TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Saturday, December 29, 2012

Biografi W.S. Rendra

Willibrordus Surendra Bawana Rendra (beberapa sumber menyebutnya Willibrordus Surendra Broto Rendra) adalah seorang penyair ternama yang terkenal dengan Bengkel Teater-nya serta kerap dijuluki sebagai si-"Burung Merak". Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater, menggubah sajak dan membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, juga di luar negeri.

Lahir di Solo, Jawa Tengah pada 7 November 1935, Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo, seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik di Solo sekaligus sebagai dramawan tradisional dan Raden Ayu Catharina Ismadillah, seorang penari Serimpi di Keraton Surakarta.

Wednesday, July 25, 2012

Biografi Abdurrahman Wahid


Latar Belakang Keluarga

Abdurrahman ad Dakhil, demikian nama lengkapnya. Secara leksikal, “ad dakhil” berarti “Sang Penakluk”, sebuah nama yang diambil Wahid Hasyim, orang tuanya, dari seorang perintis Dinasti Umayyah yang telah menancapkan tonggak kejayaan Islam di Spanyol. Belakangan kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, Abdurrahman Wahid, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas”.


Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara yang dilahirkan di Denanyar Jombang Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940. Secara genetik Gus Dur adalah keturunan “darah biru”. Ayahnya, K.H. Wahid Hasyim adalah putra K.H. Hasyim Asy’ari, pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)-organisasi massa Islam terbesar di Indonesia-dan pendiri Pesantren Tebu Ireng Jombang. Ibundanya, Ny. Hj. Sholehah adalah putri pendiri Pesantren Denanyar Jombang, K.H. Bisri Syamsuri. Kakek dari pihak ibunya ini juga merupakan tokoh NU, yang menjadi Rais ‘Aam PBNU setelah K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Dengan demikian, Gus Dur merupakan cucu dari dua ulama NU sekaligus, dan dua tokoh bangsa Indonesia.

Wednesday, June 27, 2012

Puisi Mustofa Bisri: Ada Apa Dengan Kalian


Kalian sibuk mengujarkan dan mengajarkan kalimat syahadat
Sambil terus mensekutukan diri kalian dengan Tuhan penuh semangat
Berjihad di jalan kalian
Berjuang menegakkan syariat kalian
Memerangi hamba hambaNya yang seharusnya kalian ajak ke jalanNya
Seolah olah kalian belum tahu bedanya
Antara mengajak yang diperintahkanNya
Dan memaksa yang dilarangNya

Kalian kibarkan Rasulurrahmah Al Amien dimana mana
Sambil menebarkan laknatan lil'aalamien kemana mana

Ada apa dengan kalian?

Mulut kalian berbuih akhirat
Kepala kalian tempat dunia yang kalian anggap nikmat

Ada apa dengan kalian?

Kalian bersemangat membangun masjid dan mushalla
Tapi malas memakmurkannya

Kalian bangga menjadi panitia zakat dan infak
Seolah olah kalian yang berzakat dan berinfak
Kalian berniat puasa di malam hari
Dan iman kalian ngeri
Melihat warung buka di siang hari
Kalian setiap tahun pergi umrah dan haji
Tapi kalian masih terus tega berlaku keji

Ada apa dengan kalian?

Demi menjaga tubuh dan perut kaum beriman dari virus keharaman
Kalian teliti dengan cermat semua barang dan makanan
Bumbu penyedap, mie, minyak, sabun, jajanan.
Rokok dan berbagai jenis minuman
Alkohol, minyak babi dan nikotin adalah najis dan setan
Yang mesti dibasmi dari kehidupan
Untuk itu kalian
Tidak hanya berkhotbah dan memasang iklan
Bahkan menyaingi pemerintah kalian
Menarik pajak produksi dan penjualan
Dan agar terkesan sakral
Kalian gunakan sebutan mulia, label halal

Tapi agaknya kalian melupakan setan yang lebih setan
Najis yang lebih menjijikkan
Virus yang lebih mematikan
Daripada virus alkohol, nikotin dan minyak babi
Bahkan lebih merajalela daripada epidemi

Bila karena merusak kesehatan, rokok kalian benci
Mengapa kalian diamkan korupsi yang merusak nurani
Bila karena memabokkan, alkohol kalian perangi
Mengapa kalian biarkan korupsi
Yang kadar memabokkannya jauh lebih tinggi?
Bila karena najis, babi kalian musuhi
Mengapa kalian abaikan korupsi
Yang lebih menjijikkan
Ketimbang kotoran seribu babi

Ada apa dengan kalian?

Kapan kalian berhenti membanguan kandang kandang babi
Di perut dan hati kalian dengan merusak kanan-kiri?
Sampai kalian mati dan dilaknati?

Rembang, 1999

Monday, May 7, 2012

Tan Malaka, Bapak Bangsa Pecinta Sepak Bola


SOSOK laki-laki berwajah tegas dengan sorot mata tajam itu melangkah gagah memasuki lapangan sepak bola Bayah, Banten. Tanpa alas kaki, pria bertubuh kecil itu mulai beraksi. Di tengah temaram senja kota Banten, ia seakan menari ketika memainkan bola dengan lincah dan telaten. Puluhan penonton pun terpesona, melihat kehebatan pemuda itu yang mempunyai nama lengkap Ibrahim Datuk Tan Malaka.

Tan Malaka memang merupakan salah satu dari pejuang bangsa yang mencintai sepak bola. Namanya pantas disandingkan dengan tokoh-tokoh besar lain, seperti Bung Hatta, Sutan Sjahrir, Soekarno, hingga MH Thamrin yang ingin menunjukkan bahwa bangsanya juga manusia. Melalui sepak bola, mereka ingin menegaskan kemanusiaan bangsa Indonesia itu. Bagi mereka, olahraga itu adalah simbolisasi tekad mengangkat harkat martabat bangsa, bukan ajang pertarungan gengsi dari sejumlah pengurusnya yang hanya memikirkan kepentingan pribadi dan materi seperti menggejala saat ini.

Thursday, May 3, 2012

Andai Aku Seorang Belanda


Als Ik Eens Nederlander Was
(Andai Aku Seorang Belanda)



Dalam surat-surat kabar, kini secar ramai-ramai dianjur-anjurkan, supaya diadakan peryaan hindia belanda ini, perayaan kemerdekaan Nederland seratus tahun. Rupa-rupanya segenap penduduk negeri ini diharuskan mengetahuinya, bahwa tepat dalam bulan November y.a.d. ini, Nederland menjadi kerajaan kembali dan rakyatnya menjadi bangsa lain yang merdeka dan berdaulat, sekalipun dalam barisan Negara-negara yang merdeka berdiri paling belakang.
Dipandang dari sudut pengertian yang layak, memang dapatlah orang membenarkan hajat merayakan peristiwa nasional yang tersebut itu. Bukanlah sudah sepatutnya kita menghargai kecintaan dan penghormatan orang-orang Belanda terhadap negerinya sendiri, dengan pahlawan-pahlawannya?! Peringatan-peringatan yang dimaksud itu adalah wujud rasa kebangsaan, bahwa satu abad yang lalu Nederland berhasil melamparkan penjajahan asing dan menjadi suatu bangsa sendiri.

