TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Sunday, November 15, 2015

Biografi Amir Hamzah

Amir Hamzah portrait edit.jpg 

Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatera Utara. Saat berguru di SMA di Surakarta sekitar 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun  pada tahun pertama negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam peristiwa konflik sosial berdarah di Sumatera yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan massal.
 
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Njanji Soenji (1937) dan Boeah Rindoe (1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.

Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe" dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.

Masa kecil

Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir, merupakan putra bungsu dari Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya, Tengkoe Mahdjiwa. Tengkoe Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Melalui ayahnya, ia terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kepastian tanggal lahir Amir diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakaknya, Abdoellah Hod menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Amir kemudian mengambil nama kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku Busu" ("tengku yang bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir pada masa kecilnya menggambarkan bahwa Amir adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.

Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam, seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda. Dia tetap seorang Muslim yang taat sepanjang hidupnya. Periode saat ia menyelesaikan studi formal juga diperdebatkan. Beberapa sumber, termasuk pusat bahasa pemerintah Indonesia, menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada tahun 1916, sementara biografer M. Lah Husny menulis bahwa tahun pertama sekolah formal penyair ini adalah pada tahun 1918. Di sekolah dasar berbahasa Belanda di mana Amir pertama kali belajar, ia mulai menulis dan mendapat penilaian-penilaian yang bagus; dalam biografi yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh. Dini menulis bahwa Amir dijuluki "abang" oleh teman-teman sekelasnya karena ia jauh lebih tinggi daripada mereka.

Pada tahun 1924 atau 1925, Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah pertama) di sana. Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja Bun. Husny menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh orang tua mereka, namun Dini menganggap hubungan tersebut sebagai sumpah untuk menjadi selalu setia. Karena orang tuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian pergi ke ibukota kolonial Hindia Belanda di Batavia untuk menyelesaikan studinya.

Belajar di Jawa

Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama tiga hari di kapal Plancus. Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya. Anthony H. Johns dari Australian National University menulis bahwa di sekolah ini Amir mempelajari beberapa konsep dan nilai-nilai Kekristenan. Di Batavia, Amir juga terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatera. Saat periode ini pemuda Amir menulis puisi pertamanya. Husny menulis bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain tanpa sepengetahuan Amir (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi), sementara Dini berpendapat bahwa puisi "Tinggallah " ditulis tidak lama setelah Amir naik kapal Plancus, saat ia sangat rindu dengan ayah bundanya.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatera, Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Boedi Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sansekerta, dan Arab. Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk-pikuknya asrama, Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta. Kemudian ia bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja; mereka segera menemukan bahwa Amir adalah seorang pelajar yang ramah, rajin, dan dengan catatan lengkap dan kamar tidur bersih (selimut dilipat dengan baik, Mihardja kemudian bercerita, bahwa "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja"), tetapi juga seorang romantis; cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya.

Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau dari Sumatera dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu. Tahun 1930 Amir menjadi kepala cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu, "Garoeda Merapi". Di sekolah dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya. Soendari, putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali Amir. Menurut Dini, keduanya semakin dekat, Amir mengajari Soendari bahasa Arab, dan Soendari mengajarinya bahasa Jawa. Mereka segera bertemu setiap hari, bercakap-cakap tentang berbagai topik.


~ Ilik Soendari ~

Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya, mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru. Pada awalnya, hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam – ketika orangtua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang untuk bertemu.


Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" dan "Maboek ..." , diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah, tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut terbit dalam majalah Pandji Poestaka. Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik "Memadjoekan Sastera" (rubrik sastra Pandji Poestaka), mengundang Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen. Amir menerima, dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan. Sejumlah lima puluh surat dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera". Setelah beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933, dengan judul Poedjangga Baroe. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisjahbana, sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya di sana.

Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia. Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat. Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam Poedjangga Baroe, termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai 1935. Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.

Kembali ke Langkat

Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh Amir. Tahun 1937, Amir bersama dengan dua pengikut Sultan Langkat yang bertugas mengawal dia, naik di kapal Opten Noort dari Tanjung Priok dan kembali ke Sumatera. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya. Sebelum pernikahannya, Amir kembali ke Batavia untuk menghadapi ujian kuliah terakhirnya – dan mengatur sebuah pertemuan terakhir dengan Soendari. Beberapa minggu kemudian ia kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah menikah dalam sebuah upacara mewah. Sepupunya, Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan bahwa ketidakpedulian Amir sepanjang upacara adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir terus memikirkan Soendari.

Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir, Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran Indra Poetera. Dia tinggal bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam semua kesaksian, Kamiliah adalah seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan pada tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, seorang putri bernama Tengkoe Tahoera. 

Menurut Dini, Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencintainya karena ia telah memiliki Soendari, dan bahwa ia merasa berkewajiban untuk menikahinya, pengakuan yang kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir menyimpan sebuah album dengan foto-foto Soendari, kekasih Jawanya di rumahnya dan sering mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam dalam pikirannya. Sebagai seorang pangeran Langkat, Amir menjadi seorang pejabat keraton, menangani masalah administrasi dan hukum, dan kadang-kadang juga menghakimi kasus pidana. Ia sempat mewakili Kesultanan Langkat di pemakaman Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939 – sebuah perjalanan terakhir Amir ke pulau Jawa.

Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa, puisi-puisinya yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Poedjangga Baroe. Koleksi puisi pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan dalam edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir, berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan. Semuanya kemudian diterbitkan sebagai buku. Sebuah buku terakhir, Sastera Melajoe Lama dan Radja-Radjanja, diterbitkan di Medan pada tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.


Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang. Di Langkat, divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen bertanggung jawab atas angkatan garda ini; kaum bangsawan, dipercaya oleh masyarakat umum, dipilih untuk memastikan perekrutan rakyat jelata yang lebih mudah. Ketika invasi Jepang menjadi kenyataan pada awal tahun 1942, Amir adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Dia dan pasukan lainnya yang bersekutu dengan Belanda dengan cepat ditangkap oleh Tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika pengaruh dari Sultan memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang berlangsung sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan sensor di Medan. Dalam posisinya sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.

Pasca-kemerdekaan dan kematian

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatera dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatera, dan pada 29 Oktober 1945 Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari disamakan dengan bupati), dengan kantornya di Binjai; Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia, kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia), membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional, dan mempromosikan pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.

Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil. Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatera, dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat. Pada tanggal 7 Maret 1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok Pemuda Sosialis Indonesia dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap; sementara Kamiliah dan Tahoera lolos. Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai. 

Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian ditemukan di selnya:
Wahai maut, datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita

Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut; beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut. Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali menanyakan "Dimana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut. Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang. Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat. Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.

No comments:

Post a Comment