TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Wednesday, February 8, 2017

Biografi Sam Ratulangi (Seri Pahlawan di Uang 2017)


Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi atau lebih dikenal dengan nama Sam Ratulangi (lahir di Tondano, Sulawesi Utara, 5 November 1890 – meninggal di Jakarta, 30 Juni 1949 pada umur 58 tahun) adalah seorang aktivis kemerdekaan Indonesia dari Sulawesi Utara, Indonesia. Ia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia. Sam Ratulangi juga sering disebut-sebut sebagai tokoh multidimensional. Ia dikenal dengan filsafatnya: "Si tou timou tumou tou" yang artinya: manusia baru dapat disebut sebagai manusia, jika sudah dapat memanusiakan manusia.
Sam Ratulangi juga merupakan Gubernur Sulawesi yang pertama. Ia meninggal di Jakarta dalam kedudukan sebagai tawanan musuh pada tanggal 30 Juni 1949 dan dimakamkan di Tondano. Namanya diabadikan dalam nama bandar udara di Manado yaitu Bandara Sam Ratulangi dan Universitas Negeri di Sulawesi Utara yaitu Universitas Sam Ratulangi

Pendidikan

Sam Ratulangi mengawali pendidikannya di Sekolah Dasar Belanda (Europesche Lagere School) di Tondano, lalu ia melanjutkannya di Hoofden School (Sekolah Raja:setingkat SMA), Tondano dan menyelesaikan Sekolah Teknik Koninginlijke Wilhelmina School (saat ini bernama SMK Negeri 1 Jakarta Budi Utomo) bagian mesin, Jakarta pada tahun 1908. Pada tahun 1915, Sam Ratulangi berhasil memperoleh ijazah guru ilmu pasti (Middelbare Acte Wiskunde en Paedagogiek) di Universitas Amsterdam (Universiteit van Amsterdam), Belanda. Pada tahun yang sama, ia melanjutkan studi ke Swiss dan mendapat gelar Doktor der Natur-Philosophie (Dr. Phil.) untuk Ilmu Pasti dan Ilmu Alam di Universitas Zürich tahun 1919.

https://id.wikipedia.org/wiki/Sam_Ratulangi

.

Biografi Frans Kaisiepo (Seri Pahlawan di Uang 2017


Frans Kaisiepo (lahir di Wardo, Biak, Papua, 10 Oktober 1921 – meninggal di Jayapura, Papua, 10 April 1979 pada umur 57 tahun) adalah pahlawan nasional Indonesia dari Papua. Frans terlibat dalam Konferensi Malino tahun 1946 yang membicarakan mengenai pembentukan Republik Indonesia Serikat sebagai wakil dari Papua. Ia mengusulkan nama Irian, kata dalam bahasa Biak yang berarti tempat yang panas. Selain itu, ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Papua antara tahun 1964 -1973. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cendrawasih, Jayapura. Untuk mengenang jasanya, namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara Frans Kaisiepo di Biak Selain itu namanya juga di abadikan di salah satu KRI yaitu KRI Frans Kaisiepo.
Pada tanggal 19 Desember 2016, ia diabadikan dalam uang kertas Rupiah baru pada pecahan Rp. 10.000,-

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Frans_Kaisiepo

Biografi Djoeanda Kartawidjaja (Seri Pahlawan di Uang 2017)