Monday, April 9, 2012

"Menaklukkan Gunung Slamet" oleh Soe Hok Gie



Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth. (Walt Whitman, Song of the Open Road)

Ketika saya menyatakan akan memimpin pendakian Gunung Slamet bersama para mahasiswa, seorang kawan menyatakan bahwa saya gila. "Gunung itu tingginya 3.422 m, gunung nomer dua di Pulau Jawa. Dan menurut Junghun, ia mendaki gunung itu dengan merangkak. Di puncaknya pada musim-musim tertentu suhu dapat turun sekitar nol derajat." Apa yang dikatakan kawan itu memang benar. Seorang rekan organisasi pendaki gunung di Bandung, Wanadri, mengatakan bahwa ketika ia masih bersama rombongan RPKAD mendaki dari lereng selatan, ia memerlukan waktu sebelas jam tanpa istirahat. Lagipula di Gunung Slamet tak ada air. Akhirnya saya putuskan bahwa saya akan mendaki gunung ini. Enam kawan yang terkuat berjalan seminggu sebelum kami. Sepulangnya, mereka memberikan semua informasi yang diperlukan. Dan selama itu saya mempersiapkan hal-hal yang perlu di Jakarta. Dalam rencana, peserta yang akan turut berjumlah 15 orang. Biaya transpor termurah kira-kira Rp. 400,00 pp. Sehingga diperlukan kira-kira Rp. 6.000,00 untuk biaya perjalanan. Uang kas Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam UI) hanya ada Rp. 1.200,00. Jadi saya harus mencari kira-kira Rp. 4.800,00.

Friday, March 9, 2012

Pidato Bung Karno Tentang Marhaenisme

Saudara-saudara seluruh keluarga Front Marhaenis,
Saya ikut gembira, bahwa saudara-saudara seluruh keluarga Front Marhaenis pada hari ini merayakan ulang tahun lahirnya PNI dan Marhaenisme; dan saya mengharapkan hendaknya Front Marhaenis terus maju dalam menggalang seluruh kekuatan revolusioner Rakyat Marhaen kita.
Sewaktu saya 36 tahun yang lalu mencetuskan ajaran Marhaenisme, dasar-pokok keyakinan saya adalah bahwa Indonesia Merdeka hanya dapat dicappai apabila kita dapat mempersatukan seluruh kekuatan Rakyat Marhaen itu dalam suatu organisasi yang maha-hebat. Tanpa persatuan bulat antara seluruh kekuatan rakyat kita, Indonesia merdeka tidak mungkin tercapai! Dan tanpa suatu ajaran revolusioner, maka persatuan itu tak mungkin tercapai! Iitulah keyakinan saya pada waktu itu!

Keyakinan saya ini bukan begitu saja tumbuh; atau dalam bahasa Belandanya bukan hasil dari een slaploze nacht; melainkan hasil dari pemikiran yang luas dan mendalam sekali. Pula hasil pengalaman praktek perjuangan saya, baik selaku pemuda dan mahasiswa, maupun kemudian sebagai seorang pemimpin baru dan muda dalam barisan pergerakan rakyat kita, sekitar tahun 1915-1926 dulu.

Wednesday, February 8, 2012

Biografi Buya HAMKA



Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan julukan HAMKA adalah seorang ulama, sastrawan, sejarawan, dan juga politikus yang sangat terkenal di Indonesia. Ia juga seorang pembelajar yang otodidak dalam bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Hamka pernah ditunjuk sebagai menteri agama dan juga aktif dalam perpolitikan Indonesia. Hamka lahir di desa kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta, 24 Juli 1981 pada umur 73 tahun.

Wednesday, February 1, 2012

Cerita Kunjungan BJ Habibie ke Garuda Indonesia


Pada usianya 74 tahun, mantan Presiden RI, BJ Habibie secara mendadak mengunjungi fasilitas Garuda Indonesia didampingi oleh putra sulung, Ilham Habibie dan keponakannya(?), Adri Subono, juragan Java Musikindo.

Kunjungan beliau dan rombongan disambut oleh President & CEO, Bapak Emirsyah Satar disertai seluruh Direksi dan para VP serta Area Manager yang sedang berada di Jakarta.
Dalam kunjungan ini, diputar video mengenai Garuda Indonesia Experience dan presentasi perjalanan kinerja Garuda Indonesia sejak tahun 2005 hingga tahun 2015 menuju Quantum Leap.
Sebagai “balasan” pak Habibie memutarkan video tentang penerbangan perdana N250 di landasan bandara Husein Sastranegara, IPTN Bandung tahun 1995 (tujuh belas tahun yang lalu!).
Entah, apa pasalnya dengan memutar video ini?

Wednesday, January 25, 2012

Kisah Nyata: Ketika Sri Sultan HB IX terkena tilang di Pekalongan




Kota batik Pekalongan di pertengahan tahun 1960an menyambut fajar dengan kabut tipis , pukul setengah enam pagi polisi muda Royadin yang belum genap seminggu mendapatkan kenaikan pangkat dari agen polisi kepala menjadi brigadir polisi sudah berdiri di tepi posnya di kawasan Soko dengan gagahnya. Kudapan nasi megono khas pekalongan pagi itu menyegarkan tubuhnya yang gagah berbalut seragam polisi dengan pangkat brigadir.

Sunday, January 15, 2012

Biografi Ki Hajar Dewantara

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (sejak 1922 menjadi Ki Hadjar Dewantara) adalah aktivis pergerakan kemerdekaan Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 dan meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun, ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa, suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun orang-orang Belanda.


Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam dengan semangat antikolonial.

