TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Sunday, November 29, 2015

Biografi Abdoel Moeis

Abdoel moeis.jpg

Dunia kesusastraan Indonesia mengenal Abdul Muis sebagai pengarang yang cukup produktif. Bukunya ”Salah Asuhan ” yang bertemakan kritik sosial, sering dibicarakan orang. Kalangan politik, khususnya dalam masa pergerakan Nasional, mengenal Abdul Muis sebagai salah seorang tokoh Sarekat Islam (SI) yang berani dan sanggup membangkitkan semangat massa melalui pidato-pidatonya.

la lahir tanggal 3 Juli 1883 di Sungai Puar, Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Jabatan ayahnya sebagai Tuanku Laras (setingkat Wedana) memungkinkan setamat dari ELS Abdul Muis memasuki STOVIA (School tot Oleiding Voor Inlandsche Artsen) atau Sekolah Dokter Bumi Putera di Jakarta. Waktu diadakan ujian pratikum, Abdul Muis jatuh pingsan. Ternyata ia tidak tahan melihat darah. Dengan demikian gagallah cita-cita Muis untuk menjadi dokter.

la lalu beberapa waktu lamanya bekerja sebagai pegawai negeri pada Departemen Van Eredienst en Nijverhid (Departemen Agama dan Kerajinan). Sesudah itu ia pindah ke harian "Preanger Bode” surat kabar Belanda yang terbit di Bandung. Tugas Abdul Muis adalah mengoreksi karangan-karangan yang akan dimasukkan ke percetakan. Dengan sendirinya ia membaca karangan-karangan Belanda berisi penghinaan terhadap bangsa Indonesia.

Perasaan Muis tersinggung. Ia mengajukan protes kepada atasannya, tetapi tidak pernah ditanggapi. Hal itu mendorongnya untuk juga menulis karangan-karangan yang menangkis penghinaan yang dilontarkan terhadap bangsanya oleh penulis-penulis Belanda. Artikel-artikel itu dikirimnya ke hari­an ”De Express” harian berbahasa Belanda yang dipimpin oleh Douwes Deker (Danudirja Setiabudi), seorang Indo yang menentang penjajahan Be­landa.

Sementara itu pertentangannya dengan pimpinan Preanger Bode semakin meningkat. Akhimya Muis meninggalkan Preanger Bode dan pindah bekerja ke harian ”Kaum Muda”. Di sini ia diterima menjadi pimpinan redaksi.

Melalui harian ”Kaum Muda” ia dapat menyalurkan hasratnya tanpa ada yang menghalangi. Tulisan-tulisannya bernada tajam mengecap pemerintah. Ia juga mengasuh ruangan ”pojok” yang terdapat pada harian itu, yang diberinya nama ”Keok”, artinya kalah atau serba salah. Dalam ruangan pojok itu ia melontarkan sindiran yang tajam, tetapi lucu. Penggemar ”Keok” bukan saja tokoh-tokoh Pergerakan Nasional, tetapi juga pegawai pemerintah. Di samping itu ia juga membantu harian ”De Express” dan duduk dalam staf redaksi. Tulisan-tulisannya ditandai A.M. alias dari Abdul Muis.

Selain menulis, Abdul Muis terkenal pula pandai berdebat dan berpidato. Dengan bekal itu ia terjun ke dalam gelanggang pergerakan nasional. Waktu di Bandung didirikan cabang ”Sarekat Islam” (SI) Muis masuk menjadi anggota. Mula-mula ia hanya tercatat sebagai anggota biasa, tetapi berkat kegiatan dan kecakapannya, tak lama kemudian ia diangkat menjadi Wakil Ketua SI cabang Bandung, dan sebagai ketua adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Selain itu ia duduk pula sebagai anggota pimpinan sentral komite pengurus pusat SI.

Perhatiannya kepada Pergerakan Nasional semakin besar dan sejalan dengan itu, sikapnya terhadap Pemerintah Kolonial semakin tegas.

Pada bulan November 1913 Pemerintah Hindia Belanda bermaksud mengadakan perayaan besar-besaran memperingati ”100 Tahun Kemerdekaan Negeri Belanda” (Dari Penjajahan Perancis). Untuk membiayai peringatan perayaan itu pemerintah memungut uang dari rakyat. Kaum nasional Indone­sia menganggap tindakan itu sangat tidak adil. Rakyat Indonesia masih berada dalam kungkungan penjajahan, tetapi diharuskan memberikan uang untuk memperingati perayaan kemerdekaan bangsa yang sedang menjajah mereka.

Maka atas prakarsa Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dr. Cipto Mangunkusumo dan Wignyadisastra (Harian Kaum Muda) dibentuklah ”Komite Bumi Putera”, yaitu komite yang akan merayakan ”100 tahun kemerdekaan negeri Belanda” dengan caranya sendiri berbeda dengan cara Pemerintah Kolonial merayakannya. Abdul Muis giat di dalam komite itu. ”Komite Bumi Putera” dibentuk sebagai protes terhadap tindakan pemerin­tah. Selain itu komite bermaksud pula mengirimkan telegram kepada Ratu Wilhemina supaya di Indonesia dibentuk parlemen yang sesungguhnya.

Suwardi Suryaningrat melancarkan protes melalui tulisannya yang berjudul ”Als ik eens Vederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda). Dengan cara halus ia menyindir pemerintah Belanda yang bermaksud meraya­kan hari kemerdekaan di tanah jajahannya. Dr. Cipto Mangunkusumo pun menulis artikel berjudul ”Kracht of Vrees” (Kekuatan atau Ketakutan).

Pemerintah segera bertindak, Suwardi, Cipto, Wignyadisastra dan Ab­dul Muis ditangkap dan ditahan di dalam penjara. Douwes Dekker membela mereka dengan menulis artikel berjudul ”Onze helden, Cipto Mangunkusumo, en R.M. Suwardi Suryaningrat” (Pahlawan kita, Cipto Mangunkusumo, dan RM. Suwardi Suryaningrat). Tulisan itu ia menyebabkan ia ditangkap dan dipenjarakan pula. Abdul Muis dan Wignyadisasira dilepaskan dari tahanan sedang ketiga orang lainnya dihukum buang dalam negeri. Atas permintaan mereka hukuman itu diganti dengan pengasingan ke negeri Belanda.

Meskipun telah mengalami penahanan, Muis tetap giat dalam politik. Dalam tahun 1916 di Bandung dilangsungkan Kongres Nasional pertama SI. Dalam kongres itu semakin keras terdengar suara-suara yang menyatakan ketidakpuasan rakyat terhadap politik jajahan. Abdul Muis dalam pidatonya mengatakan, bahwa SI memilih cara-cara itu tidak mendatangkan hasil, maka rakyat harus siap membalas kekerasan dengan kekerasan.

Sekalipun kegiatan Abdul Muis dalam partai sudah banyak menyita waktunya, namun bidang jurnalistik tidak ditinggalkannya sama sekali. Dalam tahun 1916 itu pula ia bekerja sama dengan Haji Agus Salim memimpin majalah ”Neraca”. Tugas sebagai redaksi ”Neraca” dijalankan selama delapan tahun. Karena penghasilan sebagai redaktur itu tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, maka ia pun bekerja sebagai pegawai pada "Inlandsch Credietwezen” (Urusan Kredit Bumi Putera). Sejak bekerja di sini, ia memperhatikan nasib buruh dan para pegawai.

Sementara itu tahun 1914, Eropa dilanda oleh Perang Dunia I. Negeri Belanda terlibat di dalamnya. Dengan sendirinya masalah penahanan In­donesia menjadi pembicaraan dalam sidang Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk dalam tahun 1918. Waktu itu Abdul Muis sudah menjadi anggota Volksraad. Ia bersama Cokroaminoto sudah mewakili SI. Untuk membicarakan masalah pertahanan itu dibentuk sebuah komite yang disebut ”Indie Weerbaar” (Ketahanan Hindia Belanda). Komite itu mengirim utusan ke Negeri Belanda untuk memperjuangkan, agar di Indonesia dilaksanakan milisi. Utusan itu terdiri dari Abdul Muis, Dwijosewoyo (Wakil Budi Utomo) dan D. Van Hindeloopen.

Perjuangan untuk milisi itu gagal, tetapi Abdul Muis berhasil meyakinkan Pemerintah Belanda, bahwa di Indonesia perlu didirikan sekolah tinggi teknik. Hal itu kemudian berwujud dengan didirikannya ’Technise Hooge School” (Sekarang Institut Teknologi Bandung, ITB). Gagasan itu timbul setelah Abdul Muis mencoba naik pesawat terbang. Dari pengalaman itu ia yakin bahwa kemajuan teknik barat perlu dipelajari oleh pemuda-pemuda Indonesia.

Setelah kembali ke Tanah Air suara Abdul Muis makin keras menuntut perbaikan-perbaikan untuk rakyat. Ia sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah sebagai anggota Volksraad dan sebagai wakil SI. Dalam kunjungan ke Sumatera Barat ia berpidato mengenai perlunya pemerintahan sendiri bagi Indonesia. Selain itu dibahasnya pula soal rodi yang sangat memberatkan bagi penduduk.

