TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Saturday, November 15, 2014

Biografi Eduard Douwes Dekker (Multatuli)



Eduard Douwes Dekker (lahir di Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 – meninggal di Ingelheim am Rhein, Jerman, 19 Februari 1887 pada umur 66 tahun), atau yang dikenal pula dengan nama pena Multatuli (dari bahasa Latin multa tuli "banyak yang aku sudah derita") , adalah penulis Belanda yang terkenal dengan Max Havelaar (1860), novel satirisnya yang berisi kritik atas perlakuan buruk para penjajah terhadap orang-orang pribumi di Hindia Belanda.

Eduard memiliki saudara bernama Jan yang merupakan kakek dari tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, Ernest Douwes Dekker yang dikenal pula dengan nama Danudirja Setiabudi.


Masa kecil
Eduard dilahirkan di Amsterdam. Ayahnya adalah seorang kapten kapal yang cukup besar dengan penghasilan cukup sehingga keluarganya termasuk keluarga mapan dan berpendidikan.

Eduard kemudian disekolahkan di sekolah Latin yang nantinya bisa meneruskan jenjang pendidikan ke universitas. Pada awalnya Eduard menempuh pendidikan dengan lancar karena Eduard merupakan murid yang berprestasi dan cukup pandai. Namun lama kelamaan Eduard merasa bosan sehingga prestasinya merosot. Hal ini membuat ayahnya langsung mengeluarkannya dari sekolah dan ia ditempatkan di sebuah kantor dagang.

Bagi Eduard, penempatannya di sebuah kantor dagang membuatnya merasa dijauhkan dari pergaulan dengan kawan-kawannya sesama keluarga berkecukupan; ia bahkan ditempatkan di posisi yang dianggapnya hina sebagai pembantu di sebuah kantor kecil perusahaan tekstil. Di sanalah dirinya merasa bagaimana menjadi seorang miskin dan berada di kalangan bawah masyarakat. Pekerjaan ini dilakukannya selama empat tahun dan meninggalkan kesan yang tidak dilupakannya selama hidupnya. "Dari hidup di kalangan yang memiliki pengaruh kemudian hidup di kalangan bawah masyarakat membuatnya mengetahui bahwa banyak kalangan masyarakat yang tidak memiliki pengaruh dan perlindungan apa-apa", seperti yang diucapkan Paul van 't Veer dalam biografi Multatuli.

Ke Hindia Belanda
Ketika ayahnya pulang dari perjalanannya, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan dalam diri Eduard. Hal ini melahirkan niat pada diri ayahnya untuk membawanya dalam sebuah perjalanan. Pada saat itu, di Hindia Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah. Karena itu, pada tahun 1838 Eduard pergi ke pulau Jawa dan pada 1839 tiba di Batavia sebagai seorang kelasi yang belum berpengalaman di kapal ayahnya. Dengan bantuan dari relasi-relasi ayahnya, tidak berapa lama Eduard memiliki pekerjaan sebagai pegawai negeri (ambtenaar) di kantor Pengawasan Keuangan Batavia. Tiga tahun kemudian dia melamar pekerjaan sebagai ambtenaar pamong praja di Sumatera Barat dan oleh Gubernur Jendral Andreas Victor Michiels ia dikirim ke kota Natal yang saat itu terpencil sebagai seorang kontrolir.

Kehidupan di kota yang terpencil tersebut, bagi Eduard justru lebih menyenangkan. Sebagai ambtenaar pemerintahan sipil yang cukup tinggi di sana, ditambah usianya yang masih cukup muda, ia merasa memiliki kekuasaan yang tinggi. Dalam jabatannya ia mengemban tugas pemerintahan dan pengadilan, dan juga memiliki tugas keuangan dan administrasi. Namun ternyata ia tidak menyukai tugas-tugasnya sehingga kemudian ia meninggalkannya. Atasannya yang kemudian mengadakan pemeriksaan, menemukan kerugian yang besar dalam kas pemerintahannya.

Karena sikapnya yang mengabaikan peringatan-peringatan dari atasannya, serta adanya kerugian kas pemerintahan Eduard pun diberhentikan sementara dari jabatannya oleh Gubernur Sumatera Barat Jendral Michiels. Setahun lamanya ia tinggal di Padang tanpa penghasilan apa-apa. Baru pada September 1844 ia mendapatkan izin untuk pulang ke Batavia. Di sana ia direhabilitasi oleh pemerintah dan mendapatkan "uang tunggu".

Sambil menunggu penempatan tugas, Eduard menjalin asmara dengan Everdine van Wijnbergen, gadis turunan bangsawan yang jatuh miskin. Pada bulan April 1846, Eduard yang saat itu telah menjabat sebagai ambtenaar sementara di kantor asisten residen Purwakarta, menikah dengan Everdine.

Belajar dari pengalamannya yang buruk saat bertugas sebelumnya di Natal, Eduard bekerja cukup baik sebagai ambtenaar pemerintah sehingga pada 1846 ia diangkat menjadi pegawai tetap. Pangkatnya kemudian dinaikkan menjadi komis di kantor residen Purworejo. Prestasinya membuatnya diangkat oleh residen Johan George Otto Stuart von Schmidt auf Altenstadt menjadi sekretaris residen menggantikan pejabat sebelumnya. Namun karena Eduard tidak memiliki diploma sebagai syarat ditempatkannya sebagai pejabat tinggi pemerintahan, Eduard tidak mendapatkan kenaikan pangkat yang sesungguhnya. Namun Gubernur Jenderal dapat memberikan pengakuan diploma dalam hal-hal yang dianggap istimewa dengan syarat mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Eduard mengajukan permohonan kepada Gubernur Jenderal dan akhirnya berhasil memperolehnya karena prestasi kerjanya. Keputusan ini diterima dari atasannya, Residen Purworejo. Kegagalan saat bertugas di Natal dianggap sebagai kesalahan pegawai muda yang dapat dimaafkan.