Friday, January 13, 2012

PIDATO TAN MALAKA DI KONGRES KOMINTERN IV





Ini adalah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxist Indonesia Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke empat pada 12 Nopember 1922. Mengenai isu yang dibawakan oleh Lenin dan diadopsi dari kongres kedua, yang telah menekankan perlunya sebuah “perjuangan melawan Pan-Islamisme”, Tan Malaka mengusulkan jalan yang lebih positif. Tan Malaka (1897-1949) telah dipilih sebagai ketua Partai Komunis Indonesia pada 1921, tapi pada tahun berikutnya dia dipaksa untuk meninggalkan Hindia Belanda(East indies) oleh otoritas colonial. Setelah proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945, dia kembali ke Indonesia untuk berparsitipasi dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Dia menjadi ketua Partai Murba (Partai Proletar/ buruh, lawan dari brojuis), yang dibentuk pada 1948 untuk mengorganisir kelas oposisi pada pemerintahan Soekarno. Pada Februari 1949 Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi.
Sodara! Setelah mendengar pidato-pidato Jenderal Zinoviev, Jenderal Radek dan sodara-sodara eropa lainnya, sertaberkenaan dengan kepentingan, untuk kita di timur juga, mengenai perlunya front bersatu, saya pikir saya harus angkat bicara, atas nama Partai Komunis Jawa, for jutaan rakyat tertindas di Timur (Hindia Timur).
Saya harus mengajukan beberapa pertanyaan kepada kedua jenderal tersebut. Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan tentang sebuah front bersatu di Jawa; mungkin front bersatu kita adalah sesuatu yang bebeda. Tapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front bersatu dengan nasionalisme revolusioner. Seperti yang kita harus ketahui , bahwa membentuk sebuah front bersatu juga perlu bagi Negara kita, front bersatu kita tidak bisa berdampingan dengan para Demokrat Sosial tapi harus bersama para nasionalis revolusioner. Namun, taktik yang digunakan oleh para nasionalis seringkali berbeda dengan cara kita; sebagai contoh, pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme. Dua hal inilah yang secara khusus saya pertimbangkan, sehingga saya bertanya begini. Pertama, apakah kita akan mendukung gerakan boykot atau tidak? Kedua, apakah kita akan mendukung Pan-Islamisme, ya atau tidak? Bila ya, seberapa jauh kita akan terlibat?
Pemboikotan tersebut, harus saya akui, pasti bukanlah sebuah metode Komunis, tapi hal itu adalah salah satu senjata paling tajamyang ada pada situasi penaklukan politik-militer di (Hindia)Timur. Dalamm dua tahun terahir kita telah menyaksikan keberhasilan pemboikotan rakyat Mesir 1919 melawan imperialism Inggris, dan lagi pemboikotan besar oleh China di ahir 1919 dan awal 1920. Gerakan Pemboikotan terbaru terjadi di India Inggris. Kita bisa menganggap bahwa dalam beberapa tahun kedepan bentuk-bentuk lain pemboikotan akan terwujud di (Hindia) timur. Kita tahu bahwa ini bukan metode kita; ini adalah metode yang cukup borjuis, sesuatu yang dimiliki oleh para borjuis nasionalis. Lebih jauh kita bisa bilang; bahwa pemboikotan berarti dukungan terhadap home-grown capitalism; tapi kita juga telah menyaksikan bahwa setelah gerakan boikot di India, kini ada delapan ratus pemimpin menderita di penjara, bahwa pemboikotan telah membangkitkan sebuah atmosfer yang sangat revolusioner, memang gerakan boikot telah memaksa pemerintahan Inggris untuk meminta bantuan militer kepada Jepang,dalam artian hal itu akan berkembang menjadi sebuah pemeberontakan bersenjata. Kita juga tahu bahwa para pemimpin The mahommedan di india – Dr. Kirchief, Hasret Mahoni dan Ali bersaudara – adalah para nasionalis yang nyata; kita tidak memiliki rising untuk merekam pada saat Gandhi dipenjara. Tapi rakyat di India sangat paham apa yang diketahui oleh para pelaku revolusi di sana: bahwa sebuah kebangkitan local hanya bisa berahir dalam kekalahan, karena kita tidak punya senjata atau material militer lainnya di sana, karena itu pertanyaan dari gerakan boikot akan, sekarang atau nanti, menjadi sebuah tekanan bagi kita para Komunis. Baik di India maupun Jawa kita sadar bahwa banyak Komunis yang cenderung memprokamirkan gerakan boikot di Jawa, mungkin karena ide-ide Komunis yang berasal dari Rusia teah lama dilupakan, atau mungkin ada semacam perasaan leapas dari Komunis di India sebagaimana yang bisa menantang pada semua gerakan. Bagaimanapun juga kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah kita akan mendukung taktik ini, ya atau tidak? Dan seberapa jauh kita akan terlibat?
Pan-Islamisme adalah sebuah sejarah panjang. Pertama saya akan berbicara tentang pengalaman kita di Hindia Belanda dimana kita pernah bekerja sama dengan para Islamis. Di Jawa kita punya organisasi yang sangat besar dengan banyak petani yang sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara 1912 dan 1916 organisasi ini memiliki sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat juta. Itu adalah sebuah pergerakan popular yang sangat besar, yang timbul secara spontan dan sangat revolusioner.
Hingga 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, menuju pergerakan popular ini dan membawa propaganda di sana. Pada 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam terlalu gelisah di pedesaan mengenai control pabrik-pabrik dan slogan: Segala kekuasaan untuk para petani miskin, segala kekuasaan hanya untuk para kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam membuat propaganda yang sama dengan milik Partai Komunis kita, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.
Namun pada 1921 sebuah keretakan timbul sebagai hasil dari kritik janggal terhadap kepemimpinan Sarekat Islam. Pemerintah melalui agennya di Sarekat Islam mengeksploitasi keretakan ini, dan juga mengeksploitasi keputusan pada Kongres Komunis Internasional Kedua: Perjuangan melawan Pan-Islamisme! Apa kata mereka kepada para petani? Mereka bilang: Lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan keretakan, mereka ingin menghancurkan agamamu! Itu terlalu berlebihan untuk seorang petani muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tak akan ! ini adalah cara seorang Muslim berpikir singkat. Para pembuat propaganda di antara agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasinya dengan sangat baik. Jadi kita memiliki kertakan. (ketua: Waktu Anda telah habis)
Saya datang dari Hindia Belanda, dan melalui perjalanan selama empat hari .(Applause).
Para pengikut Sarekat Islam percaya pada propaganda kita dan tetap bersama kita di perut mereka, untuk menggunakan sebuah expresi popular, tapi di hati mereka mereka masih bersama Sarekat Islam, dengan surge mereka. Karena surge adalah sesuatu yang tak bisa kita berikan pada mereka. Karena itulah, mereka memboikot pertemuan-peretemuan kita dan kita tidak bisa melanjutkan propaganda lagi.
Sejak ahir tahun lalu kita telah bekerja kearah pembangunan ulang link dengan Sarekat Islam. Pada kongres kita Desember tahun lalu kita bilang bahwa Muslim di Kaukasus dan Negara-negara lain, yang bekerjasama dengan Soviet dan berjuang melawan Kapitalism Internasional, memahami agama mereka dengan lebih baik, kita juga bilang bahwa, jika mereka ingin membuat sebuah propaganda untuk agama mereka, mereka bisa, meskipun mereka tidak harus melakukannya di berbagai pertemuan tapi di masjid-masjid.
Kita telah ditanya di berbagai pertemuan public: Apakah Anda Muslim - ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan Muslim (Loud applause), karena Tuhan berfirman bahwsanya banyak iblis di antara banyak manusia! (Loud applause.) Jadi kita bebankan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kita tahun lalu kita telah memaksa para pemimpin mereka, melalui para pengikutnya, untuk bekerjasama dengan kita.
Ketika sebuah serangan umum pecah Maret tahun lalu, para pekerja Muslim membutuhkan kita, karena kita memiliki petugas kereta api (railwaymen) di bawah kepemimpinan kita. Para pemimpin Sarekat Islam berkata: Anda ingin bekerjasama dengan kami, jadi Anda harus menolong kami juga. Tentu kita mendatangi mereka, dan berkata: Ya, Tuhan Anda maha kuasa, tapi Dia telah berfirman bahwa di dunia railwaymen lebih berkuasa! (Loud applause.) railwaymen adalah pelaksana executive Tuhan di dunia ini. (Laughter)

Sumber : http://www.tanmalaka.estranky.cz

Friday, January 6, 2012

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Lahirnya Pancasila (Bagian Ketiga/selesai)