Rodi itu dikatakan sebagai kerja paksa untuk yang dipertuan. Rakyat dianjurkan agar supaya berjuang untuk menghapuskan rodi. Daerah Sulawesi tak luput pula dari kunjungannya. Dalam kesempatannya ia berpidato, ia selalu menganjurkan para pemuda agar berusaha mencapai kemajuan. Pengalaman di luar negeri diceritakan kepada para pemuda tersebut, katanya ”Jika orang lain bisa, saya juga bisa, mengapa pemuda-pemuda kita tidak bisa, jika memang mau berjuang?!”

Pada tahun 1919 dalam SI timbul perpecahan. Semaun, Darsono, Alimin, dan tokoh-tokoh SI Semarang, sudah kemasukan ideologi komunis. Hal itu cukup membahayakan kehidupan partai. Karena itu Abdul Muis dan Agus Salim mengusulkan supaya diadakan disiplin partai, artinya orang-orang yang berhaluan komunis harus meninggalkan SI. Dengan cara demikian kelompok komunis keluar dari SI. Dalam tahun 1920 mereka mendirikan Partai Komunis Hindia kemudian menjadi PKI pada tahun 1924.

Perhatian Abdul Muis terhadap perburuhan sudah dimulai ketika ia masih menjadi pegawai urusan kredit Bumi Putera. Sejak itu ia berjuang untuk memperbaiki keadaan sosial para buruh. Dalam tahun 1920 Muis dipilih menjadi ketua pengurus besar ”Perkumpulan Buruh Pegadaian” dan setahun kemudian ia sudah memimpin pemogokan buruh pegadaian di Yogyakarta bersama Suryopranoto. Yang disebut terakhir itu kemudian justru terkenal disebut ”Stangkingskoning” (Raja Pemogokan). Pemogokan itu dianjurkan sebagai senjata buruh untuk perbaikan nasib sebagai penuntutnya. Akibatnya banyak buruh yang dipecat dan Abdul Muis beserta beberapa pimpinan pe­mogokan lainnya ditangkap.

Setelah dibebaskan, ia kembali berjuang di lapangan Politik. Kegiatannya mulai mencemaskan Pemerintahan Belanda. Dalam tahun 1926 pemerin­tah bertindak. Ia dilarang tinggal di daerah kelahirannya, Sumatera Barat. Larangan ini disusul dengan larangan keluar Pulau Jawa. Di samping itu pula ia dilarang mengadakan kegiatan Politik. Tetapi ia diperbolehkan memilih daerah yang disukainya sebagai tempat pengasingannya.

Abdul Muis memilih tempat di daerah Garut, sebab di sana banyak pengikut SI. Dengan demikian ia masih dapat akan bergerak. Akan tetapi ternyata kemudian gerak-geriknya selalu diawasi oleh pemerintah. Akibatnya kegiatan politiknya menjadi berkurang namun ia masih sempat memimpin harian ”Mimbar Rakyat”. Tulisan-tulisannya dalam harian ini tetap tajam mengeritik pemerintah. Akibatnya harian itu dilarang terbit.

Hidup di dalam pengasingan dan dilarang melakukan kegiatan politik merupakan pukulan yang berat bagi seorang politikus. Karena itu dalam tahun 1937 Muis memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai kontroler di daerah Garut. Hal itu dilakukannya supaya ia jangan menganggur, tetapi didorong pula oleh keyakinan, bahwa ia dapat bertindak tegas terhadap orang Belanda yang menyalahi peraturan. Banyak di antara mereka yang tidak menjalankan kewajiban membayar pajak, sewa listrik, air minum dan lain-lain. Dengan memilih bekerja kepada pemerintah itu, ia mendapat kritik dari kawan-kawannya, tetapi Muis tidak mengacuhkannya, sebab ia mempunyai tujuan tertentu. Sebaliknya ada pula temannya yang menganjurkan supaya ia meminta ampun kepada pemerintah, agar ia dapat hidup senang. Anjuran itu tidak diindahkannya.

Setelah bekerja selama dua tahun, Pemerintah Belanda mencabut keputusan pengasingan Abdul Muis. Dengan demikian ia kembali sebagai orang merdeka.

Masa di Garut itu merupakan masa penting pula bagi karir Abdul Muis sebagai Sastrawan. Selama berada di pengasingan hasratnya bergejolak, tetapi ia tidak dapat menyalurkannya. Dalam keadaan demikian jiwa sastra Abdul Muis tampil ke muka. la menulis buku yang kemudian cukup terkenal hingga sekarang yakni ”Salah Asuhan”. Sebenarnya sebagian dari isi buku itu adalah kisah nyata, yaitu tentang percintaan Muis dengan seorang gadis Belanda yang bernama Carry. ketika ia masih menjadi siswa STOVIA. Dalam buku itu ia menampilkan pertentangan dua generasi yakni generasi tua dan generasi muda. Secara tersirat ia mengingatkan bahwa generasi tua tidak seluruhnya salah. Persatuan antara dua generasi itu akan membawa manfaat yang besar bagi bangsa.

Selain ”Salah Asuhan” yang sangat terkenal itu Abdul Muis juga menulis beberapa buku lainnya, di antaranya ialah ”Pertemuan Jodoh, Daman Brandal, Sabai nan Alui" (Cerita Rakyat Minangkabau) dan "contoh Surat menyurat", ia juga menterjemahkan buku dan Bahasa asing, antara lain ”Sebatang Kara", "Pangeran Krone", "Tom Sawyer", "Suku Mohawk Tumpas", "Cut Nyak Din", dan "Menuju Kemerdekaan" (sebuah buku sejarah tentang kemerdekaan dan pergerakan Nasional Indonesia karangan D.M.G. Koch).

Dalam zaman Jepang nama Abdul Muis tidak banyak terdengar. Tetapi setelah kemerdekaan diproklamasikan, keinginannya untuk melakukan ke­giatan politik bangkit kembali. Dengan beberapa temannya ia membentuk ”Persatuan Perjuangan Priangan”, yang berpusat di Wanaraja, di luar Garut. Kegiatannya dalam badan ini menyebabkan ia mempunyai dua lawan, yakni Belanda dan Dl/TII. Ia menjadi incaran kedua musuhnya dan karena itu ia terpaksa berpindah-pindah tempat ke tempat yang lain. Kepada Karto Suwiryo pimpinan DI/TII ia pernah berpesan supaya menghentikan aksi-aksi terornya. Ia sendiri rnenyatakan dengan tegas akan mempertahankan kemerdekaan yang sudah lama diperjuangkan.

Dalam mencapai usia lanjut kesehatan Abdul Muis mulai menurun. Penyakit jantung dan darah tinggi sering menyerangnya. Karena itu ia menolak tawaran untuk aktif bekerja di pemerintahan. Dalam tahun 1946 ia ditawari menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, tetapi ada saja orang yang iri. Orang itu menulis laporan palsu kepada Presiden Sukarno yang mengatakan bahwa sewaktu diasingkan di Garut, Abdul Muis pernah minta ampun kepada Pemerintah Belanda. Padahal anjuran berbuat demikian ditolaknya mentah-mentah.

Sesudah Pengakuan Kedaulatan, Abdul Muis menghentikan kegiatannya dalam bidang Politik. Ia bekerja menterjemahkan beberapa buku berbahasa asing kebahasa Indonesia. Selama hidupnya ia kawin empat kali. Dari istrinya yang kedua, wanita Priangan, ia memperoleh dua orang anak Isterinya yang keempat bernama Sunarsih, wartawati ”Pres Agenschap Hindie Timur”. Dari isteri terakhir itu ia memperoleh sebelas orang anak. Pada tanggal 17 Juli 1959 ia meninggal di Bandung dalam usia 76 tahun.

Pemerintah RI menghargai jasa-jasanya dan perjuangan Abdul Muis terhadap Bangsa Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI. No. 218 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959 Pemerintah R.I. menganugerahkan Abdul Muis gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sunday, November 15, 2015

Biografi Amir Hamzah

Amir Hamzah portrait edit.jpg 

Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatera Utara. Saat berguru di SMA di Surakarta sekitar 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun  pada tahun pertama negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam peristiwa konflik sosial berdarah di Sumatera yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan massal.
 
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Njanji Soenji (1937) dan Boeah Rindoe (1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.

Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe" dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.

Masa kecil

Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir, merupakan putra bungsu dari Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya, Tengkoe Mahdjiwa. Tengkoe Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Melalui ayahnya, ia terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kepastian tanggal lahir Amir diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakaknya, Abdoellah Hod menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Amir kemudian mengambil nama kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku Busu" ("tengku yang bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir pada masa kecilnya menggambarkan bahwa Amir adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.

Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam, seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda. Dia tetap seorang Muslim yang taat sepanjang hidupnya. Periode saat ia menyelesaikan studi formal juga diperdebatkan. Beberapa sumber, termasuk pusat bahasa pemerintah Indonesia, menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada tahun 1916, sementara biografer M. Lah Husny menulis bahwa tahun pertama sekolah formal penyair ini adalah pada tahun 1918. Di sekolah dasar berbahasa Belanda di mana Amir pertama kali belajar, ia mulai menulis dan mendapat penilaian-penilaian yang bagus; dalam biografi yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh. Dini menulis bahwa Amir dijuluki "abang" oleh teman-teman sekelasnya karena ia jauh lebih tinggi daripada mereka.

Pada tahun 1924 atau 1925, Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah pertama) di sana. Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja Bun. Husny menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh orang tua mereka, namun Dini menganggap hubungan tersebut sebagai sumpah untuk menjadi selalu setia. Karena orang tuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian pergi ke ibukota kolonial Hindia Belanda di Batavia untuk menyelesaikan studinya.

Belajar di Jawa

Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama tiga hari di kapal Plancus. Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya. Anthony H. Johns dari Australian National University menulis bahwa di sekolah ini Amir mempelajari beberapa konsep dan nilai-nilai Kekristenan. Di Batavia, Amir juga terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatera. Saat periode ini pemuda Amir menulis puisi pertamanya. Husny menulis bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain tanpa sepengetahuan Amir (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi), sementara Dini berpendapat bahwa puisi "Tinggallah " ditulis tidak lama setelah Amir naik kapal Plancus, saat ia sangat rindu dengan ayah bundanya.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatera, Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Boedi Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sansekerta, dan Arab. Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk-pikuknya asrama, Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta. Kemudian ia bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja; mereka segera menemukan bahwa Amir adalah seorang pelajar yang ramah, rajin, dan dengan catatan lengkap dan kamar tidur bersih (selimut dilipat dengan baik, Mihardja kemudian bercerita, bahwa "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja"), tetapi juga seorang romantis; cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya.

Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau dari Sumatera dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu. Tahun 1930 Amir menjadi kepala cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu, "Garoeda Merapi". Di sekolah dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya. Soendari, putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali Amir. Menurut Dini, keduanya semakin dekat, Amir mengajari Soendari bahasa Arab, dan Soendari mengajarinya bahasa Jawa. Mereka segera bertemu setiap hari, bercakap-cakap tentang berbagai topik.


~ Ilik Soendari ~

Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya, mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru. Pada awalnya, hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam – ketika orangtua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang untuk bertemu.


Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" dan "Maboek ..." , diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah, tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut terbit dalam majalah Pandji Poestaka. Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik "Memadjoekan Sastera" (rubrik sastra Pandji Poestaka), mengundang Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen. Amir menerima, dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan. Sejumlah lima puluh surat dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera". Setelah beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933, dengan judul Poedjangga Baroe. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisjahbana, sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya di sana.

Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia. Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat. Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam Poedjangga Baroe, termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai 1935. Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.

Kembali ke Langkat

Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh Amir. Tahun 1937, Amir bersama dengan dua pengikut Sultan Langkat yang bertugas mengawal dia, naik di kapal Opten Noort dari Tanjung Priok dan kembali ke Sumatera. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya. Sebelum pernikahannya, Amir kembali ke Batavia untuk menghadapi ujian kuliah terakhirnya – dan mengatur sebuah pertemuan terakhir dengan Soendari. Beberapa minggu kemudian ia kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah menikah dalam sebuah upacara mewah. Sepupunya, Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan bahwa ketidakpedulian Amir sepanjang upacara adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir terus memikirkan Soendari.

Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir, Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran Indra Poetera. Dia tinggal bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam semua kesaksian, Kamiliah adalah seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan pada tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, seorang putri bernama Tengkoe Tahoera. 

Menurut Dini, Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencintainya karena ia telah memiliki Soendari, dan bahwa ia merasa berkewajiban untuk menikahinya, pengakuan yang kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir menyimpan sebuah album dengan foto-foto Soendari, kekasih Jawanya di rumahnya dan sering mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam dalam pikirannya. Sebagai seorang pangeran Langkat, Amir menjadi seorang pejabat keraton, menangani masalah administrasi dan hukum, dan kadang-kadang juga menghakimi kasus pidana. Ia sempat mewakili Kesultanan Langkat di pemakaman Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939 – sebuah perjalanan terakhir Amir ke pulau Jawa.

Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa, puisi-puisinya yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Poedjangga Baroe. Koleksi puisi pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan dalam edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir, berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan. Semuanya kemudian diterbitkan sebagai buku. Sebuah buku terakhir, Sastera Melajoe Lama dan Radja-Radjanja, diterbitkan di Medan pada tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.


Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang. Di Langkat, divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen bertanggung jawab atas angkatan garda ini; kaum bangsawan, dipercaya oleh masyarakat umum, dipilih untuk memastikan perekrutan rakyat jelata yang lebih mudah. Ketika invasi Jepang menjadi kenyataan pada awal tahun 1942, Amir adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Dia dan pasukan lainnya yang bersekutu dengan Belanda dengan cepat ditangkap oleh Tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika pengaruh dari Sultan memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang berlangsung sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan sensor di Medan. Dalam posisinya sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.

Pasca-kemerdekaan dan kematian

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatera dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatera, dan pada 29 Oktober 1945 Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari disamakan dengan bupati), dengan kantornya di Binjai; Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia, kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia), membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional, dan mempromosikan pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.

Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil. Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatera, dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat. Pada tanggal 7 Maret 1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok Pemuda Sosialis Indonesia dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap; sementara Kamiliah dan Tahoera lolos. Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai. 

Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian ditemukan di selnya:
Wahai maut, datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita

Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut; beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut. Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali menanyakan "Dimana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut. Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang. Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat. Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

Thursday, October 22, 2015

Biografi Soekarni

Image result for sukarni

Soekarni Kartodiwirjo lahir di Blitar, Jawa Timur, 14 Juli 1916 – meninggal di Jakarta, 7 Mei 1971 pada umur 54 tahun) adalah tokoh pejuang kemerdekaan dan Pahlawan Nasional Indonesia.

Sukarni lahir hari Kamis Wage di desa Sumberdiran, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur. Namanya jika dijabarkan berarti "Su" artinya lebih sedangkan "Karni" artinya banyak memperhatikan dengan tujuan oleh orangtuanya agar Sukarni lebih memperhatikan nasib bangsanya yang kala itu masih dijajah Belanda. Sukarni merupakan anak keempat dari sembilan bersaudara.


Ayahnya adalah Kartodiwirjo, keturunan dari Eyang Onggo, juru masak Pangeran Diponegoro. Ibunya bernama Supiah, gadis asal Kediri. Keluarga Sukarni bisa dikatakan berkecukupan jika dibanding penduduk yang lain. Ayahnya membuka toko daging di pasar Garum.

Sukarni masuk sekolah di Mardisiswo di Blitar. Di sekolah ini Sukarni belajar mengenai nasionalisme melalui Moh. Anwar yang berasal dari Banyumas, pendiri Mardidiswo sekaligus tokoh pergerakan Indonesia.
Sebagai anak muda, Sukarni terkenal kenakalannya karena sering berbuat onar. Dia sering berkelahi dan hobi menantang orang Belanda. Dia pernah mengumpulkan 30-50 orang teman-temannya dan mengirim surat tantangan ke anak muda Belanda untuk berkelahi. Lokasinya di kebun raya Blitar, dekat sebuah kolam. Anak-anak Belanda menerima tantangan itu dan terjadilah tawuran. Kelompok Sukarni memenangkan perkelahian itu dan anak Belanda yang kalah dicemplungkan ke kolam.

Menjadi Aktivis Pergerakan

Perkenalan Sukarni dengan dunia pergerakan nasional yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dimulai ketika usia masih remaja, 14 tahun, saat dia masuk menjadi anggota perhimpunan Indonesia Muda tahun 1930. Semenjak itu dia berkembang menjadi pemuda militan dan revolusioner. Selain itu ia juga sempat mendirikan organisasi Persatuan Pemuda Kita.

Ketika di MULO, Sukarni dikeluarkan dari sekolah karena mencari masalah dengan pemerintah kolonial Belanda. Bukannya surut, semangat belajarnya malah semakin membara. Dia bersekolah ke Yogyakarta kemudian ke Jakarta pada sekolah kejuruan guru. Atas bantuan Ibu Wardoyo (kakak Bung Karno), Sukarni disekolahkan di Bandung jurusan jurnalistik.

Pada masa-masa di Bandung inilah, konon Sukarni pernah mengikuti kursus pengkaderan politik pimpinan Soekarno. Disinilah dia bertemu dan mengikat sahabat dengan Wikana, Asmara Hadi dan SK Trimurti.