Ir. Raden Haji Djoeanda Kartawidjaja (ejaan baru: Juanda Kartawijaya) lahir di Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911 – meninggal di Jakarta, 7 November 1963 pada umur 52 tahun adalah Perdana Menteri Indonesia ke-10 sekaligus yang terakhir. Ia menjabat dari 9 April 1957 hingga 9 Juli 1959. Setelah itu ia menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Kerja I.
Sumbangannya yang terbesar dalam masa jabatannya adalah Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang menyatakan bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI atau dikenal dengan sebutan sebagai negara kepulauan dalam konvensi hukum laut United Nations Convention on Law of the Sea (UNCLOS).
Namanya diabadikan sebagai nama lapangan terbang di Surabaya, Jawa Timur yaitu Bandara Djuanda atas jasanya dalam memperjuangkan pembangunan lapangan terbang tersebut sehingga dapat terlaksana. Selain itu juga diabadikan untuk nama hutan raya di Bandung yaitu Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, dalam taman ini terdapat Museum dan Monumen Ir. H. Djuanda.
Djuanda wafat di Jakarta 7 November 1963 karena serang jantung dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI No.244/1963 Ir. H. Djuanda Kartawidjaja diangkat sebagai tokoh nasional/pahlawan kemerdekaan nasional.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang kertas rupiah baru NKRI, pecahan Rp. 50.000

Awal Kehidupan dan Pendidikan 

Ir. H. Djuanda dilahirkan di Tasikmalaya, 14 januari 1911, merupakan anak pertama pasangan Raden Kartawidjaja dan Nyi Monat, ayahnya seorang Mantri Guru pada Hollandsch Inlansdsch School (HIS). Pendidikan sekolah dasar diselesaikan di HIS dan kemudian pindah ke sekolah untuk anak orang Eropa Europesche Lagere School (ELS), tamat tahun 1924. Selanjutnya oleh ayahnya dimasukkan ke sekolah menengah khusus orang Eropa yaitu Hoogere Burgerschool te Bandoeng (HBS Bandung, sekarang ditempati SMA Negeri 3 Bandung dan SMA Negeri 5 Bandung) dan lulus tahun 1929. Pada tahun yang sama dia masuk ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS) sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB) di Bandung, mengambil jurusan teknik sipil dan lulus tahun 1933. Semasa mudanya Djuanda hanya aktif dalam organisasi non politik yaitu Paguyuban Pasundan dan anggota Muhamadiyah, dan pernah menjadi pimpinan sekolah Muhamadiyah. Karier selanjutnya dijalaninya sebagai pegawai Departemen Pekerjaan Umum provinsi Jawa Barat, Hindia Belanda sejak tahun 1939.
Ir. H. Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karier dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari TH Bandung (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di TH Bandung dengan gaji lebih besar.
Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Deklarasi Juanda dan Perundingan lainnya

Deklarasi Djuanda yang dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja, deklarasi ini menyatakan kepada dunia bahwa laut Indonesia adalah termasuk laut sekitar, di antara dan di dalam kepulauan Indonesia menjadi satu kesatuan wilayah NKRI.
Isi dari Deklarasi Juanda ini menyatakan:
  1. Bahwa Indonesia menyatakan sebagai negara kepulauan yang mempunyai corak tersendiri
  2. Bahwa sejak dahulu kala kepulauan nusantara ini sudah merupakan satu kesatuan
  3. Ketentuan ordonansi 1939 tentang Ordonansi, dapat memecah belah keutuhan wilayah Indonesia dari deklarasi tersebut mengandung suatu tujuan :
    1. Untuk mewujudkan bentuk wilayah Kesatuan Republik Indonesia yang utuh dan bulat
    2. Untuk menentukan batas-batas wilayah NKRI, sesuai dengan asas negara Kepulauan
    3. Untuk mengatur lalu lintas damai pelayaran yang lebih menjamin keamanan dan keselamatan NKRI

https://id.wikipedia.org/wiki/Djoeanda_Kartawidjaja

Biografi Idham Chalid (Seri Pahlawan di Uang 2017)


Dr. KH. Idham Chalid (lahir di Satui, Kalimantan Selatan, 27 Agustus 1921 – meninggal di Jakarta, 11 Juli 2010 pada umur 88 tahun) adalah salah satu politisi Indonesia yang berpengaruh pada masanya. Ia pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Ia juga pernah menjabat sebagai Ketua MPR dan Ketua DPR. Selain sebagai politikus ia aktif dalam kegiatan keagamaan dan ia pernah menjabat Ketua Tanfidziyah Nahdlatul Ulama pada tahun 1956 -1984.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang kertas rupiah baru, pecahan Rp. 5.000,-