Dalam perjalanan karier selanjutnya, Eduard diangkat menjadi sekretaris residen di Manado akhir April 1849 yang merupakan masa-masa karier terbaiknya. Eduard merasa cocok dengan residen Scherius yang menjadi atasannya sehingga ia mendapat perhatian para pejabat di Bogor di antaranya karena pendapatnya yang progresif mengenai rancangan peraturan guna perubahan dalam sistem hukum kolonial. Karirnya meningkat menjadi asisten residen, yang merupakan karier nomor dua paling tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda. Eduard menerima jabatan ini dan ditugasi di Ambon pada Februari 1851.

Namun, meskipun telah mendapatkan jabatan yang cukup tinggi di kalangan ambtenaar Hindia Belanda, Eduard merasa tidak cocok dengan Gubernur Maluku yang memiliki kekuasaan tersendiri sehingga membuat ambtenaar-ambtenaar bawahannya tidak dapat menunjukkan inisiatifnya. Eduard akhirnya mengajukan cuti dengan alasan kesehatan sehingga mendapatkan izin cuti ke negeri Belanda. Dan pada hari Natal 1852, dia bersama istrinya tiba di pelabuhan Hellevoetsluis dekat Rotterdam.

Pindah ke Lebak
Selama cuti di Belanda, Eduard ternyata tidak dapat mengatur keuangannya dengan baik; hutang menumpuk di sana-sini bahkan ia sering mengalami kekalahan di meja judi. Meskipun telah mengajukan perpanjangan cuti di Belanda, dia dan istrinya akhirnya kembali ke Batavia pada tanggal 10 September 1855. Tidak lama kemudian, Eduard diangkat menjadi asisten residen Lebak di sebelah selatan karesidenan Banten yang bertempat di Rangkasbitung pada Januari 1856. Eduard melaksanakan tugasnya dengan cukup baik dan bertanggung jawab. Namun ternyata, dia menjumpai keadaan di Lebak yang sesungguhnya sangat buruk bahkan lebih buruk daripada berita-berita yang didapatnya.

Bupati Lebak yang pada saat itu menurut sistem kolonial Hindia Belanda diangkat menjadi kepala pemerintahan bumiputra dengan sistem hak waris telah memegang kekuasaan selama 30 tahun, ternyata dalam keadaaan kesulitan keuangan yang cukup parah lantaran pengeluaran rumah tangganya lebih besar dari penghasilan yang diperoleh dari jabatannya. Dengan demikian, bupati Lebak hanya bisa mengandalkan pemasukan dari kerja rodi yang diwajibkan kepada penduduk distriknya berdasarkan kebiasaan.

Edwuard Douwes Dekker menemukan fakta bahwa kerja rodi yang dibebankan pada rakyat distrik telah melampaui batas bahkan menjumpai praktik-praktik pemerasan yang dilakukan oleh Bupati Lebak dan para pejabatnya dengan meminta hasil bumi dan ternak kepada rakyatnya. Kalaupun membelinya, itupun dengan harga yang terlalu murah.

Belum saja satu bulan Eduard Douwes Dekker ditempatkan di Lebak, dia menulis surat kepada atasannya, residen C.P. Brest van Kempen dengan penuh emosi atas kejadian-kejadian di wilayahnya. Eduard meminta agar bupati dan putra-putranya ditahan serta situasi yang tidak beres tersebut diselidiki. Dengan adanya desakan dari Eduard tersebut, timbullah desas-desus bahwa pejabat sebelumnya yang digantikannya meninggal karena diracun. Hal ini membuat Eduard merasa dirinya dan keluarganya terancam. Sebab lainnya adalah adanya berita kunjungan bupati Cianjur ke Lebak, yang ternyata masih keponakan bupati Lebak, yang kemudian membuat Eduard mengambil kesimpulan akan menimbulkan banyak pemerasan kepada rakyat.

Atasannya, Brest van Kempen sangat terkejut dengan berita yang dikirimkan Eduard sehingga mengadakan pemeriksaan di tempat, namun menolak permintaan Eduard. Dengan demikian Eduard meminta agar perkara tersebut diteruskan kepada Gubernur Jendral A.J. Duymaer van Twist yang terkenal beraliran liberal. Namun, meskipun maksudnya terlaksana, Eduard justru mendapatkan peringatan yang cukup keras. Karena kecewa, Eduard mengajukan permintaan pengunduran diri dan permohonannya dikabulkan oleh atasannya.

Kembali ke Eropa
Sekali lagi, Eduard kehilangan pekerjaan akibat bentrok dengan atasannya. Usahanya untuk mencari pekerjaan yang lain menemui kegagalan. Bahkan saudaranya yang sukses berbisnis tembakau malah meminjamkan uang untuk pulang ke Eropa untuk bekerja di sana. Istri dan anaknya sementara ditinggalkan di Batavia.

Di Eropa, Eduard bekerja sebagai redaktur sebuah surat kabar di Brusel, Belgia namun tidak lama kemudian dia keluar. Kemudian usahanya untuk mendapatkan pekerjaan sebagai juru bahasa di Konsulat Perancis di Nagasaki juga menemui kegagalan. Usahanya untuk menjadi kaya di meja judi justru membuatnya menjadi semakin melarat.
Sampul cetakan pertama Max Havelaar tahun 1860.

Namun cita-cita Eduard yang lain, yaitu menjadi pengarang, berhasil diwujudkannya. Ketika kembali dari Hindia Belanda, dia membawa berbagai manuskrip di antaranya sebuah tulisan naskah sandiwara dan salinan surat-surat ketika dia menjabat sebagai asisten residen di Lebak. Pada bulan September 1859, ketika istrinya didesak untuk mengajukan cerai, Eduard mengurung diri di sebuah kamar hotel di Brussel dan menulis buku Max Havelaar yang kemudian menjadi terkenal.