Kemudian, apakah dasar yang ke-3? Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu negara untuk satu orang, bukan satu negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan negara “semua buat semua”, “satu buat semua”, “semua buat satu”. Saya yakin, bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan.
Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam, -maaf beribu-ribu maaf keislaman saya jauh belum sempurna,- tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dari hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal, jaga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan atau permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.
Apa-apa yang belum memuaskan, kita bicarakan di dalam permusyawaratan. Badan perwakilan, inilah tempat kita untuk mengemukakan tuntutan-tuntutan Islam. Di sinilah kita usulkan kepada pemimpin-pemimpin rakyat, apa-apa yang kita rasa perlu bagi perbaikan. Jikalau memang kita rakyat Islam, marilah kita bekerja sehebat-hebatnya, agar supaya sebagian yang terbesar daripada kursi-kursi badan perwakilan rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan Islam. Jikalau memang rakyat Indonesia rakyat yang bagian besarnya rakyat Islam, dan jikalau memang Islam di sini agama yang hidup berkobar-kobar di dalam kalangan rakyat, marilah kita pemimpin-pemimpin menggerakkan segenap rakyat ini agar supaya mengerahkan sebanyak mungkin utusan-utusan Islam kedalam badan perwakilan ini. Ibaratnya badan perwakilan rakyat 100 orang anggotanya, marilah kita bekerja, bekerja sekeras-kerasnya, agar spaya 60, 70, 80, 90 utusan yang duduk dalam perwakilan rakyat ini orang Islam, pemuka-pemuka Islam. Dengan sendirinya hukum-hukum yang keluar dari badan perwakilan rakyat ini, hukum Islam pula. Malahan saya yakin, jikalau hal yang demikian itu nyatanya terjadi, barulah boleh dikatakan bahwa agama Islam benar-benar hidup di dalam jiwa rakyat, sehingga 60%, 70%, 80%, 90% utusan adalah orang Islam, pemuka-pemuka Islam, ulama-ulama Islam. Maka saya berkata, baru jikalau demikian, hiduplah, Islam Indonesia, dan bukan Islam yang hanya di atas bibir saja. Kita berkata, 90% daripada kita beragama Islam, tetapi lihatlah di dalam sidang ini berapa persen yang memberikan suaranya kepada Islam? Maaf seribu maaf, saya tanya hal itu! Bagi saya hal itu adalah satu bukti, bahwa Islam belum hidup sehidup-hidupnya di dalam kalangan rakyat. Oleh karena itu, saya minta kepada saudara-saudara sekalian baik yang bukan Islam, maupun terutama Islam, setujuilah prinsip nomor 3 ini, yaitu prinsip permusyawaratan, perwakilan.
Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebat-hebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilan tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah Candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya. Baik di dalam staat Islam, maupun di kalangan staat Kristen, perjuangan selamanya ada. Terimalah prinsip nomor 3, prinsip mufakat, prinsip perwakilan rakyat! Di dalam perwakilan rakyat saudara-saudara Islam dan saudara-saudara Kristen bekerjalah sehebat-hebatnya, kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter di dalam peraturan-peraturan negara Indonesia harus menurut Injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar daripada utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen. Itu adil fair play! Tidak ada satu negara boleh dikatakan hidup, kalau tidak ada perjuangan di dalamnya. Jangan kira di Turki tidak ada perjuangan. Jangan kira dalam negara Nippon tidak ada pergeseran pikiran. Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi pikiran kepada kita, agar supaya dalam pergaulan kita sehari-hari, kita selalu bergosok, seakan-akan menumbuk membersihkan gabah supaya keluar daripadanya beras, dan beras itu akan menjadi nasi Indonesia yang sebaik-baiknya. Terimalah saudara-saudara, prinsip nomor 3, yaitu prinsip permusyawaratan!
Prinsip nomor 4 sekarang saya usulkan. Saya di dalam 3 hari ini belum mendengarkan prinsip, itu yaitu prinsip kesejahteraan, prinsip: tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia Merdeka. Saya katakana tadi: prinsipnya San Min Chu I ialah Mintsu, Min Chuan, Min Sheng: nationalism, democracy, socialism. Maka prinsip kita harus: Apakah kita mau Indonesia merdeka yang kaum kapitalnya merajalela, ataukah yang semua rakyatnya sejahtera, yang semua orang cukup makan, cukup pakaian, hidup dalam kesejahteraan, merasa dipangku oleh ibu pertiwi yang cukup memberi sandang-pangan kepadanya? Mana yang kita pilih, saudara-saudara? Jangan saudara kira, bahwa kalau Badan Perwakilan Rakyat sudah ada, kita dengan sendirinya sudah mencapai kesejahteraan ini. Kita sudah lihat di negara-negara Eropa adalah Badan Perwakilan, adalah parlementaire democratie. Tetapi tidaklah di Eropa justru kaum kapitalis merajalela?
Di Amerika ada satu badan perwakilan rakyat dan tidaklah di Amerika kaum kapitalis merajalela? Tidakkah di seluruh benua Barat kaum kapitalis merajalela? Padahal ada badan perwakilan rakyat! Tak lain dan tak bukan sebabnya, ialah oleh karena badan-badan perwakilan rakyat yang diadakan di sana itu, sekedar menurut resepnya Franche Revolutie. Tak lain tak bukan adalah yang dinamakan demokrasi di sana itu hanyalah politieke democratie saja: semata-mata tidak ada sociale rechtvaardigheid, – tak ada keadilan sosial, tidak ada economiche democratie sama sekali. Saudara-saudara, saya ingat akan kalimat seorang pemimpin Perancis, Jean Jaures yang menggambarkan polieteke democratie. “Di dalam Parlementaire Democratie”, kata Jean Jaures. “di dalam Parlementaire Democratie, tiap-tiap orang mempunyai hak yang sama. Hak politik yang sama, tiap-tiap orang boleh masuk di dalam parlement. Tetapi adakah sociale rechtvaardigheid, adakah kenyataan kesejahteraan di kalangan rakyat? Maka oleh karena itu, Jean Jaures berkata lagi:
Wakil kaum buruh yang mempunyai hak politiek itu di dalam Parlement dapat menjatuhkan minister. Ia seperti Raja! Tetapi di dalam dia punya tempat bekerja, di dalam pabrik, sekarang ia menjatuhkan minister, besok dia dapat dilempar keluar ke jalan raya, dibikin werkloos, tidak dapat makan suatu apa”.
Adakah yang demikian ini yang kita kehendaki?