Latar Belakang

Idham Chalid lahir pada tanggal 27 Agustus 1921 di Satui, bagian tenggara Kalimantan Selatan. Ia merupakan anak sulung dari lima bersaudara. Ayahnya H Muhammad Chalid, penghulu asal Amuntai yang sekitar 200 kilometer dari Kota Banjarmasin. Saat usia Idham enam tahun, keluarganya hijrah ke Amuntai dan tinggal di daerah Tangga Ulin, kampung halaman leluhur ayahnya.

Riwayat

Sejak kecil Idham dikenal sangat cerdas dan pemberani. Saat masuk SR ia langsung duduk di kelas dua dan bakat pidatonya mulai terlihat dan terasah. Keahlian berorasi itu kelak menjadi modal utama Idham Chalid dalam meniti karier di jagat politik.
Selepas SR, Idham melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Ar-Rasyidiyyah pada tahun 1922. Idham, yang sedang tumbuh dan gandrung dengan pengetahuan, mendapatkan banyak kesempatan untuk mendalami bahasa Arab, bahasa Inggris, dan ilmu pengetahuan umum. Kemudian Idham melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Gontor yang terletak di Ponorogo, Jawa Timur. Kesempatan belajar di Gontor juga dimanfaatkan Idham untuk memperdalam bahasa Jepang, Jerman, dan Prancis.
Tamat dari Gontor, 1943, Idham melanjutkan pendidikan di Jakarta. Di ibukota, kefasihan Idham dalam berbahasa Jepang membuat penjajah Dai-Nipon sangat kagum. Pihak Jepang juga sering memintanya menjadi penerjemah dalam beberapa pertemuan dengan alim ulama. Dalam pertemuan-pertemuan itulah Idham mulai akrab dengan tokoh-tokoh utama NU.
Ketika Jepang kalah perang dan Sekutu masuk Indonesia, Idham Chalid bergabung ke dalam badan-badan perjuangan. Menjelang kemerdekaan, ia aktif dalam Panitia Kemerdekaan Indonesia Daerah di kota Amuntai. Setelah Proklamasi Kemerdekaan, ia bergabung dengan Persatuan Rakyat Indonesia, partai lokal, kemudian pindah ke Serikat Muslim Indonesia.
Tahun 1947 ia bergabung dengan Sentral Organisasi Pemberontak Indonesia Kalimantan, yang dipimpin Hasan Basry yang juga muridnya saat di Gontor. Usai perang kemerdekaan, Idham diangkat menjadi anggota Parlemen Sementara RI mewakili Kalimantan. Tahun 1950 ia terpilih lagi menjadi anggota DPRS mewakili Masyumi. Ketika NU memisahkan diri dari Masyumi, tahun 1952, Idham memilih bergabung dengan Partai Nahdlatul Ulama dan terlibat aktif dalam konsolidasi internal ke daerah-daerah.
Idham memulai kariernya di NU dengan aktif di GP Ansor. Tahun 1952 ia diangkat sebagai ketua PB Ma’arif, organisasi sayap NU yang bergerak di bidang pendidikan. Pada tahun yang sama ia juga diangkat menjadi sekretaris jenderal partai, dan dua tahun kemudian menjadi wakil ketua. Selama masa kampanye Pemilu 1955, Idham memegang peran penting sebagai ketua Lajnah Pemilihan Umum NU.
Sepanjang tahun 1952-1955, ia, yang juga duduk dalam Majelis Pertimbangan Politik PBNU, sering mendampingi Rais Am K.H. Abdul Wahab Hasbullah berkeliling ke seluruh cabang NU di Nusantara.
Dalam Pemilu 1955, NU berhasil meraih peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi. Karena perolehan suara yang cukup besar dalam Pemilu 1955, pada pembentukan kabinet tahun berikutnya, Kabinet Ali Sastroamidjojo II, NU mendapat jatah lima menteri, termasuk satu kursi wakil perdana menteri, yang oleh PBNU diserahkan kepada Idham Chalid. Pada Muktamar NU ke-21 di Medan bulan Desember tahun yang sama, Idham terpilih menjadi ketua umum PBNU. Saat dipercaya menjadi orang nomor satu NU ia masih berusia 34 tahun. Jabatan tersebut dijabatya hingga tahun 1984 dan menjadikannya orang terlama yang menjadi ketua umum PBNU selama 28 tahun.
Kabinet Ali Sastroamijoyo hanya bertahan setahun, berganti dengan Kabinet Djuanda. Namun Idham Chalid tetap bertahan di posisi wakil perdana menteri sampai Dekret Presiden tahun 1959. Idham kemudian ditarik menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, dan setahun kemudian menjadi wakil ketua MPRS.
Pertengahan tahun 1966 Orde Lama tumbang dan tampillah Orde Baru. Namun posisi Idham di pemerintahan tidak ikut tumbang. Dalam Kabinet Ampera I, Kabinet Ampera II dan Kabinet Pembangunan I yang dibentuk Soeharto, ia dipercaya menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat. Kemudian, di akhir tahun 1970 dia juga merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial untuk melanjutkan tugas dari mendiang A.M. Tambunan yang telah meninggal dunia pada 12 Desember 1970 sampai dengan terpilihnya pengganti yang tetap sampai akhir masa bakti Kabinet Pembangunan I pada tahun 1973.
Nahdlatul Ulama di bawah kepemimpinan Idham kembali mengulang sukses dalam Pemilu 1971. Namun setelah itu pemerintah melebur seluruh partai menjadi hanya tiga partai: Golkar, PDI, dan PPP dan NU tergabung di dalam PPP.
Idham Chalid menjabat presiden PPP, yang dijabatnya sampai tahun 1989. Ia juga terpilih menjadi ketua MPR/DPR RI sampai tahun 1977. Jabatan terakhir yang diemban Idham Chalid adalah ketua Dewan Pertimbangan Agung sampai tahun 1983.