Tahun 1934 Sukarni berhasil menjadi Ketua Pengurus Besar Indonesia Muda, sementara itu Belanda mulai mencurigainya sebagai anak muda militan. Tahun 1936 pemerintah kolonial melakukan penggerebekan terhadap para pengurus Indonesia Muda, tapi Sukarni sendiri berhasil kabur dan hidup dalam pelarian selama beberapa tahun.

Masa Pendudukan Jepang

Tidak lama sebelum Jepang masuk, Sukarni tertangkap di Balikpapan dan kemudian dibawa ke Samarinda. Namun, setelah Jepang masuk, Sukarni berserta beberapa tokoh pergerakan lain seperti Adam Malik dan Wikana malah dibebaskan oleh Jepang. Awal-awal pendudukan Jepang, Sukarni sempat bekerja di kantor berita Antara yang didirikan oleh Adam Malik (yang kemudian berubah jadi Domei). Pada masa Jepang ini, Sukarni juga bertemu dengan Tan Malaka. Tan Malaka-lah yang menjadi otak pembentukan partai Murba dan dia jugalah yang menyarankan kepada anggota Murba lainnya agar Sukarni yang menjadi Ketua Umum.

Tahun 1943, bersama Chairul Saleh, dia memimpin Asrama Pemuda di Menteng 31. Di tempat itu Sukarni makin giat menggembleng para pemuda untuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Seperti diketahui, pada kurun selanjutnya, Menteng 31 dikenal sebagai salah satu pusat penting yang melahirkan tokoh Angkatan 45.

Peristiwa Rengasdengklok

Mendengar berita kekalahan Jepang, kelompok pemuda dengan kelompok bawah tanah dibawah pimpinan Sutan Syahrir, bersepakat bahwa inilah saat yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan. Sukarni, Wikana dan kelompok pemuda lainnya mendesak Soekarno dan Hatta, tapi mereka berdua menolak. Akhirnya terjadilah perdebatan sengit yang berakhir dengan penculikan kedua tokoh tersebut, dengan tujuan menjauhkan Soekarno-Hatta dari "pengaruh" Jepang. Kedua pemimpin itu "diasingkan" ke Rengasdengklok oleh kelompok pemuda yang dipimpin olehnya

Seputar Proklamasi

Akhirnya semua pihak kemudian bersepakat bahwa proklamasi kemerdekaan akan segera dilakukan pada 17 Agustus 1945. Selanjutnya, Sukarni mengemban amanat kemerdekaan serta bahu membahu bersama kelompok pemuda lainnya dalam meneruskan berita tentang kemerdekaan ini. Sukarni membentuk Comite Van Aksi (semacam panitia gerak cepat) pada 18 Agustus 1945 yang tugasnya menyebarkan kabar kemerdekaan ke seluruh Indonesia. Khusus untuk para pemudanya dibentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan untuk buruh dibentuk BBI (Barisan Buruh Indonesia) yang kemudian melahirkan laskar buruh dan laskar buruh wanita.

Pada masa RI berkedudukan di Yogyakarta, Sukarni menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Persatuan Perjuangan (PP) di bawah ketua Tan Malaka. PP beroposisi dengan pemerintah dan menolak perundingan pemerintah terhadap Belanda. Aksi PP ini membuat Sukarni dijebloskan ke penjara pada tahun 1946. Selanjutnya Sukarni juga mengalami penahanan di Solo, Madiun dan Ponorogo (daerah komunis Muso) pada masa pemerintahan Amir Syarifudin (1947/1948)

Menjadi Ketua Partai Murba

Semenjak partai Murba terbentuk pada bulan November 1948 sampai wafatnya, Sukarni menjabat sebagai ketua umum. Dia juga duduk sebagai anggota Badan pekerja KNI Pusat. Dalam pemilihan Umum yang pertama (1955) Sukarni terpilih sebagai anggota Konstituante.

Sejak tahun 1961 Sukarni ditunjuk sebagai Duta Besar Indonesia di Peking, ibukota RRC (Republik Rakyat China) dan kembali ke tanah air pada bulan Maret 1964. Konon dalam pertemuan di Istana Bogor Desember 1964, Sukarni sempat memperingatkan Bung Karno atas sepak terjang PKI. Tapi berlawanan dengan harapan, partai Murba malah dibekukan tahun 1965 dan Sukarni beserta pemimpin Murba lainnya di penjara.

Pada masa Orde Baru, Sukarni dibebaskan dan larangan Murba dicabut (direhabilitasikan 17 Oktober 1966). Kemudian Sukarni ditunjuk sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA, 1967) yang merupakan jabatan resmi terakhir. Tokoh yang mendapat Bintang Mahaputra kelas empat ini wafat pada tanggal 7 Mei 1971 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan upacara kenegaraan.


Menjadi Pahlawan Nasional

Gelar Pahlawan Nasional Indonesia disematkan oleh Presiden Joko Widodo pada 7 November 2014 kepada perwakilan keluarga di Istana Negara Jakarta.

Sunday, October 11, 2015

Ternyata Ada 3 Proklamasi di Indonesia

Pagi itu di jalan Pegangsaan Timur, Jakarta, sudah dipenuhi dengan orang-orang yang berharap peristiwa besar akan terjadi. Jumat, 17 Agustus 1945, halaman rumah di jalan Pegangsaan Timur no. 56 menjadi tempat berkumpulnya para pemuda. Sebuah tiang menjadi tatapan dan mereka berharap mimpinya akan berkibar di ujung tiang itu.

Seseorang memasuki halaman, lalu menuju ke dalam rumah. Sejenak ia mendapatkan keheningan, waktu menunjukkan pukul delapan pagi. Lalu ia memasuki sebuah kamar dan mendapatinya sedang tertidur pulas. Pelan-pelan ia mengusap kaki seseorang yang terlihat lelah. Lelaki itu baru pulang pagi tadi dari Rengasdengklok.

Lelaki itu terbangun dan memandangnya. Senyumnya begitu lemah, terucap kata, "pating greges". Tamu yang disapanya memberikan obat, setelah memeriksa ada panas di tubuh lelaki yang dibangunkannya.

Dialah seorang dokter bernama dr. R. Soeharto, dan lelaki yang mengatakan dirinya tak enak badan itu adalah Soekarno. Lalu atas persetujuan Soekarno, sang dokter memberinya sebuah suntikan chinine-urethan intramusculair. Lalu Soekarno melanjutkan tidurnya sejenak.

Pukul 09.30 pagi, Soekarno terbangun, tubuhnya terlihat lebih sehat. Ketika berjumpa dengan sang dokter, ia meminta agar Hatta segera dipanggil untuk datang.

Dengan berpakaian rapi, mengenakan pakaian serba putih (celana lena putih dan kemeja putih) dengan potongan yang saat itu popular disebut sebagai "kemeja pimpinan" dengan bersaku empat, Soekarno menyambut Hatta dan segera menuju halaman depan rumahnya. Sebuah teks Proklamasi dibacakan.

Inilah sebuah pernyataan kemerdekaan yang sebelumnya di dalam pidatonya Soekarno ada mengatakan "...sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan tanah air di tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib di tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya..."

Puncak perjuangan yang pada akhirnya harus keluar dari mulut Soekarno, sebuah bukti sejarah bahwa ia memang layak mengambil posisi untuk menyatakan itu. Karena sebelum Proklamasi ini terjadi, sebelumnya juga sudah dibacakan dua proklamasi yaitu Proklamasi Gorontalo 23 Januari 1942 dan Proklamasi Cirebon 15 Agustus 1945. Namun kedua Proklamasi ini tidak diakui sebagai buah pernyataan kemerdekaan bangsa Indonesia dalam arti sebagai hari peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Proklamasi Gorontalo 23 Januari 1942
Kekalahan oleh Jepang pada Perang di Laut Jawa, membuat Belanda menjadi gelap mata. Gorontalo dibumihanguskan yang dimulai pada tanggal 28 Desember 1941. Adalah seorang pemuda bernama Nani Wartabone (saat itu berumur 35 tahun) memimpin perjuangan rakyat Gorontalo dengan menangkapi para pejabat Belanda yang masih ada di Gorontalo.

Bergerak dari kampung-kampung di pinggiran kota Gorontalo seperti Suwawa, Kabila dan Tamalate, mereka bergerak mengepung kota Gorontalo. Hingga akhirnya Komandan Detasemen Veld Politie WC Romer dan beberapa kepala jawatan yang ada di Gorontalo menyerah takluk pada pukul 5 subuh.

Dengan sebuah keyakinan yang tinggi, pada pukul 10 pagi Nani Wartabone memimpin langsung upacara pengibaran bendera Merah Putih di halaman Kantor Pos Gorontalo. Dan dihadapan massa yang berkumpul, ia berkata :

"Pada hari ini, tanggal 23 Januari 1942, kita bangsa Indonesia yang berada di sini sudah merdeka bebas, lepas dan penjajahan bangsa mana pun juga. Bendera kita yaitu Merah Putih, lagu kebangsaan kita adalah Indonesia Raya. Pemerintahan Belanda sudah diambil oleh Pemerintah Nasional. Agar tetap menjaga keamanan dan ketertiban."