Saudara-saudara, saya usulkan. Kalau kita mencari demokrasi hendaknya bukan demokrasi Barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni politiek-economische democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial! Rakyat Indoneia sudah lama bicara tentang hal ini. Apakah yang dimaksud dengan Ratu Adil? Yang dimaksud dengan faham Ratu Adil, ialah sociale rechtvaardigheid. Rakyat ingin sejahtera. Rakyat yang tadinya merasa dirinya kurang makan kurang pakaian, menciptakan dunia baru yang di dalamnya ada keadilan, di bawah pimpinan Ratu-Adil. Maka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip hal sociale rechtvaardigheid ini, yaitu bukan saja persamaan politik, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya.
Saudara-saudara, badan permusyawaratan yang kita akan buat, hendaknya bukan badan permusyawaratan politiek democratie saja, tetapi badan yang bersama dengan masyarakat dapat mewujudkan dua prinsip: politieke rechtvaardigheid dan sociale rechtvaardigheid.
Kita akan bicarakan hal-hal ini bersama-sama, saudara-saudara di dalam badan permusyawaratan. Saya ulangi lagi, segala hal akan kita selesaikan, segala hal! Juga di dalam urusan kepala negara, saya terus terang, say tidak akan memilih monarchie. Apa sebab? Oleh karena monarchie “Voorondestelt Ertelijheid”, turun-temurun. Saya seorang Islam, saya demokrat karena saya orang Islam, saya menghndaki mufakat, maka saya minta supaya tiap-tiap kepala negara pun dipilih. Tidaklah agama Islam mengatakan bahwa kepala-kepala negara, baik kalif, maupun Amirul mu’minin, harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kali kita mengadakan kepala negara kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya, menjadi kepala negara Indonesia, dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Bagoes Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monachie itu.
Saudara-saudara, apakah prinsip kelima? Saya telah mengemukakan 4 prinsip”
1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme, – atau perikemanusiaan
3. Mufakat, – atau demokrasi
4. Kesejahteraan sosial
Prinsip kelima hendaknya:
Menyusun Indonesia Merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al Masih. Yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW. Orang Budha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme-agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia atau Negara yang ber-Tuhan!
Marilah kita amalkan, jalankan agama baik Islam maupun Kristen, dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat-menghormati satu sama lain. (Tepuk tangan sebagian hadirin).
Nabi Muhammad SAW telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid, tentang menghormati agama-agama lain. Nabi Isa pun telah menunjukkan verdraagzaanmheid itu. Marilah kita di dalam Indonesia merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Di sinilah, dalam pengakuan azas yang kelima inilah, saudara-saudara, segenap agama yang ada di Indonesia sekarang ini, akan mendapat tempat yang sebaik-baiknya. Dan Negara kita akan bertuhan pula!
Ingatlah, prinsip ketiga, permufakatan, perwakilan, di situlah tempatnya kita mempropagandakan ide kita masing-masing dengan cara yang tidak onverdraagzaam, yaitu dengan cara yang berkebudayaan!
Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai panca indera. Apa lagi yang lima bilangannya? (Seorang yang hadir: Pendawa Lima). Pendawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.
Namnya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa- namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi… (tepuk tangan hadirin riuh rendah)
Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, hingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah “perasan” yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia merdeka, Wistanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsan dan perikemanusiaan saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan sosio-nasionalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tetapi politiek-economiche democratie, yaitu politieke democratie dengan sociale rechtvaardigheid, demokrasi dengan kesejahteraan, saya peraskan pula menjadi satu. Inilah yang dulu sana namakan socio-democratie.
Tinggal lagi Ketuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: Socio-nationalisme, social-democratie, dan ketuhanan. Kalau Tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang ini. Tetapi barangkali tidak semua Tuan-tuan senang dengan trisila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan “Gotong Royong”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong Royong! (tepuk tangan riuh-rendah)
“Gotong Royong” adalah faham yang dinamis, lebih dinamis dari “kekeluargaan” saudara-saudara! Kekeluargaan adalah satu faham yang statis, tetapi gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan, yang dinamakan anggota yang terhormat Soekarno satu karyo, satu gawe. Marilah kita menyelesaikan karyo, gawe, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama. Itulah Gotong-royong! (tepuk tangan riuh rendah)
Prinsip Gotong-royong di antaranya yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah saudara-saudara yang saya usulkan kepada saudara-saudara.
Pancasila menjadi Trisila. Trisila menjadi Ekasila. Tetapi terserah kepada Tuan-tuan, mana yang Tuan-tuan pilih: trisila, ekasila, ataukah pancasila? Isinya telah saya katakan kepada saudara-saudara semuanya. Prinsip-prinsip seperti yang saya usulkan kepada saudara-saudara ini, adalah prinsip untuk Indonesia Merdeka yang abadi. Puluhan tahun dadaku telah menggelora dengan prinsip-prinsip itu. Tetapi jangan lupa, kita hidup di dalam masa peperangan, saudara-saudara. Di dalam masa peperangan itulah kita mendirikan negara Indonesia, -di dalam gunturnya peperangan! Bahkan saya mengucap syukur Alhamdulillah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa kita mendirikan negara Indonesia bukan di dalam sinarnya bulan purnama, tetapi di bawah palu godam peperangan dan di dalam api peperangan. Timbullah Indonesia merdeka, Indonesia yang gemblengan. Indonesia Merdeka yang digembleng dalam api peperangan, dan Indonesia Merdeka yang demikian itu adalah negara Indonesia yang kuat, bukan negara Indoneia yang lambat laun menjadi bubur. Karena itulah saya mengucap syukur kepada Allah SWT.
Berhubung dengan itu, sebagai yang diusulkan oleh beberapa pebicara-pembicara tadi, barangkali perlu didakan noodmaatregel, peraturan yang bersifat sementara. Tetapi dasarnya, isinya Indonesia merdeka yang kekal abadi menurut pendapat saya, haruslah Pancasila. Sebagai dikatakan tadi, saudara-saudara, itulah harus Weltanschauung kita. Entah saudara-saudara mufakatinya atau tidak, tetapi saya berjuang sejak tahun 1918 sampai 1945 sekarang ini untuk Weltanschauung itu. Untuk membentuk nasionalistis Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia, untuk kebangsaan Indonesia yang hidup di dalam perikemanusiaan, untuk permufakatan, untuk sociale rechtvaardigheid: untuk Ketuhanan. Pancasila, itulah yang berkobar-kobar di dalam dada saya sejak berpuluh tahun lalu. Tetapi, saudara-saudara, diterima atau tidak, terserah kepada saudara-saudara. Tetapi saya sendiri mengerti seinsyaf-insyafnya, bahwa tidak ada satu Weltanschauung dapat menjelma dengan sendirinya, menjadi realitiet dengan sendirinya. Tidak ada satu Weltanschauung dapat menjadi kenyataan, menjadi realitiet, jika tidak dengan perjuangan!
Jangan pun Weltanschauung yang diadakan oleh manusia, jangan pun yang diadakan oleh Hitler, oleh Stalin, oleh Lenin, oleh Sun Yat Sen!
“De Mensch”, manusia! – harus perjuangkan itu. Zonder perjuangan itu tidaklah ia akan menjadi realitiet! Leninisme tidak bisa menjadi realitiet zonder perjuangan seluruh rakyat Rusia, San Min Chu I tidak dapat menjadi kenyataan zonder perjuangan bangsa Tionghoa, saudara-saudara! Tidak! Bahkan saya berkata lebih lagi dari itu: zonder perjuangan manusia, tidak ada satu hal agama, tidak ada satu cita-cita agama yang dapat menjadi realitiet. Jangan pun buatan manusia, sedangkan perintah Tuhan yang tertulis di dalam kitab Al Qur’an, zwart of wit (tertulis di atas kertas), tidak dapat menjelma menjadi realitiet zonder perjuangan manusia yang dinamakan umat Islam. Begitu pula perkataan-perkataan yang tertulis di dalam Injil, cita-cita yang termasuk di dalamnya tidak dapat menjelma zonder perjuangan umat Kristen.
Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang saya usulkan itu, menjadi satu realitiet, yakni jikalau ingin hidup menjadi satu bangsa, satu nationaliteit yang merdeka, ingin hidup sebagai anggota dunia yang merdeka, yang penuh dengan perikemanusiaan, ingin hidup di atas dasar permusyawaratan, ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup dengan sejahtera dan aman, dengan Ketuhanan yang luas dan sempurna, – syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan dan sekali lagi perjuangan. Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia Merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak! Bahkan saya berkata: Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan sekarang, lain coraknya. Nanti kita, bersama-sama, sebagai bangsa yang bersatu-padu, berjuang terus menyelenggarakan apa yang kita cita-citakan di dalam Pancasila. Dan terutama di dalam zaman peperangan ini, yakinlah, insyaflah, tanamkanlah dalam kalbu saudara-saudara, bahwa Indonesia Merdeka tidak dapat datang jika bangsa Indonesia tidak berani mengambil resiko,- tidak berani terjun menyelami mutiara di dalam samudra yang sedalam-dalamnya. Jikalau bangsa Indonesia tidak bersatu dan tidak menekad-mati-matian untuk mencapai merdeka, tidaklah kemerdekaan Indonesia itu akan menjadi milik bangsa Indonesia buat selama-lamanya, sampai ke akhir zaman! Kemerdekaan hanyalah diperdapat dan dimiliki oleh bangsa, yang jiwanya berkobar-kobar dengan tekad “Merdeka,’merdeka atau mati”! (tepuk tangan riuh)
Saudara-saudara! Demikianlah saya punya jawab atas pertanyaan Paduka Tuan Ketua. Saya minta maaf, bahwa pidato saya ini menjadi panjang lebar, dan sudah meminta tempo yang sedikit lama, dan saya juga minta maaf, karena saya telah mengadakan kritik terhadap catatan Zimukyokutyoo yang saya anggap “verchrikkelijk zwaarwichtif” itu.
Terima kasih. (tepuk tangan riuh rendah dari segenap hadirin)-(TAMAT)
Sumber ;