Pahlawan nasional

Idham Chalid diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia, bersama dengan 6 tokoh lain, berdasarkan Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Idham_Chalid

Biografi M. H. Thamrin (Seri Pahlawan di Uang 2017)

Mhthamrin-cropped.jpg


Kehidupan awal

Thamrin lahir di Weltevreden, Batavia (sekarang Jakarta), Hindia Belanda, pada 16 Februari 1894. Ayahnya adalah seorang Belanda dengan ibu orang Betawi. Sejak kecil ia dirawat oleh pamannya dari pihak ibu karena ayahnya meninggal sehingga ia tidak menyandang nama Belanda. Sementara itu kakeknya, Ort, seorang Inggris, merupakan pemilik hotel di bilangan Petojo, menikah dengan seorang Betawi yang bernama Noeraini.
Ayahnya, Tabri Thamrin, adalah seorang wedana dibawah gubernur jenderal Johan Cornelis van der Wijck. Setelah lulus dari Gymnasium Koning Willem III School te Batavia, Thamrin mengambil beberapa jabatan sebelum bekerja di perusahaan perkapalan Koninklijke Paketvaart-Maatschappij.
Munculnya Muhammad Husni Thamrin sebagai tokoh pergerakan yang berkaliber nasional tidaklah tidak mudah. Untuk mencapai tingkat itu ia memulai dari bawah, dari tingkat lokal. Dia memulai geraknya sebagai seorang tokoh (lokal) Betawi. Sebagaimana telah disinggung  pada  bab  terdahulu, Muhammad Husni  Thamrin sejak muda telah memikirkan nasib masyarakat Betawi yang sehari-hari dilihatnya. Sebagai anak wedana, dia tidaklah terpisah dari rakyat "Jelata". Malah dia sangat dekat dengan mereka. Sebagaimana anak-anak sekelilingnya, yang terdiri dari anak-anak rakyat  jelata, dia pun tidak canggung-canggung untuk mandi-mandi bersama di Sungai Ciliwung. Dia tidak canggung-canggung  untuk tidur bersama mereka sebagaimana yang pernah disaksikan oleh ayahnya sendiri. Kelincahannya sebagai pemimpin agaknya telah menampak sejak masih  usia "remaja".