Buku tersebut diterbitkan pada tahun 1860 dalam versi yang diedit oleh penerbit tanpa sepengetahuannya namun tetap menimbulkan kegemparan di kalangan masyarakat khususnya di kawasan negerinya sendiri. Pada tahun 1875, terbit kembali dengan teks hasil revisinya. Namanya sebagai pengarang telah mendapatkan pengakuan, yang berarti lambat laun Eduard dapat mengharapkan penghasilan dari penerbitan karyanya.

Ketika menerbitkan novel Max Havelaar, ia menggunakan nama samaran 'Multatuli'. Nama ini berasal dari bahasa Latin dan berarti "'Aku sudah menderita cukup banyak'" atau "'Aku sudah banyak menderita'"; di sini, aku dapat berarti Eduard Douwes Dekker sendiri atau rakyat yang terjajah. Setelah buku ini terjual di seluruh Eropa, terbukalah semua kenyataan kelam di Hindia Belanda, walaupun beberapa kalangan menyebut penggambaran Dekker sebagai berlebih-lebihan.

Antara tahun 1862 dan 1877, Eduard menerbitkan Ideën (Gagasan-gagasan) yang isinya berupa kumpulan uraian pendapat-pendapatnya mengenai politik, etika dan filsafat, karangan-karangan satir dan impian-impiannya. Sandiwara yang ditulisnya, di antaranya Vorstenschool (Sekolah para Raja), dipentaskan dengan sukses.

Walaupun kualitas literatur Multatuli diperdebatkan, ia disukai oleh Carel Vosmaer, penyair terkenal Belanda. Ia terus menulis dan menerbitkan buku-buku berjudul Ideen yang terdiri dari tujuh bagian antara tahun 1862 dan 1877, dan juga mengandung novelnya Woutertje Pieterse serta Minnebrieven pada tahun 1861 yang walaupun judulnya tampak tidak berbahaya, isinya adalah satir keras.

Akhir hayat
Akhirnya Eduard Douwes Dekker merasa bosan tinggal di Belanda. Pada akhir hayatnya, dia tinggal di Jerman bersama seorang anak Jerman yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri. Eduard Douwes Dekker tinggal di Wiesbaden, Jerman, di mana ia mencoba untuk menulis naskah drama. Salah satu dramanya, Vorstenschool (diterbitkan pada 1875 dalam volume Ideën keempat) menyatakan sikapnya yang tidak berpegang pada satu aliran politik, masyarakat atau agama. Selama dua belas tahun akhir hidupnya, Eduard tidaklah mengarang melainkan hanya menulis berbagai surat-surat.

Eduard Douwes Dekker kemudian pindah ke Ingelheim am Rhein dekat Sungai Rhein sampai akhirnya meninggal 19 Februari 1887.

Multatuli telah mengilhami bukan saja karya sastra di Indonesia, misalnya kelompok Angkatan Pujangga Baru, namun ia telah menggubah semangat kebangsaan di Indonesia. Semangat kebangsaan ini bukan saja pemberontakan terhadap sistem kolonialisme dan eksploitasi ekonomi Hindia Belanda (misal tanam paksa) melainkan juga kepada adat, kekuasaan dan feodalisme yang tak ada habisnya menghisap rakyat jelata. Bila Multatuli dalam Max Havelaar dapat dikatakan telah mempersonifikasikan dirinya sebagai Max yang idealis dan akhirnya frustrasi, Muhammad Yamin lebih berfokus pada si kaum terjajah, misalnya dalam puisinya yang berjudul Hikajat Saidjah dan Adinda Dalam sisi filosofis frustrasi yang dihadapi Max serta Saidjah dan Adinda adalah sama pada hakekatnya; keduanya putus asa dan terbelenggu dalam rantai sistem yang hanya bisa terputuskan melalui revolusi.

Karya-karya
1843 - De eerloze (naskah drama, kemudian diterbitkan sebagai De bruid daarboven (1864))
1859 - Geloofsbelydenis (diterbitkan dalam jurnal pemikir bebas De Dageraad)
1860 - Indrukken van den dag
1860 - Max Havelaar of de koffiveilingen der Nederlandsche Handelmaatschappy
1860 - Brief aan Ds. W. Francken z.
1860 - Brief aan den Gouverneur-Generaal in ruste
1860 - Aan de stemgerechtigden in het kiesdistrikt Tiel
1860 - Max Havelaar aan Multatuli
1861 - Het gebed van den onwetende
1861 - Wys my de plaats waar ik gezaaid heb
1861 - Minnebrieven
1862 - Over vrijen arbeid in Nederlandsch Indië en de tegenwoordige koloniale agitatie (brochure)
1862 - Brief aan Quintillianus
1862 - Ideën I (terdapat pula yang berupa novel De geschiedenis van Woutertje Pieterse)
1862 - Japansche gesprekken
1863 - De school des levens
1864-1865 - Ideën II
1864 - De bruid daarboven. Tooneelspel in vijf bedrijven (naskah drama)
1865 - De zegen Gods door Waterloo
1865 - Franse rymen
1865 - Herdrukken
1865 - Verspreide stukken (diambil dari Herdrukken)
1866-1869 - Mainzer Beobachter
1867 - Een en ander naar aanleiding van Bosscha's Pruisen en Nederland
1869-1870 - Causerieën
1869 - De maatschappij tot Nut van den Javaan
1870-1871 - Ideën III
1870-1873 - Millioenen-studiën
1870 - Divagatiën over zeker soort van Liberalismus
1870 - Nog eens: Vrye arbeid in Nederlandsch Indië
1871 - Duizend en eenige hoofdstukken over specialiteiten (esai satir)
1872 - Brief aan den koning
1872 - Ideën IV (terdapat pula dalam naskah drama Vorstenschool)
1873 - Ideën V
1873 - Ideën VI
1874-1877 - Ideën VII
1887 - Onafgewerkte blaadjes
1891 - Aleid. Twee fragmenten uit een onafgewerkt blyspel (naskah drama)
1897 - Max Havelaar of de Koffiveilingen der Nederlandsche Handelsmaatschappy (editor Willem Frederik Hermans)


    Patung Eduard Dekker di AmsterdamBelanda.