Wednesday, January 4, 2012

Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, Lahirnya Pancasila (Bagian Kedua)




Saudara-saudara! Sesudah saya bicarakan tentang hal “merdeka” maka sekarang yang bicarakan tentang hal dasar.
Paduka tuan Ketua yang mulia! Saya mengerti apakah yang Paduka tuan Ketua kehendaki! Paduka tuan Ketua minta dasar, minta philosophisce grondslag, atau jikalau kita boleh memakai perkataan yang muluk-muluk, Paduka tuan Ketua yang mulia meminta suatu “Weltanschauung”, di atas mana kita mendirikan negara Indonesia itu.
Kita melihat dalam dunia ini, bahwa banyak negeri-negeri yang merdeka, dan banyak di antara negeri-negeri yang merdeka itu berdiri di atas “Weltanschauung”. Hitler mendirikan Jermania di atas “national-sozialistische Weltanscahuung”, filsafat nasional-sosialisme telah menjadi dasar negara Jermania yang didirikan oleh Adolf Hitler itu. Lenin mendirikan negara Sovyet di atas satu “Weltanschauung”. Yaitu Marxistische, Historisch-Materialistische Weltanschauung. Nippon mendirikan negara Dai Nippon di atas “Weltanschauung”, yaitu yang dinamakan “Tenoo Koodoo Seishin”. Di atas “Tenoo Koodoo Seishin” inilah negara Dai Nippon didirikan. Saudi Arabia, Ibn Saud, mendirikan negara Arabia di atas satu “Weltanschauung”, bahkan di atas satu dasar agama, yaitu Islam. Demikian itulah, yang diminta oleh Paduka tuan Ketua yang mulia: Apakah “Weltanschauung” kita, jikalau kita hendak mendirikan Indonesia yang merdeka?
Tuan-tuan sekalian, “Weltanschauung” ini sudah lama harus kita bulatkan di dalam hati kita dan di dalam pikiran kita, sebelum Indonesia datang. Idealis-idealis di seluruh dunia bekerja mati-matian untuk mengadakan bermacam-macam “Weltanschauung” mereka itu. Maka oleh karena itu, sebenarnya tidak benar perkataan anggota yang terhormat Abikoesno, bila beliau berkata, bahwa banyak sekali negara-negara merdeka didirikan dengan isi seadanya saja, menurut keadaan. Tidak! Sebab misalnya, walaupun menurut perkataan John Reed: “Sovyet – Rusia didirikan di dalam 10 hari oleh Lenin c.s.”, John Reed, di dalam kitabnya: “Ten days that shock the world”, “Sepuluh hari yang menggoncangkan dunia”, walaupun Lenin mendirikan Sovyet- Rusia di dalam 10 hari, tetapi “Weltanschauung”nya telah tersedia berpuluh-puluh tahun. Terlebih dulu telah tersedia “Weltanschauung”-nya, dan di dalam 10 hari itu hanya sekedar direbut kekuasaan, dan ditempatkan negara baru itu di atas “Weltanschauung” yang sudah ada. Dari 1895 “Weltanschauung” itu dicobakan di “generala-repetitie-kan”.
Lenin di dalam revolusi tahun 1905 telah mengerjakan apa yang dikatakan oleh beliau sendiri “generale-repetitie” daripada revolusi tahun 1917. Sudah lama sebelum 1917, “Weltanschauung” itu disedia-sediakan, bahkan diikhtiar-ikhtiarkan. Kemudian, hanya dalam 10 hari, sebagai dikatakan oleh John Reed, hanya dalam 10 hari itulah didirikan negara baru, direbut kekuasaan, ditaruhkan kekuasaan itu di atas “Weltanschauung” yang telah berpuluh-puluh tahun umurnya itu. Tidakkah pula Hitler demikian?
Di dalam tahun 1933 Hitler menaiki singgasana kekuasaan, mendirikan negara Jermania di atas National-sozialistische Weltanschauung.
Tetapi kapankah Hitler mulai menyediakan dia punya “Weltanschauung” itu? Bukan di dalam tahun 1933, tetapi di dalam tahun 1921 dan 1922 beliau telah bekerja, kemudian mengikhtiarkan pula, agar supaya Naziisme ini, “Weltanschauung” ini, dapat menjelma dengan dia punya “Munchener Putch”, tetapi gagal. Di dalam 1933 barulah datang saatnya yang beliau dapat merebut kekuasaan, dan negara diletakkan oleh beliau di atas dasar “Weltanschauung” yang telah dipropagandakan berpuluh-puluh tahun itu.
Maka demikian pula, jika kita hendak mendirikan negara Indonesia merdeka, Paduka tuan Ketua, timbullah pertanyaan: Apakah “Weltanschauung” kita, untuk mendirikan negara Indonesia Merdeka di atasnya? Apakah nasional-sosialisme? Apakah historisch-materialisme? Apakah San Min Chu I, sebagai dikatakan oleh doctor Sun Yat Sen?