Karier

Pada tahun 1929 telah terjadi suatu insiden penting di dalam Gemeenteraad, yaitu yang menyangkut pengisian lowongan jabatan wakil wali kota Betawi (Batavia). Tindakan pemerintah kolonial ketika  itu memang sangat tidak bijaksana karena ternyata lowongan jabatan itu  diberikan kepada orang Belanda yang kurang berpengalaman, sedang untuk jabatan itu ada orang Betawi yang jauh lebih berpengalaman dan pantas untuk jabatan itu. Tindakan pemerintah ini mendapat reaksi keras dari fraksi  nasional, bahkan mereka mengambil langkah melakukan pemogokan. Ternyata usaha  mereka berhasil dan pada  akhirnya Muhammad Husni Thamrin diangkat sebagai wakil wali kota  Batavia.
Dua tahun sebelum kejadian di atas, Muhammad Husni Thamrin memang telah melangkahkan kakinya ke medan perjuangan yang lebih berat karena dia ditunjuk sebagai anggota lembaga yang lebih luas jangkauannya dan lebih  tinggi  martabatnya. Pada tahun  1927 ditunjuk sebagai anggota Volksraad untuk mengisi lowongan yang dinyatakan kosong oleh Gubernur Jenderal. Pada mulanya kedudukan itu ditawarkan kepada HOS. Cokroaminoto tetapi ditolak. Kemudian ditawarkan lagi kepada Dr. Sutomo tetapi juga dia  menolak. Dengan penolakan kedua tokoh besar ini, maka dibentuklah suatu panitia, yaitu panitia Dr. Sarjito yang akan memilih seorang yang dianggap pantas untuk menduduki kursi Volksraad yang lowong. Panitia Dr. Sarjito akhirnya menjatuhkan pilihannya kepada Muhammad Husni Tharnrin. Alasan yang dikemukakannya ialah bahwa Muhammad Husni Thramrin cukup pantas menduduki kursi itu mengingat pengalamannya sebagai anggota Gemeenteraad.
Pada tahun pengangkatannya sebagai anggota Volksraad, keadaan di Hindia Belanda mengalami perubahan yang sangat penting yakni adanya sikap pemerintah kolonial yang keras, lebih bertangan besi. Ini adalah salah satu akibat yang paling "buruk" yang lahir dari terjadinya  pemberontakan 1926 dan 1927. Akan tetapi di lain pihak ketika memasuki tahun 1927 itu pula, langkah pergerakan nasional kita juga mengalami perubahan sebagai akibat dari didirikannya PNI dan munculnya Bung Karno sebagai pemimpin utamanya.
Ia dikenal sebagai salah satu tokoh Betawi (dari organisasi Kaoem Betawi) yang pertama kali menjadi anggota Volksraad ("Dewan Rakyat") di Hindia Belanda, mewakili kelompok Inlanders ("pribumi"). Thamrin juga salah satu tokoh penting dalam dunia sepak bola Hindia Belanda karena pernah menyumbangkan dana sebesar 2.000 Gulden pada tahun 1932 untuk mendirikan lapangan sepak bola khusus untuk rakyat Hindia Belanda pribumi yang pertama kali di daerah Petojo, Batavia.
Pada tanggal 11 Januari 1941 Muhammad Husni Thamrin wafat setelah sakit beberapa waktu lamanya. Akan tetapi beberapa saat sebelum kewafatannya, pemerintah kolonial telah melakukan tindakan "sangat kasar" terhadap dirinya. Dalam keadaan sakit, ia harus menghadapi perlakuan kasar yaitu rumahnya digeledah oleh polisi-polisi rahasia Belanda (PID). Ia memprotesnya tetapi tidak diindahkan. Sejak itu rumahnya dijaga ketat oleh PID dan tak seorangpun dari rumahnya yang diperbolehkan meninggalkan rumah tanpa seizin polisi, juga termasuk anak perempuannya sekalipun utntuk pergi ke sekolah. Tindakan  polisi Belanda itu tentulah sangat menekan perasaannya dan menambah parah sakitnya. Wafatnya Muhammad Husni Thamrin tentulah sangat besar artinya bagi bangsa Indonesia. Bangsa  Indonesia telah kehilangan salah seorang pemimpinnya yang cerdas dan berwibawa
Menurut laporan resmi, ia dinyatakan bunuh diri namun ada dugaan ia dibunuh. Jenazahnya dimakamkan di TPU Karet, Jakarta. Di saat pemakamannya, lebih dari 10.000 pelayat mengantarnya yang kemudian berdemonstrasi menuntuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dari Belanda.
Namanya diabadikan sebagai salah satu jalan protokol di Jakarta dan proyek perbaikan kampung besar-besaran di Jakarta ("Proyek MHT") pada tahun 1970-an .
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikan beliau di pecahan uang kertas rupiah baru, pecahan Rp. 2.000,- 