    Saturday, September 13, 2014

    Kumpulan Lirik Lagu Nasionalisme Gombloh

    MERAH DAN PUTIH BERSILANG DI MUKAKU

    Angin laut tampar lembut terasa dingin di kudukku
    Burung camar samar halus fatamorgana di depanku
    Senyum perawan tipis berawan
    Tempel di pelupuk mata kananku
    Yang Shanti
    Yang Shanti
    Yang Shanti
    Yang Shanti

    Bara api terasa kering lapisan panas di keningku
    Prostitusi caci maki budaya lewat di kotaku
    Bersimpang siur dada berdebur
    Tempel di pelupuk mata kiriku
    Yang Shanti
    Yang Shanti
    Yang Shanti
    Yang Shanti

    Hey hey bayi telanjang 
    Bersimbah tawa bersimbah peluh
    Hey hey pedang telanjang
    Bersimbah darah bersimbah keluh

    Kejar mengejar diseling kerling
    Mega berarak tuding-menuding
    Peluk berpeluk saling menggiling
    Guru mengguru dunia berpaling

    Damai desa ramai kota saling pagut menyeluruh
    Kuncup tebu asam arang saling berjanji memadu
    Lestari alam ciptaan Satu
    Tempel di kedua mata batinku
    Yang Shanti
    Yang Shanti
    Yang Shanti
    Yang Shanti 


    MERAH PUTIH
    Berkibarlah bendera negeriku
    Berkibarlah engkau di dadaku
    Tunjukanlah kepada dunia
    Semangatmu yang panas membara

    Daku ingin jiwa raga ini
    Selaraskan keanggunan
    Daku ingin jemariku ini
    Menuliskan kharismamu

    Berkibarlah bendera negeriku
    Berkibar di luas nuansamu
    Tunjukanlah kepada dunia
    Ramah tamah budi bahasamu

    Daku ingin kepal tangan ini
    Menunaikan kewajiban
    Putra bangsa yang mengemban cita
    Hidup dalam kesatuan



    KEBYAR - KEBYAR
    Indonesia ...
    Merah darahku, putih tulangku
    Bersatu dalam semangatmu

    Indonesia ...
    Debar jantungku, getar nadiku
    Berbaur dalam angan-anganmu

    Kebyar-kebyar, pelangi jingga

    Biarpun bumi bergoncang
    Kau tetap indonesiaku
    Andaikan matahari terbit dari barat
    Kaupun tetap indonesiaku
    Tak sebilah pedang yang tajam
    Dapat palingkan daku darimu
    Kusingsingkan lengan
    Rawe-rawe rantas
    Malang-malang tuntas
    Denganmu ...

    Indonesia ...
    Merah darahku, putih tulangku
    Bersatu dalam semangatmu

    Indonesia ...
    Nada laguku, symphoni perteguh
    Selaras dengan symphonimu


    Kebyar-kebyar, pelangi jingga

    BERITA CUACA

    Lestari alamku lestari desaku
    Dimana Tuhanku menitipkan aku
    Nyanyi bocah-bocah di kala purnama
    Nyanyikan pujaan untuk nusa

    Damai saudaraku suburlah bumiku
    Kuingat ibuku dongengkan cerita
    Kisah tentang jaya nusantara lama
    Tentram kartaraharja di sana

    Mengapa tanahku rawan kini
    Bukit bukit telanjang berdiri
    Pohon dan rumput enggan bersemi kembali
    Burung-burung pun malu bernyanyi

    Kuingin bukitku hijau kembali
    Semenung pun tak sabar menanti
    Doa kan kuucapkan hari demi hari
    Kapankah hati ini lapang lagi?



    SELAMAT PAGI KOTAKU

    Aku dilahirkan di kota
    di bangsal rumah sakit tua
    rumahku sebaya umur kakekku
    berdinding batu separuh bambu

    dan aku coba mengerti
    walau aku sering memaki
    tingkah-tingkuh kotaku yang panas
    berbaur debu dan keringat di badanku

    orang bilang kotaku kejam
    tak beda usia tak beda warna
    bagai tangan hitam cengkeram
    tubuh-tubuh tergolek disana

    dulu aku tak perduli
    walau aku sering kerutkan dahi
    detak jantung berpacu dengan nafsu
    sering terlihat nyata di depanku

    satu kali ku berkhayal
    hidup ini bersinar merata
    tapi lamunanku buyar
    oleh mimik seorang bocah

    gelandangan kecil berdiri
    dengan rasa ingin memiliki
    sepotong roti di toko yang bersih
    dan berjendela kaca

    kulihat seorang perempuan baya
    dengan orok di pangkuannya
    larut malam di kaki lima
    menunggu warung kopi miliknya

    tak berdinding beratap rumbia
    menempel di emper toko megah
    esok 'pabila mentari tiba
    ku tak tahu ia dimana


    kepincangan demi kepincangan
    tak membuat aku jera
    kehidupan yang keras ini
    akan kuhadapi jua

    tanpa terasa aku tengadah
    kepada-Nya aku meminta
    kotaku ‘kan tegar berdiri
    bukan hanya untuk satu generasi


    KAMI ANAK NEGERI INI
    lazuardi gilang gemilang matahari pagi
    membuka hari mrnyongsong janji
    bagimu Ibu Pertiwi

    rumput liar riang bermimpi di sela kicau burung
    sayang, di nafasmu di pundakmu
    terletak martabat bangsa
    tengadahlah tunas nusa

    kibarkan panji kibarkan bendera dirgahayu tanah ini
    kami bernyanyi untukmu negeri dengan semangat di dadaku
    berpijar dan bersinar di mataku

    tengadahlah tunas nusa

    Saturday, August 30, 2014

    Mahatma Gandhi – Pahlawan Kemerdekaan India

     
    Mahatma Gandhi adalah pemimpin rohani dibalik kemerdekaan India. Mahatma Gandhi atau sering disebut Gandhi telah menentang penjajahan Inggris atas India. Gandhi memulai suatu gerakan tanpa kekerasan untuk memimpin India menuju demokrasi, perdamaian dan kemerdekaan. Gandhi dipenjara beberapa kali dan sempat hampir mati karena kelaparan. Namun dengan tekad yang kuat akhirnya beliau berhasil meraih apa yang dicita-citakannya.