Selanjutnya Nani Wartabone mengumpulkan rakyat dalam sebuah rapat akbar (layaknya peristiwa lapangan Ikada) di Tanah Lapang Besar Gorontalo untuk menegaskan kembali kemerdekaan yang sudah diproklamasikan.

Namun sayangnya ketika Jepang mendarat di Gorontalo, 26 Februari 1942, Jepang melarang pengibaran bendera Merah Putih dan memaksa rakyat Gorontalo untuk takluk tanpa syarat kepada Jepang.

Kisah Nani Wartabone terlalu panjang untuk diungkapan, walau ia di masa Jepang mengalami patah semangat ketika Jepang tak mau diajak berkompromi hingga akhirnya ia kembali ke kampung halamannya di Suwawa dan hidup sebagai petani.

Saat kekalahan Jepang oleh Sekutu, Jepang bersikap lain. Sang Saka Merah Putih diijinkan berkibar di Gorontalo dan Jepang menyerahkan pemerintahan Gorontalo kepada Nani Wartabone pada tanggal 16 Agustus 1945. Sementara rakyat Gorontalo baru mengetahui telah terjadi Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 28 Agustus 1945.

Nani Wartabone memimpin Gorontalo untuk masa-masa kelam berikutnya, menghadapi pasukan Belanda yang membonceng Sekutu. Dalam sebuah perundingan di sebuah kapal perang sekutu pada tanggal 30 November 1945, Belanda menangkap dan menawannya. Ia dibawa ke Manado dan dijatuhi hukuman 15 tahun penjara atas tuduhan makar pada tanggal 23 Januari 1942 yaitu Proklamasi yang dibacakannya.

Namun di waktu yang berjalan, kekalahan sekutu mengubah nasibnya kelak. Ia kembali ke Gorontalo pada tanggal 2 Februari 1950. Nani Wartabone pada tanggal 6 April 1950 menolak RIS dan memilih bergabung dengan NKRI. Untuk beberapa waktu ia dipercaya sebagai kepala pemerintahan di Gorontalo, hingga Penjabat Kepala Daerah Sulawesi Utara, dan anggota DPRD Sulawesi Utara. Selanjutnya ia memilih untuk kembali tinggal dan bertani di desanya di Suwawa.

Tapi itu juga tak berlangsung lama. Letkol Ventje Sumual dan kawan-kawannya memproklamasikan pemerintahan PRRI/PERMESTA di Manado pada bulan Maret 1957. Ia terpanggil kembali untuk melawan. Namun perlawanan tak seimbang, karena pasukan Nani Wartabone kekurangan persenjataan, hingga mereka memilih untuk bergerilya di dalam hutan, sekedar menghindar dari sergapan tentara PRRI/PERMESTA.

Pada bulan Ramadhan 1958 datanglah bantuan pasukan tentara dari Batalyon 512 Brawijaya yang dipimpin oleh Kapten Acub Zaenal dan pasukan dari Detasemen 1 Batalyon 715 Hasanuddin yang dipimpin oleh Kapten Piola Isa. Bersama pasukan-pasukan dari pusat inilah mereka berhasil merebut kembali pemerintahan di Gorontalo dari tangan PRRI/PERMESTA pada pertengahan Juni 1958.

Perjalanan panjang ini melahirkan sebuah penghargaan yang mungkin dapat dikenang akan kesederhanaan sang petani, kesahajaan dan jiwa patriotiknya. Baru pada jaman Presiden Megawatilah, pada tanggal 7 November 2003, diserahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Nani Wartabone melalui ahli warisnya yang diwakili oleh salah seorang anak laki-lakinya, Hi Fauzi Wartabone (dikarenakan beliau telah tutup usia pada tanggal 3 Januari 1986) di Istana Negara,. Wartabone ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/Tahun 2003 tertanggal 6 November 2003.

Proklamasi Cirebon 15 Agustus 1945

Kekalahan Jepang tinggal menghitung hari saja, setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Namun karena Jakarta tidak termasuk jalur perang Jepang dengan Sekutu, maka yang terlihat kekuatan bala tentara Jepang masih utuh.

Suasana Jakarta tetap mencekam bagi para kelompok pergerakan. Ada 4 kelompok illegal menurut Maroeto Nitimihardjo yang tampak saat itu, yaitu kelompok Soekarni, Kelompok Sjahrir, Kelompok Mahasiswa dan Kelompok Kaigun.

Kelompok-kelompok itu mendengar Sjahrir meminta Soekarno dan Hatta untuk mempercepat pernyataan Proklamasi sekembalinya Soekarno dan Hatta dari perundingan di Dalat, Saigon dengan Marsekal Terauchi, wakil kaisar Jepang. Namun Soekarno masih menunggu kepastian dari Laksmana Maeda tentang hal kekalahan Jepang tersebut

Hal ini membuat kelompok-kelompok illegal itu marah dikarenakan mereka melihat keraguan Sjahrir selama ini untuk menjalankan kesepakatan bahwa Sjahrir-lah yang harus siap memimpin kemerdekaan dikarenakan ia bersih dari pengaruh Jepang. Hingga membuat kelompok-kelompok illegal ini, tidak termasuk Sjahrir bergerak cepat.

Terjadi beberapa pertemuan antara lain di Jalan Cikini Raya 71, di Lembaga Ecykman dan di Laboratorium Mikrobiologi (di samping pasar Cikini). Wikana dan dr. Darwis ditugaskan untuk mendesak langsung Soekarno-Hatta (tanpa perantara Sjahrir) untuk memproklamirkan kemerdekaan yang berujung dengan "penculikan" atau membawa Soekarno-Hatta ke Rengasdengklok. Gerak cepat yang tak ragu-ragu ini akhirnya melahirkan sebuah peristiwa di pagi hari di tanggal 17 Agutus 1945 sebagai hari kemerdekaan.

Di waktu yang berjalan cepat dalam ketidak pastian peristiwa, seorang bernama dr. Soedarsono (ayah dari Juwono Soedarsono) datang bertemu Maroeto Nitimihardjo (seperti pengakuannnya di buku berjudul "Ayahku Maroeto Nitimihardjo Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan" karangan Hadidjojo, anak Maroeto) di sebuah ‘pengungsian' bagi istri dan anaknya yaitu di desa Perapatan, sebelah barat Palimanan, 30 km jauhnya dari Cirebon tempat dr. Soedarsono berasal. Dr. Soedarsono meminta teks Proklamasi yang dibuat Sjahrir yang katanya dititipkan pada Maroeto. Namun Maroeto menyatakan tidak ada.

Hingga dr. Soedarsono menjadi berang dan berkata, "Saya sudah bersepeda 60 kilometer hanya untuk mendengar, Sjahrir tidak berbuat apa-apa. Katakan kepada Sjahrir, saya akan membuat proklamasi di Cirebon."

Dan akhirnya terkabarlah bahwa Proklamasi itu dibuat dan dibacakan oleh dr. Soedarsono pada pagi hari tanggal 16 Agustus 1945 di alun-alun Cirebon yang dihadiri sekitar 150 orang. Sehari sebelum Soekarno membacakan Proklamasi di penggangsaan Timur 56 Jakarta.

Namun kisah yang dipaparkan Maroeto berbeda dengan kisah yang diungkap oleh Des Alwi, anak angkat Sjahrir. Menurutnya, teks proklamasi yang dibacakan Soedarsono adalah hasil karya Sjahrir dan aktivis gerakan bawah tanah lainnya yang melibatkan Soekarni, Chaerul Saleh, Eri Sudewo, Johan Nur, dan Abu Bakar Lubis. Penyusunan teks dilakukan di Asrama Prapatan Nomor 10, Jakarta, pada 13 Agustus 1945. Asrama Prapatan kala itu sering dijadikan tempat nongkrong para anggota gerakan bawah tanah.

Ada sebaris teks proklamasi yang diingat oleh Des Alwi yaitu : "Kami bangsa Indonesia dengan ini memproklamirkan kemerdekaan Indonesia karena kami tak mau dijajah dengan siapa pun juga".

Hal ini dikuatkan dalam sebuah buku berjudul Sjahrir yang dikarang oleh Rudolf Mrazek yang mengatakan bahwa teks proklamasi yang dibacakan oleh dr. Soedarsono diketik sepanjang 300 kata. Namun Sjahrir mengatakan kehilangan teks proklamasi yang disimpannya.

Waktu yang akan membeberkannya, karena dokumentasi Proklamasi Cirebon 15 Agustus 1945 juga tak ada. Maroeto juga ada menceritakan, di suatu kesempatan dr. Soedarsono selalu ketawa bila tentang kisah Proklamasi di Cirebon itu ditanyakan, apalagi bila ditanyakan bunyi proklamasinya. Bahkan dr. Soedarsono menceritakan bahwa Mr. Jusuf, seorang anggota PKI lama yang beristrikan seorang wanita Belanda juga membuat proklamasi di Indramayu, suatu kabupaten dekat Cirebon. Namun dr.Soedarsono tidak menjelaskan kapan Mr. Jusuf membacakan proklamasinya. Bila hal ini benar, maka Maroeto mengatakan bahwa di bulan Agustus 1945 ada 3 Proklamasi yang dibacakan.