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Husni_Thamrin

Biografi Cut Meutia (Seri Pahlawan di Uang 2017)

Cut Nyak Meutia.jpg

Tjoet Nyak Meutia (Keureutoe, Pirak, Aceh Utara, 1870 – Alue Kurieng, Aceh, 24 Oktober 1910) adalah pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh. Ia dimakamkan di Alue Kurieng, Aceh. Ia menjadi pahlawan nasional Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 107/1964 pada tahun 1964.
Awalnya Tjoet Meutia melakukan perlawanan terhadap Belanda bersama suaminya Teuku Muhammad atau Teuku Tjik Tunong. Namun pada bulan Maret 1905, Tjik Tunong berhasil ditangkap Belanda dan dihukum mati di tepi pantai Lhokseumawe. Sebelum meninggal, Teuku Tjik Tunong berpesan kepada sahabatnya Pang Nagroe agar mau menikahi istrinya dan merawat anaknya Teuku Raja Sabi.
Tjoet Meutia kemudian menikah dengan Pang Nagroe sesuai wasiat suaminya dan bergabung dengan pasukan lainnya dibawah pimpinan Teuku Muda Gantoe. Pada suatu pertempuran dengan Korps Marechausée di Paya Cicem, Tjoet Meutia dan para wanita melarikan diri ke dalam hutan. Pang Nagroe sendiri terus melakukan perlawanan hingga akhirnya tewas pada tanggal 26 September 1910.
Tjoet Meutia kemudian bangkit dan terus melakukan perlawanan bersama sisa-sisa pasukannya. Ia menyerang dan merampas pos-pos kolonial sambil bergerak menuju Gayo melewati hutan belantara. Namun pada tanggal 24 Oktober 1910, Tjoet Meutia bersama pasukkannya bentrok dengan Marechausée di Alue Kurieng. Dalam pertempuran itu Tjoet Njak Meutia gugur.
Pada tanggal 19 Desember 2016, atas jasa jasanya, Pemerintah Republik Indonesia, mengabadikannya dalam pecahan uang kertas rupiah baru Republik Indonesia, pecahan Rp1.000.

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Cut_Nyak_Meutia

Biografi I Gusti Ketut Pudja (Seri Pahlawan di Uang 2017)

Image result for ketut pudja
I Gusti Ketut Pudja Adalah putra daripasangan I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna Kusuma yang lahir pada tanggal 19 Mei 1908. I Gusti Ketut Pudja terlahir dari kalangan bangsawan yang membuatnya tidak begitu sulit untuk mendapatkan pendidikan. Hingga pada tahun 1934 ketia dia berusia 26 tahun berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten dari Rechts Hoge School di Jakarta. Pudja akhirnya bekerja di sebuah kantor residen Bali dan Lombok di Singaraja.

Kiprahnya dalam politik nasional mulai terlihat ketika pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau PPKI pada tanggal 7 Agustus 1945. Dengan diketua oleh Ir. Soekarno, Pudja terpilih menjadi salah satu anggota PPKI mewakili sunda kecil (saat ini Bali dan Nusa tenggara).

Nama I Gusti Ketut Pudja juga terlibat dalam perumusan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda pada tanggal 16 Agustus 1945 hingga esok dinihari. Kemudian esoknya Pudja juga menjadi saksi sejarah terpenting bangsa Indonesia yang terjadi di jalan pegangsaan timur no 56 Jakarta atau pada rumah Soekarno.

Setelah proklamasi kemerdekaan dilangsungkan sehari kemudia PPKI mengadakan rapat yang membahas tentang dasar negara. Untuk itu dibentuklah panitia 9 yang terdiri dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, A.A Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H.A Salim, Achmad Subarjo, Wahid Hasjim dan Muhammad Yamin.

Pada tanggal 22 Juni 1945 terbentuklah piagam jakarta charter yang menghasilkan 5 butir cikal bakal Pancasila, yakni:



  • Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  • Kemanusiaan yang adil dan beradab
  • Persatuan Indonesia
  • Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan perwakilan
  • keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.

Sebagian masyarakat Indonesia bagian timur termasuk I Gusti Ketut Pudja tidak setuju dengan bunyi sila pertama. Kemudia ia menyarankan agar bunyi butir pertama diganti menjadi Ketuhanan yang Maha Esa. Akhirnya butir pertama diubah setelah Moh. Hatta berkonsultasi dengan Teuku Muhammad Hassan, Kasman Singodimejo dan Ki Bagus Hadikusumo. Bersamaan dengan ditetapkannya rancangan pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 pada sidang PPKI 
pertama tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara Indonesia .

Selanjutnya pada tanggal 22 Agustus 1945 Presiden Soekarno mengangkat Pudja menjadi Gubernur Sunda Kecil atau Bali yang pada saat itu masih disebut Wakil Pemimpin Besar Bangsa Indonesia Sunda Kecil. Tugas pertamanya sebagai gubernur adalah menyebarluaskan proklamasi kemerdekaan dan menjelaskan konsep dan struktur pemerintahan pada masyarakat hingga ke plosok.

Selain itu Pudja juga memerintahkan para pemuda untuk melucuti Jepang yang pada saat itu sebagian masih berada di Bali. Namun pada akhir tahun 1945 Pudja sempat ditangkap oleh tentara Jepang.

Jabatan lain yang pernah diemban oleh I Gusti Ketut Pudja adalah sebagai pejabat di Departemen Dalam Negeri dan sempat menjadi Ketua BPK hingga masuk ke masa purna bakti di tahun 1968.