    Biografi Mahatma Gandhi
    Mahatma Gandhi dilahirkan pada tanggal 2 Oktober 1869 di Porbandar, Gujarat, India Britania dengan nama Mohandas Karamchand Gandhi
     
    Pada tahun 1877 Inggris menjajah India, menjadikan India sebagai salah satu dari banyak jajahan Kerajaan Inggris. Saat itu Gandhi baru saja lulus dari pendidikan pengacaranya. Ia kemudian meninggalkan India dan berangkat ke Afrika Selatan.
    Suatu hari ia sedang naik kereta. Tiket yang dibelinya adalah tiket kelas satu namun kemudian dengan semena-mena seorang kondektur kereta tersebut mengusirnya dari gerbong kelas satu dan menyuruhnya pindah ke kelas tiga. Perlu diketahui, kondektur kereta itu adalah seorang keturunan Inggris kulit putih. Kontan saja Gnadhi tidak mau. Nmaun ia kemudian diusir paksa dengan dikatain “Orang India hanya boleh naik gerbong kelas tiga. Tidak menjadi soal tiket kelas mana yang dibelinya”.
    Gandhi berdebat dengan orang itu, yang pada akhirnya Gnadhi ditendang keluar kereta. Mulai saat itulah Gandhi memiliki tekat ingin memerdekakan bangsa India dari penjajahan Inggris. “Wlaupun Kerajaan Inggris itu berkuasa,, aku harus mengerahkan orang sebangsaku untuk memperjuangkan persamaan hak.” Itulah cita-cita Gandhi.


    Memperjuangkan Persamaan Derajat, Menentang Kasta
    Ia kemudian membuat buklet dan menerbitkannya. Ia juga berpidato untuk meningkatkan kesadaran tentang bagaimana orang sebangsa mereka diperlakukan tak semena-mena di negeri sendiri.
    Gandhi kemudian bergabung dengan suatu aliansi yang juga memiliki tujuan yang sama. I akemudian memasuki arena politik. Mereka (Gandhi dan aliansi) memperjuangkan kemerdekaan India dengan mengancam “ Tidak mau bekerja sama”.
    Gandhi mengorganisasikan pertemuan demi pertemuan untuk mendesak semua orang agar membakar bahan-bahan pakaian produksi barat. Sementara gerakan untuk hanya menggunakan bahan lokal meraih momentum. Bangsa India hanyut dalam gerakan anti penjajahan.
    Pada tahun1921 terjadi kerusuhan ketika Pangeran Edward dari Inggris berkunjung ke India. Kerusuhan tersebut mengakibatkan 20000 lebih warga India dipenjara termasuk Gandhi. Demikianlah Gandhi memutuskan untuk melancarkan aksi damai tapi situasinya tak terkendali. Bahkan seorang polisi tewas terbunuh dalam kerusuhan tersebut.
    Gandhi menerima hukuman yang dijatuhkan padanya sebagai konsekuensi perjuangan. Di dalam penjara ia menghabiskan waktunya untuk membaca dan berfikir.
    Setelah dibebaskan dari penjara, Gandhi berkelana ke seluruh negeri guna mempromosikan produk lokal agar tidak menggunakan produk Inggris. Gandhi diterima oleh semua kalangan masyarakat India. Ia kemudian memimpin sekelompok pengikut setia untuk berjalan sejauh 200 mil selama 24 hari kepantai barat India. Ini disebut dengan Barisan Garam dan sangat terkenal sampai sekarang.
    Ia kemudian mengajak orang India untuk membuat garam sendiri dari air laut dan tak mau memakai garam orang Inggris. Demikianlah Gandhi menghancurkan monopoli garam yang dilakukan oleh kolonial. Karena hal itulah Gandhi dijebloskan lagi ke penjara.
    Pada masyarakat India yang mayoritas menganut agama Hindu memberlakukan sistem kasta. Salah satu dari kasta terendah adalah orang buangan yang dianggap sebagai “najis”. Gandhi tak menyukai sistem kasta, ia ingin menghapus kasta dari masyarakat India karena kasta inilah yang membuat India tak bisa bersatu dan gampang diadu domba oleh Inggris.