Di dalam tahun 1912 Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok merdeka, tetapi “Weltanschauung”nya telah diikhtiarkan tahun 1885, kalau saya tidak salah, dipikirkan, dirancangkan. Di dalam buku “The three people’s principles” San Min Chu I, Mintsu, Minchuan, Min Sheng, nasionalisme, demokrasi, sosialisme, telah digambarkan oleh doctor Sun Yat Sen. Weltanschauung itu, baru dalam tahun 1912 beliau mendirikan negara baru di atas “Weltanschauung” San Min Chu I itu, yang telah disediakan terdahulu berpuluh-puluh tahun.
<
Kita hendak mendirikan negara Indonesia Merdeka di atas “Weltanschauung” apa? Nasional-sosialisme-kah? Marxisme-kah, San Min Chu-I-kah, atau “Weltanschauung” apakah?
Saudara-saudara sekalian, kita telah bersidang tiga hari lamanya, banyak pikiran telah dikemukakan, macam-macam, tetapi alangkah benarnya perkataan dr. Soekiman, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan, mencari persetujuan faham. Kita bersama-sama mencari persatuan philosophische grondslag, mencari satu “Weltanschauung” yang kita semua setuju: Saya katakana lagi setuju! Yang Saudara Yamin setujui, yang Ki Bagoes setujui, yang Ki Hadjar setujui, yang Saudara Sanoesi setujui, yang saudara Abikoesno setujui, yang saudara Lim Koen Hian setujui, pendeknya kita semua mencari modus. Tuan Yamin, ini bukan kompromis, tetapi kita bersama-sama mencari satu hal yang kita bersama-sama setujui. Apakah itu? Pertama-tama, saudara-saudara, saya bertanya: Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan?
Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara “semua buat semua”. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan, maupun golongan yang kaya, tetapi “semua buat semua”. Inilah salah satu dasar pikiran yang nanti akan saya kupas lagi. Maka, yang selalu mendengung di dalam saya punya jiwa, bukan saja di dalam beberapa hari di dalam sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosaki ini, akan tetapi sejak tahun 1918, 25 tahun lebih, ialah: Dasar pertama, yang baik dijadikan dasar buat negara Indonesia, ialah dasar kebangsaan.
Kita mendirikan satu negara kebangsaan Indonesia.
Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: Maafkanlah saya memakai perkataan “kebangsaan” ini! Sayapun orang Islam. Tetapi saya minta kepada saudara-saudara. Janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu nationale staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakana kemarin, maka tuan adalah orang bangsa Indonesia, bapak tuan pun orang Indonesia, nenek tuan pun bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan negara Indonesia.
Satu Nationale Staat! Hal ini perlu diterangkan lebih dahulu, meski saya di dalam rapat besar di Taman Raden Saleh sedikit-sedikit telah menerangkannya. Marilah saya uraikan lebih jelas dengan mengambil tempo sedikit: Apakah yang dinamakan bangsa? Apakah syaratnya bangsa?
Menurut Rena syarat bangsa ialah “kehendak akan bersatu” perlu orang-orang yang merasa diri bersatu dan mau bersatu.
Ernest Renan menyebut syarat bangsa: “le, desir d’etre ensemble”, yaitu kehendak akan bersatu. Menurut definisi Ernest Renan, maka yang menjadi bangsa, yaitu satu gerombolan manusia yang mau bersatu, yang merasa dirinya bersatu.
Kalau kita lihat definisi orang lain, yaitu definisi Otto Bauer, di dalam bukunya “Die Nationalitatenfrage”, di situ ditanyakan: “Was ist eine Nation?” dan jawabnya ialah “Eine Nation ist eine aus Schiksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft”. Inilah menurut Otto Bauer satu natie. (Bangsa adalah satu persatuan perangai yang timbul karena persatuan nasib).
Tetapi kemarin pun, tatkala, kalau tidak salah, Prof. Soepomo mensitir Ernest Renan, maka anggota yang terhormat Mr. Yamin berkata “verouderd”, “sudah tua”. Memang tuan-tuan sekalian, definisi Ernest Renan sudah “verouderd”, sudah tua. Definisi Otto Bauer pun sudah tua. Sebab tatkala Ernest Renan mengadakan definisinya itu, tatkala Otto Bauer mengadakan definisinya itu, tatkala itu belum timbul satu wetenchap baru, satu ilmu baru, yang dinamakan Geopolitik.
Kemarin, kalau tidak salah, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo, atau tuan Moenandar, mengatakan tentang “Persatuan antara orang dan tempat”. Persatuan antara orang dan tempat, tuan-tuan sekalian, persatuan antara manusia dan tempatnya!
Orang dan tempat tidak dapat dipisahkan! Tidak dapat dipisahkan rakyat dari bumi yang ada di bawah kakinya. Ernest Renan dan Otto Bauer hanya sekedar melihat orangnya. Mereka hanya memikirkan “Gemeinschaft”nya dan perasaan orangnya, “I’ame et le desir”. Mereka hanya mengingat karakter, tidak mengingat karakter, tidak mengingat tempat, tidak mengingat bumi, bumi yang didiami manusia itu. Apakah tempat itu? Tempat itu yaitu tanah air. Tanah air itu adalah satu kesatuan. Allah SWT, membuat peta dunia, kita dapat menunjukkan di mana “kesatuan-kesatuan” di situ. Seorang anak kecil pun, jikalau ia melihat peta dunia, ia dapat menunjukkan bahwa kepulauan Indonesia merupakan satu kesatuan. Pada peta itu dapat ditunjukkan satu kesatuan gerombolan pulau-pulau di antara 2 lautan yang besar lautan Pacific dan lautan Hindia, dan di antara 2 benua, yaitu benuar Asia dan benua Australia. Seorang anak kecil dapat mengatakan bahwa pulau-pulau Jawa, Sumatera, Selebes, Halmaheira, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dan lain-lain pulau kecil di antaranya adalah satu kesatuan. Demikian pula tiap-tiap anak kecil dapat melihat pada peta bumi, bahwa pulau-pulau Nippon yang membentang pada pinggir Timur benua Asia adalah “golbreker” atau pengadang gelombang lautan Pacific adalah satu kesatuan.
Anak kecil pun dapat melihat, bahwa tanah India adalah satu kesatuan di Asia Selatan, dibatasi oleh lautan Hindia yang luas dan gunung Himalaya. Seorang anak kecil pula dapat mengatakan, bahwa kepulauan Inggris adalah satu kesatuan.
Griekenland atau Yunani dapat ditunjukkan sebagai satu kesatuan pula. Itu ditaruhkan oleh Allah SWT demikian rupa. Bukan Sparta saja, bukan Athene saja, bukan Macedonia saja, tetapi Sparta plus Athene plus Macedonia plus daerah Yunani yang lain-lain, segenap kepulauan Yunani, adalah satu kesatuan.
Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah-darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah-air kita. Indonesia yang bulat, bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera, itulah tanah-air kita!