Kemerdekaan bukan untuk peragu

Saat itu ada 3 tokoh pula yang dikenal mampu menyatakan kemerdekaan bangsa ini. Selain Soekarno-Hatta, ada Tan Malaka dan Sjahrir yang dapat memimpin kemerdekaan negeri ini. Namun Tan Malaka saat itu entah ada di mana, karena tidak ada kontak, tidak tahu harus menghubungi siapa, karena sebenarnya Tan Malaka pun siap melakukan apa saja demi Kemerdekaan. Tan Malaka harus sembunyi dari intaian inteljen Jepang (Kempetai) dan Polisi rahasia Hindia Belanda.

Sama halnya dengan Sjahrir yang sebenarnya sudah jauh hari disepakati akan memimpin kemerdekaan oleh kelompok-kelompok pemuda radikal, tiba-tiba ia terlihat gamang. Ia menolak memimpin kemerdekaan, hingga harus berdebat dan memaksa Soekarno yang menyatakan. Namun sayang malam itu, tanggal 16 Agustus 1945, di rumah Maroeto bersama pimpinan kelompok pemuda lainnya sepertti Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Kusnaeni, Chaerul Saleh ternyata Sjahrir memilih pulang duluan. Padahal mereka menunggu hasil laporan Soekarni dan Soebardjo dari Rengasdengklok. Sjahrir pulang lebih dahulu, karena dia menganggap sudah terlalu malam dan tak mungkin upaya "penculikan" hingga ke Rengasdengklok akan berhasil membujuk Soekarno-Hatta.

Namun seperti kata Maroeto (dari buku "Ayahku Maroeto Nitimihardjo Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan" halaman 97) ternyata sejarah menyatakan lain. Proklamasi memang sudah "milik" Soekarno-Hatta. Karena esoknya, pada tanggal 17 Agustus 1945, Soekarno membacakan Proklamasi. Sementara saat itu Sjahrir baru bangun dari tidur di rumahnya, di jalan Maluku, Menteng, Jakarta.

Kemerdekaan ternyata bukan milik kaum peragu. Begitu beraninya Nani Wartabone, Dr.Soedarsono, Mr. Jusuf dan Soekarno-Hatta dalam mengambil sikap demi kemerdekaan yang dicita-citakan bersama. Seharusnya begitu pulalah sikap anak-anak bangsa ini dalam mempertahankan kemerdekaan dan mengisinya. Bukan sekedar hanya memimpikan perubahan dan hanya menunggu. Mari bangkit segera, jangan ragu kawan!

Sumber bacaan :
Ayahku Maroeto Nitimihardjo, Mengungkap Rahasia Gerakan Kemerdekaan (Hadidjojo, 2009)
Bung Karno, Serpihan Sejarah yang Tercecer (Roso Daras, 2009)

Sumber : http://edisantana.blogspot.co.id/2010/09/ternyata-ada-3-proklamasi-di-indonesia.html

Thursday, September 24, 2015

Biografi Kapten Muslihat





 

Tubagus Muslihat merupakan putra dari Tubagus Djahanuddin yang memiliki 2 putra. Beliau dilahirkan pada Senin, 26 Oktober 1926 di Pandeglang. Pada saat itu Para Komunis sedang ramainya memberontak kepada pemerintah Belanda.

Tubagus Muslihat sekolah di HIS (Hollandsch-Inlandsche School - setara Sekolah Dasar) Rangkasbitung hanya sampai kelas 3, lalu pindah ke Jakarta dan melanjutkannya lagi di HIS hingga tamat pada tahun 1940. Seterusnya lanjut ke Taman Siswa bagian MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) setara Sekolah Menengah Pertama hingga kelas 2.

Keluarnya Muslihat dari sekolah disebabkan keadaan zaman, lalu kerja di Bosbow Proefstation (Balai Penelitian Kehutanan) di Gunung Batu, Bogor. Baru beberapa bulan bekerja, ada peristiwa Perang Pasifik.

Tentara dan Pemerintah Hindia-Belanda menyerahkan diri, saat itu Kota Bogor diduduki oleh Tentara Dai Nippon (Jepang). Muslihat berhenti bekerja pada tahun 1942, ketika Jepang sudah ada di Kota Bogor. Tahun 1943, Muslihat bekerja sebagai Perawat di RS Kedung Halang, namun tak lama pindah kembali ke Kehutanan.

Saat ada berita dibutuhkannya tentara Pembela Tanah Air, Muslihat mendaftar menjadi Tentara PETA. Setelah lulus dari beberapa kali test uji coba, beliau di terima menjadi Shodanco di Bogor bersamaan dengan Tarmat, Ishak Djuarasa, Abu Umar dan Bustomi.

Pada 14 Agustus 1945, Tentara Dai Nippon menyerahkan diri kepada Sekutu, saat kota Hiroshima dan Nagasaki di bom oleh Sekutu. Walaupun berita tersebut hanya sampai di Kota Bogor namun saat itu menjadi tersiar, terutama kepada bangsa Jepang dan tentaranya.

Jika sebelumnya Tentara Dai Nippon nampak sombong dan besar kepala, pada saat itu terlihat seperti ketakutan dan kebingungan. Semua anggota PETA yang ada dikeluarkan semua dari asrama oleh Jepang setelah melucuti senjata dan perlengkapannya.

Namun Muslihat dan beberapa temannya berhasil keluar dari asrama denga membawa pistol dan pedang. Dan dengan rencananya aktif berjuang di BKR (Badan Keamanan Rakyat) sambil bekerjasama dengan organisasi pemuda lainnya seperti API, AMRI, KRIS dan Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia). Muslihat bertugas menjaga kemanan di dalam kota sambil melucuti perlengkapan senjata dari tangan Jepang. Lalu merebut kantor dan perusahaan yang dimiliki Jepang dan di klaim menjadi milik Republik Indonesia. Karena sikap tegasnya, semua perintah dan sikapnya dipatuhi oleh semua anak buahnya.

Pemerintah RI, secara De Jure dan De Facto akhirnya resmi didirikan di Kota Bogor, BKR dibubarkan dan dijadikan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) oleh Jenderal Urip Sumohardjo, sedangkan Tubagus Muslihat diangkat menjadi Letnan Satu dan menjadi Komandan Kompi IV Batalyon II TKR.

Pada Oktober 1945, keadaan Kota Bogor sangat genting, Tentara Inggris (Gurkha) masuk ke dalam kota bersamaan NICA. Yang pertama kali didatangi yaitu Asrama Batalyon XIV bekas Jepang yang memang dikosongkan.

Merasa sudah kuat, lama kelamaan secara perlahan mulai memperluas kekuasaannya. Salah satunya, Kota Paris, tempat Nyonya – Nyonya dan anak - anak Belanda (Recovery Allied Prisoners of War and Internees - RAPWI) dikumpulkan, lalu direbut dan dijadikan wilayahnya.

Keadaan di dalam Kota Bogor semakin kacau, Inggris nampak lebih sombong ketimbang Belanda. Akhirnya mereka berniat menduduki Istana yang sedang dijaga oleh Para Pemuda Indonesia. Perundingan antara Inggris dan Para Pemuda gagal mufakat, walaupun berat hati, Para Pemuda meninggalkan Istana dengan rasa sesal.

Oleh karena sikap Inggris yang sering menyakiti hati rakyat Indonesia, terjadi peperangan pada 6 Desember 1945 antara Inggris dan bangsa Indonesia. Walaupun hanya menggunakan bambu runcing dan perlengkapan perang seadanya, Istana dan Kota Bogor menjadi tempat peperangan yang sangat menyiksa.

Siang dan malam pasukan Kapten Muslihat terus menyerang ke tempat tersebut tiada henti dan lelah. Pada satu malam ketika Kapten Muslihat dan keluarganya, seperti sudah memiliki firasat, Kapten Muslihat bercerita bahwa dirinya takkan bisa terus ikut berjuang. Kepada ayahnya beliau meminta agar putranya nanti lahir kelak diberi nama Gelar Merdeka.

Pada 25 Desember 1945, Kapten Muslihat dan beberapa anak buahnya, salah satunya yaitu adiknya Gustiman yang tanpa sepengetahuan Kapten Muslihat ikut menyerang kantor polisi yang berada di Jalan Banten.

Kedua belah pihak saling menembak di tempat persembunyian. Kesal perang yang tiada hasil, Kapten Muslihat bangun dan menembak, terlihat beberapa musuh tersungkur. Namun sebaliknya, entah datangnya darimana, salah satu peluru musuh menembus perut Kapten Muslihat.

Tapi Kapten Muslihat tetap berdiri menembaki musuh walaupun tidak terhitung berapa peluru yang mengenai tubuhnya. Terlihat jelas peluru musuh merobekkan perutnya dan merah dilumuri darah. Melihat hal itu, Gustiman menghampiri dan memeluknya, namun Kapten Muslihat menyuruh adiknya untuk segera menyingkir, agar tidak menambah korban.