    Mogok Makan
    Benar pula ramalan Gandhi, pada tahun 1932, pemerintah kolonial memberi hak suara pada orang buangan yang tujuannya ingin menyulut reaksi dari kasta yang lebih tinggi yang akhirnya akan memerangi  kasta orang buangan, dengan begitu India terus menerus dalam permusuhan dengan sesamanya sedangkan Inggris bisa seenaknya melihat tontonan ini.
    Gandhi tahu bahwa ia dianggap orang suci oleh masyarakat India, Gandhi juga tahu masyarakat India tak mau dirinya mati karena masyarakat India terutama yang beragama Hindu sangat mengasihinya seperti dewa. Gandhi mempergunakan ini sebagai alat agar masyarakat bisa berfikir  tentang kehidupan mereka terutama tentang sistem kasta yang sudah terbukti justru akan membuat India di jalan perpecahan.
    Gandhi kemudian membuat ide mogok makan. Ia berfikir jika masyarakat tahu kalau “orang sucinya” mogok makan mereka akan mau mengevaluasi pola berfikir mereka dan mau menghapuskan kasta. Strategi Gandhi berhasil, saat Gandhi sudah berada dalam masa kritis karena tak mau makan, para masyarakat kasta atas lantas membuat perubahan. 
    Kasta atas memperbolehkan kasta orang buangan untuk memasuki kuil yang sebelumnya sangat diharamkan bagi kasta buangan untuk memasuki kuil. Kasta atas juga mau menerima makanan dan memakan makanan yang telah disentuh oleh kasta orang buangan. Padahal sebelumnya apapun yang disentuh oleh orang buangan maka hukumnya najis untuk dimakan oleh kasta diatasnya.
    Setelah mengetahui berita bahwa masyarakat India sudah sadar akan kekeliruannya dan mau bersatu dan setelah 13 hari mogok makan akhirnya Gandhi mau makan dengan diawali minum segelas jus.
    Gandhi 17 kali mogok makan seumur hidupnya. Ia gunakan nyawanya sendiri untuk memicu orang lain merenungkan kehidupan mereka, mengoreksi ide-ide yang keliru dan memberikan dorongan pada mereka yang berkecil hati. Mogok makan yang dilakukannya itu berhasil sebab rakyat mengasihinya. Mereka tidak mau kehilangan nyawa nya karena kesalahan mereka. Gandhi pernah mengatakan “Kamu hanya bisa mogok makan demi orang-orang yang kamu kasihi. Jangan mogok makan untuk menentang bangsawan.”
    Tahun 1942 Gandhi menghimbau Inggris menarik diri dari India. Akhirnya India mengklaim kemerdekaannya pada tahun 1947. Gandhi terus memperjuangkan persatuan orang sebangsanya. Gandhi terkenal dengan perjuangan tanpa darah dan ini tidak terdapat di negara lain.
    Kata-Kata Bijak Gandhi
    Cinta tidak pernah meminta, ia sentiasa memberi, cinta membawa penderitaan, tetapi tidak pernah berdendam, tak pernah membalas dendam. Di mana ada cinta di situ ada kehidupan; manakala kebencian membawa kepada kemusnahan.
    Jadilah kamu manusia yang pada kelahiranmu semua orang tertawa bahagia, tetapi hanya kamu sendiri yang menangis dan pada kematianmu semua orang menangis sedih, tetapi hanya kamu sendiri yang tersenyum.
    Kalau tak ada yang mendengarkan himbauanmu, berjalanlah terus...
    Kalau tak ada yang berani berbicara karena takut, Buatlah deklarasi....
    Kalau semua orang pergi, berjalanlah terus....
    Walaupun menempuh jalan berduri di sepanjang jalan yang bernoda darah, berjalanlah terus....
    Itulah kata-kata Gandhi selama memperjuangkan persatuan India.
    Meninggalnya Mahatma Gandhi
    Mahatma Gandhi meninggal pada tanggal 30 Januari 1948 di New, Delhi India. Sebab beliau meninggal adalah karena pembunuhan. Ia ditembak oleh seorang Hindu fanatik ketika ia hendak menghadiri pertemuan doa yang diadakan setelah ia menjalankan puasa lengkap, yaitu puasa yang mempertaruhkan nyawa. Aksi puasa itu dilakukan demi meredam pertikaian yang terjadi di India antara kaum Muslim dan Hindu yang muncul menjelang hingga pasca kemerdekaan India. Jasadnya kemudian di kremasi di Rajghat, Delhi. Walau ia telah meninggal namun semangat perjuangannya akan terus hidup sampai sekarang.



    sumber : http://biografi-orang-sukses-dunia.blogspot.com/2013/10/biografi-mahatma-gandhi-pahlawan.html

    Biografi Che Guevara




    Ernesto Guevara Lynch de La Serna (lahir di Rosario, Argentina, 14 Juni 1928 – meninggal di Bolivia, 9 Oktober 1967 pada umur 39 tahun) adalah pejuang revolusi Marxis Argentina dan seorang pemimpin gerilya Kuba.

    Guevara dilahirkan di Rosario, Argentina, dari keluarga berdarah campuran Irlandia, Basque dan Spanyol. Tanggal lahir yang ditulis pada akta kelahirannya yakni 14 Juni 1928, namun yang sebenarnya adalah 14 Mei 1928.

    Masa Kecil
    Sejak usia dua tahun Che Guevara mengidap asma yang diderita sepanjang hidupnya. Karena itu keluarganya pindah ke daerah yang kering, yaitu daerah Cordoba. Pendidikan dasar ia dapatkan sebagian dari ibunya, Celia de la Serna. Pada usianya yang begitu muda, Che Guevara telah menjadi seorang pembaca yang lahap. Ia rajin membaca literatur tentang Karl Marx, Engels dan Sigmund Freud yang ada di Ruang makannya. Memasuki sekolah menengah pertama (1941) di Colegio Nacional Deán Funes. Di sekolah ini dia menjadi yang terbaik di bidang sastra dan olahraga. Di rumahnya, Che Guevara tergerak hatinya oleh para pengungsi perang saudara Spanyol, juga oleh rentetan krisis politik yang parah di Argentina. Krisis ini memuncak di bawah pemerintahan diktator fasis kiri, Juan Peron, seorang yang ditentang Guevara. Berbagai peristiwa tertanam kuat dalam diri Guevara, ia melihat sebuah penghinaan dalam pantomim yang dilakonkan di Parlemen dengan demokrasinya. Maka muncul pulalah kebenciannya akan politisi militer beserta kaum kapitalis dan terutama kepada dolar Amerika Serikat ,yang dianggap sebagai lambang kapitalisme.

    Meski demikian dia sama sekali tidak ikut dalam gerakan pelagejar revolusioner. Ia hanya menunjukkan sedikit minat dalam bidang politik di Universitas Buenos Aires, (1947), tempat ia belajar ilmu kedokteran. Pada awalnya ia hanya tertarik memperdalam penyakitnya sendiri, namun kemudian dia tertarik pada penyakit kusta.

    Berkeliling Argentina dengan sepeda motor
    Pada tahun 1949 ia memulai perjalanan panjangnya yang pertama, menjelajahi Argentina Utara hanya dengan bersepeda motor. Itulah untuk pertama kalinya ia bersentuhan langsung dengan orang miskin dan sisa suku Indian. Selanjutnya pada tahun 1951 setelah menempuh ujian-ujian pertengahan semester Che mengadakan perjalanan yang lebih panjang didampingi dengan seorang teman dan untuk nafkah hidupnya dia bekerja sebagai pekerja paruh waktu. Ia mengunjungi Amerika Selatan, Chili di mana dia bertemu Salvador Allende, dan di Peru ia bekerja sama selama beberapa minggu di Leprasorium San Pablo, di Kolombia ia tiba pada saat La Violencia, di Venezuela ia ditangkap tetapi dilepaskan kembali, kemudian ia juga mengunjungi Miami. Che Guevara mengisahkan perjalanannya dalam buku harian yang kemudian diterbitkan dalam sebuah buku dengan judul Buku Harian Sepeda Motor (The Motorcycle Diaries), yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris pada 1996 dan kemudian difilmkan dengan judul yang sama pada 2004. Dia bersama temannya Albert Gustafo Mendes berjuang bersama melawan keserakahan Rusia.

    Perjalanan Che Guevara
    Ia kembali ke daerah asalnya dengan sebuah keyakinan bulat atas satu hal bahwa ia tidak mau menjadi profesional kelas menengah dikarenakan keahliannya sebagai seorang spesialis kulit. Kemudian pada masa revolusi nasional ia pergi ke La Paz, Bolivia di sana ia dituduh sebagai seorang oportunis. Dari situ ia melanjutkan perjalanan ke Guatemala dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan menulis artikel arkeologi tentang reruntuhan Indian Maya dan Inca. Guatemala saat itu diperintah oleh Presiden Jacobo Arbenz Guzman yang seorang sosialis. Meskipun Che telah menjadi penganut paham marxisme dan ahli sosial Lenin ia tak mau bergabung dalam Partai Komunis. Hal ini mengakibatkan hilangnya kesempatan baginya untuk menjadi tenaga medis pemerintah, oleh karena itu ia menjadi miskin. Ia tinggal bersama istrinya, penganut paham Marxis keturunan Indian lulusan pendidikan politik. Orang inilah yang memperkenalkannya kepada Nico Lopez, salah satu Letnan Fidel Castro. Di Guatemala dia melihat kerja agen CIA sebagai agen kontrarevolusi dan semakin yakin bahwa revolusi hanya dapat dilakukan dengan jaminan persenjataan. Ketika Presiden Arbenz turun jabatan, Guevara pindah ke Kota Mexico (September 1954) dan bekerja di Rumah Sakit Umum, diikuti Hilda Gadea dan Nico Lopez. Guevara bertemu dan kagum pada Raúl Castro dan Fidel Castro juga para emigran politik dan ia menyadari bahwa Fidel-lah pemimpin yang ia cari.

    Ia bergabung dengan pengikut Castro di rumah-rumah petani tempat para pejuang revolusi Kuba dilatih perang gerilya secara keras dan profesional oleh kapten tentara Republik Spanyol Alberto Bayo, seorang pengarang "Ciento cincuenta preguntas a un guerilleo" (Seratus lima puluh pertanyaan kepada seorang gerilyawan) di Havana, tahun 1959. Bayo tidak hanya mengajarkan pengalaman pribadinya tetapi juga ajaran Mao Ze Dong dan Che (dalam bahasa Italia berarti teman sekamar dan teman dekat) menjadi murid kesayangannya dan menjadi pemimpin di kelas. Latihan perang di tanah pertanian membuat polisi setempat curiga dan Che beserta orang-orang Kuba tersebut ditangkap namun dilepaskan sebulan kemudian.

    Pada bulan Juni 1956 ketika mereka menyerbu Kuba, Che pergi bersama mereka, pada awalnya sebagai dokter namun kemudian sebagai komandan tentara revolusioner Barbutos. Ia yang paling agresif dan pandai dan paling berhasil dari semua pemimpin gerilya dan yang paling bersungguh-sungguh memberikan ajaran Lenin kepada anak buahnya. Ia juga seorang yang berdisiplin kejam yang tidak sungkan-sungkan menembak orang yang ceroboh dan di arena inilah ia mendapatkan reputasi atas kekejamannya yang berdarah dingin dalam eksekusi massa pendukung fanatik presiden yang terguling Batista. Pada saat revolusi dimenangkan, Guevara merupakan orang kedua setelah Fidel Castro dalam pemerintahan baru Kuba dan yang bertanggung jawab menggiring Castro ke dalam komunisme yang menuju komunisme merdeka bukan komunisme ortodoks ala Moskwa yang dianut beberapa teman kuliahnya. Che mengorganisasi dan memimpin "Instituto Nacional de la forma Agraria", yang menyusun hukum agraria yang isinya menyita tanah-tanah milik kaum feodal (tuan tanah), mendirikan Departemen Industri dan ditunjuk sebagai Presiden Bank Nasional Kuba dan menggusur orang orang komunis dari pemerintahan serta pos-pos strategis. Ia bertindak keras melawan dua ekonom Perancis yang beraliran Marxis yang dimintai nasehatnya oleh Fidel Castro dan yang menginginkan Che bertindak lebih perlahan. Che pula yang melawan para penasihat Uni Soviet. Dia mengantarkan perekonomian Kuba begitu cepat ke komunisme total, menggandakan panen dan mendiversifikasikan produksi yang ia hancurkan secara temporer.

    Kunjungan ke Indonesia dan beberapa negara lain
    Pada tahun 1955, Guevara menikahi Hilda Gaeda. Pada 12 Juni 1955 belum genap enam bulan sesudah Revolusi Kuba meraih kemenangan, Castro mengutus Che selama tiga bulan untuk mengunjungi 14 negara Asia, kebanyakan negara peserta Konferensi Asia Afrika di Bandung tahun 1960. Pada rentang tiga bulan inilah Che berkunjung ke Jakarta dan menyempatkan diri ke Borobudur. Setahun kemudian pada 13 Mei 1961, Presiden Soekarno mengunjungi Kuba. Di Bandara Jose Marti, Havana, Soekarno disambut oleh Presiden Kuba Fidel Castro, Che Guevara, dan deretan pejabat Kuba lain. Sekembalinya ke Kuba ia diangkat sebagai Menteri Perindustrian, menandatangani pakta perdagangan (Februari 1960) dengan Uni Soviet yang melepaskan industri gula Kuba pada ketergantungan pasar Amerika. Ini merupakan isyarat akan kegagalannya di Kongo dan Bolivia sebuah aksioma akan sebuah kekeliruan yang tak akan terelakkan. "Tidaklah penting menunggu sampai kondisi yang memungkinkan sebuah revolusi terwujud sebab fokus instruksional dapat mewujudkannya" ucapnya dan dengan ajaran Mao Ze Dong ia percaya bahwa daerah daerah pasti membawa revolusi ke kota yang sebagian besar penduduknya adalah petani. Juga pada saat ini ia menyebarkan filosofi komunisnya (diterbitkan kemudian dalam "The Socialism and Man in Cuba", 12 Maret 1965). Ia meringkas pahamnya menjadi "Manusia dapat sungguh mencapai tingkat kemanusiaan yang sempurna ketika berproduksi tanpa dipaksa oleh kebutuhan fisiknya sehingga ia harus menjual dirinya sebagai barang dagangan".


    Konfrontasi dengan Uni Soviet
    Penentangan resminya terhadap komunis Uni Soviet tampak ketika dalam organisasi untuk Solidaritas Asia Afrika di Aljazair (Februari 1965) menuduh Uni Soviet sebagai kaki tangan imperialisme dengan berdagang tak hanya dengan negara-negara blok komunis dan memberikan bantuan pada negara berkembang sosialis atas pertimbangan pengembaliannya. Ia juga menyerang pemerintahan Soviet atas kebijakan hidup bertetangga dan juga atas Revisionisme. Guevara mengadakan konferensi Tiga Benua untuk merealisasikan program revolusioner, pemberontakan, kerjasama gerilya dari Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Di samping itu setelah terpaksa berhubungan dengan Amerika Serikat, ia sebagai perwakilan Kuba di PBB menyerang negara-negara Amerika Utara atas keserakahan mereka dan imperialisme yang kejam di Amerika Latin.

    Sikap Che yang tidak kenal kompromi pada dua negara kapitalis mendorong negara komunis untuk memaksa Castro memberhentikan Che (1965, bukan secara resmi tetapi secara nyata. Untuk beberapa bulan tempat tinggalnya dirahasiakan dan kematiannya santer diisukan. Ia berada di berbagai Negara Afrika terutama Kongo di mana dia mengadakan survei akan kemungkinan mengubah pemberontakan Kinshasa menjadi sebuah revolusi komunis dengan taktik gerilya Kuba. Ia kembali ke Kuba untuk melatih para sukarelawan untuk proyek ini dan mengirim kekuatan 120 orang Kuba ke Kongo. Anak buahnya bertempur dengan sungguh-sungguh tetapi tidak demikian halnya dengan para pemberontak Kinshasa. Mereka sia-sia saja melawan kekejaman Belgia dan ketika musim gugur 1965 Che meminta Castro untuk menarik mundur saja bantuan Kuba.

    Kematian Che Guevara
    Petualangan revolusioner terakhir Che adalah di Bolivia, karena ia salah memperkirakan potensi negara itu yang mengakibatkan konsekuensi yang buruk. Tertangkapnya Che oleh tentara Bolivia pada 8 Oktober 1967 adalah akhir dari segala usahanya dan hukuman tembak dijatuhkan sehari setelah itu.

    Pada tanggal 12 Juli 1997 jenazahnya dikuburkan kembali dengan upacara kemiliteran di Santa Clara, di provinsi Las Villas, di mana Guevara mengalami kemenangan dalam pertempuran ketika revolusi Kuba.

    Che menjadi legenda. Ia dikenang karena keganasannya, penampilannya yang romantis, gayanya yang menarik, sikapnya yang tak kenal kompromi dan penolakan atas penghormatan berlebihan atas semua reformasi murni dan pengabdiannya untuk kekejaman dan sikapnya yang flamboyan. Ia juga idola para pejuang revolusi dan bahkan kaum muda generasi tahun 1960-1970 atas tindakan revolusi yang berani yang tampak oleh jutaan orang muda sebagai satu-satunya harapan dalam perombakan lingkup borjuis kapitalisme, industri dan komunisme.

    Penghormatan terhadap Che Guevara
    Berbagai tokoh sastra, musik dan seni telah mempersembahkan komposisinya kepada Che Guevara. Penyiar Chili Pablo Neruda mempersembahkan kepadanya puisi Tristeza en la muerte de un héroe (Kesedihan karena kematian seorang pahlawan) dalam karyanya Fin del mundo (Akhir dunia) pada 1969. Pengarang Uruguay, Mario Benedetti menerbitkan pada 1967 serangkaian puisi yang dipersembahkan kepadanya dengan judul A Ras del Sueño (Pada tingkat impian). Penyanyi Carlos Puebla mempersembahkan sebuah lagu Hasta siempre comandante Che Guevara (Untuk selamanya komandan Che Guevara) dan Los Fabulosos Cadillacs, Gallo Rojo (Ayam jantan merah), yang muncul dalam album El León (Singa) pada 1991.