Maka jikalau saya ingat perhubungan antara orang dan tempat, antara rakyat dan buminya, maka tidak cukuplah definisi yang dikatakan oleh Ernest Renan dan Otto Bauer itu. Tidak cukup “le desir d’etre ensemble”, tidak cukup definisi Otto Bauer “aus Schiksalgemeinschaft erwachsene Charaktergemeinschaft” itu. Maaf saudara-saudara, saya mengambil contoh Minangkabau. Di antara bangsa Indonesia, yang paling ada “desir d’etre ensemble”, adalah rakyat Minangkabau, yang banyaknya kira-kira 2,5 milyun. Rakyat ini merasa dirinya satu keluarga. Tetapi Minangkabau bukan satu kesatuan, melainkan hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan! Penduduk Jogja pun adalah merasa “le desir d’etre ensemble”, tetapi Jogja pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan. Di Jawa Barat rakyat Pasundan sangat merasakan “le desir d’etre ensemble”, tetapi Sunda pun hanya satu bagian kecil daripada satu kesatuan.
Pendek kata, bahasa Indonesia, Natie Indonesia, bukanlah sekedar satu golongan orang yang hidup dengan “le desir d’etre ensemble” di atas daerah yang kecil seperti Minangkabau, atau Madura, atau Jogja, atau Sunda, atau Bugis, tetapi bangsa Indonesia ialah seluruh manusia-manusia yang menurut geopolitik yang telah ditentukan oleh Allah SWT tinggal di kesatuannya semua pulau-pulau Indonesia dari ujung Utara Sumatera sampai ke Irian! Seluruhnya! Karena antara manusia 70.000.000 ini sudah ada “le desir d’etre ensemble”, sudah terjadi, Charaktergemeinschaft! Natie Indonesia, bangsa Indonesia, ummat Indonesia jumlah orangnya adlah 70.000.000, tetapi 70.000.000 yang telah menjadi satu-satu, sekali lagi satu! (tepuk tangan hebat)
Ke sinilah kita semua harus menuju: mendirikan satu Nationale Staat, di atas kesatuan bumi Indonesia dari ujung Sumatera sampai ke Irian. Saya yakin tidak ada satu golongan di antara tuan-tuan yang tidak mufakat, baik Islam maupun golongan yang dinamakan “golongan kebangsaan”. Ke sinilah kita harus menuju semuanya.
Saudara-saudara, jangan orang mengira, bahwa tiap-tiap negara merdeka adalah satu nationale staat! Bukan Pruisen, bukan Beieren, bukan Saksen adalah nationale staat, tetapi seluruh Jerman ialah satu nationale staat. Bukan bagian kecil-kecil, bukan Venetia, bukan Lombardia, tetapi seluruh Italialah, yaitu seluruh semenanjung di Laut Tengah, yang di utara dibatasi oleh pegunungan Alpen, adalah nationale staat. Bukan Benggala, bukan Punjab, bukan Bihar, dan Orissa, tetapi seluruh segitiga Indialah nanti harus menjadi nationale staat.
Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu, adalah nationale staat. Kita hanya 2 kali mengalami nationale staat, yaitu di zaman Sriwijaya dan di zaman Majapahit. Di luar dari itu, kita tidak mengalami nationale staat. Saya berkata dengan penuh hormat kepada kita punya raja-raja dahulu, saya berkata dengan beribu-ribu hormat kepada Sultan Agung Hanjokrooesoemo, bahwa Mataram, meskipun merdeka, bukan national staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Siliwangi di Pajajaran, saya berkata, bahwa kerajaannya bukan nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Prabu Sultan Agung Tirtajasa saya berkata, bahwa kerajaannya di Banten meskipun merdeka, bukan satu nationale staat. Dengan perasaan hormat kepada Sultan Hassanuddin di Sulawesi yang telah membentuk kerajaan Bugis, saya berkata bahwa tanah Bugis yang merdeka itu bukan nationale staat.
Nationale staat hanya Indonesia seluruhnya, yang telah berdiri di zaman Sriwijaya dan Majapahit dan yang kini pula kita harus dirikan bersama-sama. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar negara yang pertama: Kebangsaan Indonesia. Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali, atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi dasar satu nationale staat. Maaf, Tuan Lim Koen Hian, Tuan tidak mau akan kebangsaan? Di dalam pidato Tuan, waktu ditanya sekali lagi oleh Paduka Tuan Fuku Kaityoo, Tuan menjawab: “Saya tidak mau akan kebangsaan”.
Tuan Lim Koem Hian: Bukan begitu! Ada sambungannya lagi.
Tuan Soekarno: Kalau begitu, maaf, dan saya mengucapkan terima kasih, karena tuan Lim Koen Hian pun menyetujui dasar kebangsaan. Saya tahu, banyak juga orang-orang Tionghoa klasik yang tidak mau akan dasar kebangsaan, karena mereka memeluk faham kosmopolitisme, yang mengatakan tidak ada kebangsaan, tidak ada bangsa. Bangsa Tionghoa dahulu banyak yang kena penyakit kosmopolitisme, sehingga mereka berkata bahwa tidak ada bangsa Tionghoa, tidak da bangsa Nippon, tidak ada bangsa India, tidak ada bangsa Arab, tetapi semuanya “mensch heid”, “peri kemanusiaan”. Tetapi Dr. Sun Yat Sen bangkit, memberi pengajaran kepada rakyat Tionghoa, bahwa ada kebangsaan Tionghoa! Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, katanya: Jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 17. Tetapi pada tahun 1918, Alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, – ialah Dr. Sun Yat Sen! Di dalam tulisannya “San Min Chu I” atau “The Three People’s Principles”, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan oleh A. Baars itu.
Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh “The Three People’s Principles” itu, Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr. Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormat-hormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, – masuk ke lobang kabur. (Anggota-anggota Tionghoa bertepuk tangan)
Saudara-saudara, Tetapi… tetapi… menentang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinism, sehingga berfaham “Indonesia Uber Alles”. Inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja daripada dunia! Ingatlah akan hal itu!
Gandhi berkata: “Saya seorang nasionalisme, tetapi kebangsan saya adalah peri kemanusiaan”. –”My nationalism is humanity”.
Kebangsaan yang kita anjurkan bukan kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinism, sebagai dikobar-kobarkan orang di Eropa, yang mengatakan “Deutshland uber Alles”, tidak ada yang setinggi Jermania, yang katanya bangsa minulyo, berambut jagung dan bermata biru “bangsa Aria”, yang dianggapnya tertinggi di atas dunia, sedangkan bangsa lain-lain tidak ada harganya. Jangan kita berdiri di atas asas demikian. Tuan-tuan, jangan berkata, bahwa bangsa Indonesia yang terbagus dan termulya serta meremehkan bangsa lain. Kita harus menuju persatuan dunia, persaudaraan dunia.
Kita bukan saja harus mendirikan negara Indoneia Merdeka tetapi kita harus menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa.
Justru inilah prinsip-prinsip saya yang kedua. Inilah filosofiseli principle yang nomor dua; yang saya usulkan kepada Tuan-tuan, yang boleh saya namakan “internasionalisme”. Tetapi jikalau saya katakan internasionalisme, bukanlah saya bermaksud kosmopolitisme, yang tidak mau akan adanya kebangsaan, yang mengatakan tidak ada Indonesia, tidak ada Nippon, tidak ada Birma, tidak ada Inggris, tidak ada Amerika dan lain-lainnya.
Internasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak berakar di dalam buminya nasionalisme. Nasionalisme tidak dapat hidup subur, kalau tidak hidup dalam tamansarinya internasionalisme. Jadi, dua hal ini, saudara-saudara, prinsip 1 dan prinsip 2, yang pertama-tama saya usulkan kepada tuan-tuan sekalian, adalah bergandengan erat satu sama lain.
sumber: