaya menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat. Kemudian, di akhir tahun 1970 dia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial untuk melanjutkan tugas dari mendiang A.M. Tambunan yang telah meninggal dunia pada 12 Desember 1970 sampai dengan terpilihnya pengganti yang tetap sampai akhir masa bakti Kabinet Pembangunan I pada tahun 1973.
Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP dan NU tergabung di dalam PPP.
Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua MPR/DPR RI sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang diemban Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai tahun 1983.

Pahlawan nasional

Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan 6 tokoh lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Idham_Chalid