Tanpa diketahui salah satu peluru mengenai punggungnya, Kapten Muslihat pun roboh, tubuhnya basah berlumur darah, baju yang tadinya berwarna putih berubah menjadi merah. Membasahi Tanah Air dengan darahnya.

Walaupun susah dan terus dihujani peluru oleh musuh, akhirnya Kapten Muslihat dibawa pulang ke rumahnya di Panaragan oleh barisan PMI dan dibantu beberapa anak buahnya.

Sebelum meninggal, kepada ayahnya beliau beramanat bahwa uang simpanannya berjumlah Rp.600 (uang kertas Jepang) agar disumbangkan kepada fakir miskin.

Kepada kerabat dan anak buahnya beliau berpesan untuk meneruskan perjuangan untuk terus memerdekaan bangsa Indonesia.
 
urang pasti menang, jeung Indonesia bakalan merdeka!
 
Meninggalnya Kapten Muslihat disaksikan oleh Dr. Marzoeki Mahdi. Sambil mengucapkan “Allahu Akbar” 3 kali, pada keadaan yang tenang, pasrah pada Tuhan, Kapten Tubagus Muslihat kembali pada Sang Pencipta. Besoknya, jasadnya dikebumikan pada keadaan masih perang dan meninggalkan istrinya yang sedang mengandung.


 
~ Monumen Kapten Muslihat di Kota Bogor, Jawa Barat ~

~ “Tipu Muslihat” adalah istilah yang berasal dari nama Kapten Muslihat yang jago akan menyusun strategi perang saat lawan penjajahan dahulu. ~

Sunday, August 30, 2015

Sultan Hamid II & Garuda Pancasila

 

Sultan Hamid II adalah Sultan ke-VIII dari Kesultanan Kadriah Pontianak yang memiliki nama lengkap Sultan Abdul Hamid Alkadrie. Putra Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII Kesultanan Pontianak. Sultan Hamid II lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Sultan Hamid Alkadrie II melewati masa kecilnya di Istana Kadriah Kesultanan Pontianak yang dibangun pada 1771 Masehi. Sultan Hamid II pernah menjadi Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1948.

Sultan Hamid II dikenal cerdas, ia juga menjadi Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda (Ratu Juliana) dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran yaitu dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Sultan Hamid II menempuh pendidikan "ELS" di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. "HBS" di Bandung satu tahun, "THS" Bandung tidak tamat, kemudian "KMA" di Breda, Belanda hingga tamat dan berpangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Sultan Hamid II adalah orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda, Belanda, seperti AKABRI dengan pangkat letnan dua infanteri pada tahun 1936.

Sultan Hamid II adalah salah satu tokoh penting nasional dalam mendirikan Republik Indonesia bersama rekan sejawatnya, Sukarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, Mohammad Natsir, dan Muhammad Yamin. Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid II pernah menjadi Ketua Delegasi BFO (Bijeenkomst Federaale Overleg/Musyawarah Istimewa Kaum Federal dan Strategi Konseptor Negara Federal) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949. Sultan Hamid II juga menjadi saksi pelantikan Sukarno sebagai Presiden RI di Keraton Yogyakarta pada 17 Desember 1949.

Sepak terjangnya di dunia politik menjadi salah satu alasan bagi Presiden Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 1949-1950. Pada 13 Juli 1945 dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota Panitia, mengusulkan tentang lambang negara. Pada 20 Desember 1949, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949, Sultan Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara RIS. Dalam kedudukannya ini, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.

Dalam buku Bung Hatta Menjawab (Hatta saat itu menjadi Perdana Menteri RIS) tertulis Menteri Priyono yang ditugaskan oleh Sukarno melaksanakan sayembara lambang negara menerima hasil dua buah gambar rancangan lambang negara yang terbaik. Yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid II dan Banteng Matahari karya Muhammad Yamin. Namun, yang diterima oleh Presiden Sukarno adalah karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Melalui proses rancangan yang cukup panjang, akhirnya pada 10 Februari 1950, Menteri Negara RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang dipakai hingga saat ini.

Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, berbentuk Garuda tradisional yang bertubuh manusia. 


Berkas:Winner Republik Indonesia Serikat (United States of Indonesia) COA 1950.jpg 
Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.

Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (PM RIS) Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Empat hari berselang, tepatnya 15 Februari, Presiden Sukarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta. Pada 20 Maret 1950, bentuk final lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Zonder Forto Polio, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Sukarno dan mendapat disposisi persetujuan presiden. Selanjutnya Presiden Sukarno memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah untuk melukis kembali gambar itu sesuai bentuk final dan aslinya.

Lambang negara ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 111 dan penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 176 Tahun 1951 pada 28 November 1951. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan RI. Sebelum meninggal dunia, Sultan Hamid II yang didampingi sekretaris pribadinya, Max Yusuf Alkadrie menyerahkan gambar rancangan asli lambang negara yang sudah disetujui Presiden Sukarno kepada Haji Mas Agung–Ketua Yayasan Idayu, pada 18 Juli 1974. Gambar rancangan asli itu sekaligus diserahkan kepada Haji Mas Agung di Jalan Kwitang Nomor 24 Jakarta Pusat.


Keterlibatan dalam Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II dikait-kaitkan dengan peristiwa Westerling (yang tidak pernah terbukti secara yuridis/hukum) sehingga harus menjalani proses hukum (tanpa hukum/politisasi) dan dipenjara selama 10 tahun oleh pemerintah Sukarno (dikarenakan pergolakan poltik pada saat itu). Sejak itulah, nama Sultan Hamid II seperti dicoret dari catatan sejarah. Jarang sekali buku sejarah Indonesia yang terang-terangan menyebutkan Sultan Hamid sebagai pencipta gambar Burung Garuda. Sejarawan Indonesia lebih sering menyebut nama Muhammad Yamin sebagai pencipta lambang negara. Gelar kepahlawanan yang seharusnya disandang Sultan Hamid II yang sangat berjasa sebagai perancang lambang negara tersebut sengaja dihilangkan oleh pemerintahan Sukarno, Suharto hingga saat ini. Kesalahan sejarah itu berlangsung bertahun-tahun hingga pemerintahan Orde Baru dan sampai dengan sekarang belum sepenuhnya terungkap.

Sultan Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Sudah sepatutnya negara mengembalikan nama baik Sultan Hamid II sebagai pahlawan bangsa serta pencipta lambang negara yang terlepas dari masalah politik lain yang ditimpakan kepadanya. Pemutarbalikan fakta sejarah yang terjadi saat ini sangat merugikan generasi mendatang. Sejarah harus diletakkan pada porsinya semula dan sejarah harus diluruskan agar generasi mendatang tau tentang pencipta lambang negaranya Burung Garuda, serta generasi bangsa ini tidak salah dalam melihat sejarah, begitupula termasuk memberikan penghormatan kepada Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional seperti halnya W.R. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, Fatmawati, pembuat Bendera pusaka Indonesia, dan lainnya.


sumber : https://www.facebook.com/note.php?note_id=192177504157546

Tuesday, May 19, 2015

Biografi Mr. Assaat



Assaat Datuk Mudo atau lebih dikenal dengan Mr. Assaat adalah salah seorang politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang lahir di Dusun Kampuang nan Limo Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, 18 September 1904 dan meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976 pada umur 71 tahun. Ia merupakan pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia.


Pendidikan dan Praktik Advokat

Assaat belajar di Perguruan Adabiah dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Jakarta. Merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melanjutkan studinya ke Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta.

Ketika menjadi mahasiswa RHS, ia memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, gerakan pemuda dan politik. Saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Karier politiknya makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia. Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda ia terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda.

Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke kancah politik dengan bergabung dalam Partai Indonesia atau Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo, seperti Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dan beberapa tokoh lainnya. Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walau sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum.

Sebagai seorang non-kooperator terhadap penjajah Belanda, sekembalinya ke tanah air pada tahun 1939 Assaat berpraktik sebagai advokat hingga masuknya Jepang pada tahun 1942. Di zaman Jepang ia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
 

KNIP dan RIS

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berkedudukan awal di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian Jakarta) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Sekitar tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta. Kemudian pada tahun itu pula, pindah ke Purworejo, Jawa Tengah sampai saat situasi dianggap kurang aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta.

Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) dibentuk tanggal 16 Oktober 1945 yang diketuai oleh Sutan Sjahrir dan penulis oleh Soepeno dan beranggotakan 28 orang. Pada tanggal 14 November 1945, Sutan Syahrir diangkat menjadi Perdana Menteri Indonesia, sehingga BP-KNIP diketuai oleh Soepeno dan penulis Abdul Halim.Kemudian pada tanggal 28 Januari 1948, Soepeno diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda pada Kabinet Hatta I, sehingga ketua adalah Assaat dan penulis tetap dr. Abdul Halim. Tahun 1948-1949 ia menjadi Ketua BP-KNIP. Ia terpilih menjadi Ketua KNIP terakhir hingga KNIP dibubarkan, kemudian ia ditugasi sebagai Penjabat Presiden RI di Yogyakarta.


Diasingkan

19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian diasingkan di Manumbing, Pulau Bangka.


Acting Presiden Republik Indonesia

Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, Assaat diamanatkan menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden RI pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI. Saat menjadi Acting Presiden RI, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.


Setelah pindah ke Jakarta, Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), hingga duduk dalam Kabinet Natsir menjadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Setelah Kabinet Natsir bubar, ia kembali menjadi anggota Parlemen.

Pada tahun 1955 ia menjabat sebagai formatur Kabinet bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terjadi ketidakpuasan daerah terhadap beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah mendukung Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena secara formal ditolak oleh Parlemen.
  

Pertentangan dengan Pemerintah Pusat

Ketika Presiden Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin, Assaat menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, yang ditentangnya adalah politik Bung Karno yang seolah-olah condong ke sayap kiri Partai Komunis Indonesia (PKI).

Assaat merasa terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran terselubung, ia selalu diawasi oleh intel serta PKI. Dengan berpura-pura "akan berbelanja" ia bersama keluarganya melarikan diri dengan berturut-turut naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan menuju Stasiun Tanah Abang.

Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu di Sumatera Selatan sudah terbentuk Dewan Gajah yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatera Barat Letkol Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng. Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di Sumatera Utara, sementara Kolonel Ventje Sumual membangun Dewan Manguni (Burung hantu) di Sulawesi.

Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang dipengaruhi oleh PKI. Terbentuklah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.


Wafat

Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Ia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani hidup di dalam penjara Demokrasi Terpimpin selama 4 tahun (1962-1966). Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.

Pada tanggal 16 Juni 1976, Assaat meninggal di rumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Assaat gelar Datuk Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
 

Kepribadian

Assaat bukan ahli pidato, ia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh. Bagi orang-orang yang mengenalnya Asaat adalah pribadi yang sederhana. Ketika menjadi Penjabat Presiden, ia tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, lebih memilih panggilan Saudara Acting Presiden yang menjadi agak canggung pada waktu itu.


Saturday, March 14, 2015

kumpulan puisi Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)

Kepada Saudaraku M. Natsir

Meskipun bersilang keris di leher

Berkilat pedang di hadapan matamu
Namun yang benar kau sebut juga benar

Cita Muhammad biarlah lahir

Bongkar apinya sampai bertemu
Hidangkan di atas persada nusa
Jibril berdiri sebelah kananmu
Mikail berdiri sebelah kiri

Lindungan Ilahi memberimu tenaga

Suka dan duka kita hadapi
Suaramu wahai Natsir, suara kaum - mu
Kemana lagi, Natsir kemana kita lagi
Ini berjuta kawan sepaham

Hidup dan mati bersama -sama

Untuk menuntut Ridha Ilahi
Dan aku pun masukkan
Dalam daftarmu …….!



Hati Sanubari

Biarkanlah saya menyebut apa yang terasa;

Kemudian tuan bebas memberi saya nama
dengan apa yang tuan sukai;
Saya adalah pemberi maaf,
dan perangai saya adalah mudah, tidak sulit.

Cuma rasa hati sanubari itu

tidaklah dapat saya menjualnya;
Katakanlah kepadaku, demi Tuhan.
Adakah rasa hati sanubari itu bisa dijual?





Roda Pedati

Nasib makhluk adalah laksana roda pedati
Ia turun dan ia naik, silih berganti
Demikian kehendak Tuhan Rabbul Izzati
Kita menunggu kadar,
kita berharap dan menanti..




Taubat


di hamparan kain yang lusuh
jiwa tertunduk dan bersimpuh
memohon ampun dari yang maha pengampun
atas segala dosa-dosa
yang mencemari raga yang semakin renta

kami hanyalah setitik debu yang hina
yang rapuh dan tak lupa
dari hilaf serta dosa
tersadar didalam gelisah

setelah begitu jauh melangkah

setelah begitu jauh melangkah
setelah terlalu lama terlena
akan kenikmatan nafsu dunia fatamorgana
mungkinkah kan mengelupas dari tubuh
kotoran-kotoran yang telah mendarah daging menjadi satu
kami tahu..

tubuh yang telah terbalut dosa

takkan bisa disucikan
walau degan seluas samodra

ya Alloh
apapun kehendakmu kami ihklas
biarkan air mata ini menetes
bukan karena air mata derita
biarkan air mata ini mengalir
karena air mata bahagia
disisa-sisa ahkir nafas
berilah yang terbaik
kami yakin ENGKAU MAHA segalanya
kan terima taubat kami
sebelum nyawa terlepas dari raga





Di atas runtuhan Melaka

Lama penyair termenung seorang diri
ingat Melayu kala jayanya
pusat kebesaran nenek bahari

Di sini dahulu laksamana Hang Tuah

satria moyang Melayu sejati
jaya perkasa gagah dan mewah
"tidak Melayu hilang di bumi"

Di sini dahulu payung berkembang

megah bendahara Seri Maharaja
bendahara cerdik tumpuan dagang
lubuk budi laut bicara

Pun banyak pula penjual negeri

mengharap emas perak bertimba
untuk keuntungan diri sendiri
biarlah bangsa menjadi hamba

Inilah sebab bangsaku jatuh

baik dahulu atau sekarang
inilah sebabnya kakinya lumpuh
menjadi budak jajahan orang

Sakitnya bangsaku bukan di luar

tapi terhunjam di dalam nyawa
walau diubat walau ditawar
semangat hancur apakan daya

Janji Tuhan sudah tajalli

mulialah umat yang teguh iman
Allah tak pernah mungkir janji
tarikh riwayat jadi pedoman

malang mujur nasibnya bangsa

turun dan naik silih berganti
terhenyak lemah naik perkasa
tergantung atas usaha sendiri

Riwayat lama tutuplah sudah

sekarang buka lembaran baru
baik hentikan termenung gundah
apalah guna lama terharu

Bangunlah kekasih ku umat Melayu

belahan asal satu turunan
bercampur darah dari dahulu
persamaan nasib jadi kenangan

Semangat yang lemah buanglah jauh

jiwa yang kecil segera besarkan
yakin percaya iman pun teguh
zaman hadapan penuh harapan






Nikmat Hidup
Setelah diri bertambah besar
Di tempat kecil tak muat lagi
Setelah harga bertambah tinggi
Orangpun segan datang menawar
Rumit beredar di tempat kecil
Kerap bertemu kawan yang culas
Laksana ombak di dalam gelas
Diri merasa bagai terpencil
Walaupun musnah harta dan benda
Harga diri janganlah jatuh
Binaan pertama walaupun runtuh
Kerja yang baru mulailah pula
Pahlawan budi tak pernah menganggur
Khdmat hidup sambung bersambung
Kadang turun kadang membubung
Sampai istirahat di liang kubur
Tahan haus, tahanlah lapar
Bertemu sulit hendaklah tentang
Memohon-mohon djadikan pantang
Dari mengemis biar terkapar
Hanya dua tempat bertanya
Pertama Tuhan, kedua hati
Dari mulai hidup sampaipun mati
Timbangan insan tidaklah sama
Hanya sekali singgah ke alam
Sesudah mati tak balik lagi
Baru ‘rang tahu siapa diri
Setelah tidur di kubur kelam
Selama nampak tubuh jasmani
Gelanggang malaikat bersama setan
Ada pujian ada celaan
Lulus ujian siapa berani
Jika hartamu sudah tak ada
Belumlah engkau bernama rugi
Jika berani tak ada lagi
Separo kekayaan porak-poranda
Musnah segala apa yang ada
Jikalau jatuh martabat diri
Wajahpun muram hilanglah sari
Ratapan batin dosa namanya
Jikalau dasar budimu culas
Tidaklah berubah karena pangkat
Bertambah tinggi jenjang ditingkat
Perangai asal bertambah jelas
Tatkala engkau menjadi palu
Beranilah memukul habis-habisan
Tiba giliran jadi landasan
Tahanlah pukulan biar bertalu
Ada nasehat saya terima
,,Menyatakan pikiran baik berhenti
Sebab ‘lah banyak orang yang benci
Supaya engkau aman sentosa”
Menahan pikiran aku tak mungkin
Menumpul kalam aku tak kuasa
Merdeka berpikir gagah perkasa
Berani menyebut, yang aku jakin
Celalah saya, makilah saya
Akan kusambut bertabah hati
Ada yang suka, ada jang benci
Hiasan hidup di alam maya
Kalaulah timbul tengkar-bertengkar
Antara yang benci dengan yang sayang
Itulah alamat sudah membayang
Kewajiban hidup telah kubayar
“Wahai diriku teruslah maju
Di tengah jalan jangan berhenti
Sebelum ajal, janganlah , , mati”
Keridhaan Allah, itulah tuju”