I Gusti Ketut Pudja meninggal pada usia 68 tahun atau tepatnya pada tanggal 4 Mei 1977. Atas jasanya Presiden Soeharto pada saat itu menganugerahkan penghargaan Bintang Mahaputera Utama kepada Pudja dan akhirnya pada tahun 2001 ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia sebagai Pahlawan Nasional berdasarkan keputusan Presiden RI Nomor 113/TK/2011.


sumber : http://www.sejarawan.com/210-biografi-gusti-ketut-pudja.html

Biografi T. B. Simatupang (Seri Pahlawan di Uang 2017)


Berkas:Djenderal Major TB Simatupang.png
Letnan Jenderal TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang atau yang lebih dikenal dengan nama T.B. Simatupang (lahir di Sidikalang, Sumatera Utara, 28 Januari 1920 – meninggal di Jakarta, 1 Januari 1990 pada umur 69 tahun) adalah seorang tokoh militer dan Gereja di Indonesia.
Simatupang pernah ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Kepala Staf Angkatan Perang Republik Indonesia (KASAP) setelah Panglima Besar Jenderal Soedirman wafat pada tahun 1950. Ia menjadi KASAP hingga tahun 1953. Jabatan KASAP secara hirarki organisasi pada waktu itu berada di atas Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara dan berada di bawah tanggung jawab Menteri Pertahanan.
Simatupang meninggal dunia pada tahun 1990 di Jakarta dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Pada tanggal 8 November 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada TB Simatupang. Saat ini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan besar di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Awal kehidupan

Bonar, nama kecil Simatupang, dilahirkan di Sidikalang, sekarang jadi ibukota Kabupaten Dairi, Provinsi Sumatera Utara, sebagai anak kedua dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang ambtenaar bernama Sutan Mangaraja Soaduan Simatupang dan ibunya bernama Mina Boru Sibutar. Ayahnya bekerja sebagai pegawai kantor pos dan telegraf (PTT : Post, Telefoon en Telegraaf) yang sering berpindah tempat tugas, mulai dari Sidikalang pindah ke Siborong-borong, kemudian ke Pematang Siantar.
Bonar menempuh pendidikannya di HIS Pematangsiantar dan lulus pada 1934. Ia melanjutkan sekolahnya di MULO Dr. Nomensen di Tarutung pada tahun 1937, lalu ke AMS di Salemba, Batavia dan selesai pada 1940. Saat bersekolah di Batavia, Bonar terbilang siswa yang pintar, termasuk fasih berbahasa Belanda.
Saat belajar sejarah, Bonar pernah mendebat guru sejarahnya hingga dia diusir, karena gurunya dianggap terlalu merendahkan kemampuan bangsa Indonesia. Gurunya tersebut, Meneer Haantjes, menyatakan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin bersatu mencapai kemerdekaan karena perbedaan besar di antara suku-suku, dan bahwa penduduk “Hindia Belanda” tidak mungkin membangun tentara yang modern untuk mengalahkan Belanda karena fisiknya yang pendek tidak mengizinkan untuk tentara yang baik. Bonar menyatakan bahwa Meneer Haantjes telah menyebarkan mitos yang ketidakbenarannya akan dibuktikan sejarah selanjutnya. Direktur sekolah, Meneer de Haan, seorang Calvinis yang taat, memberikan nasehat padanya agar dalam mengemukakan pendapat diusahakan tidak menyakiti hati orang lain. Semula Bonar merasa nasihat itu adalah nasihat orang yang berjiwa kolonial. Namun di kemudian hari, Simatupang merasa andaikan dia menerima nasihat direkturnya lebih sungguh, mungkin dia tidak akan mengalami kesulitan dalam kehidupannya selanjutnya.
Pada bulan Mei 1940, Negeri Belanda diinvasi oleh pasukan Nazi Jerman, Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL, Koninlijke Leger) dibubarkan dan senjatanya dilucuti, demikian pula akademi militer kerajaan (KMA: Koninlijke Militaire Academie) di Breda dan diungsikan ke Bandung, Hindia Belanda. Bonar yang baru usai menyelesaikan pendidikan menengahnya di AMS Batavia, memutuskan mengikuti ujian masuk KMA untuk membuktikan ucapan gurunya tentang mitos orang Indonesia tidak akan pernah merdeka dan tidak bisa membangun angkatan perang tidak benar.
Bonar lulus KMA pada tahun 1942 dengan mendapatkan gelar taruna mahkota dengan mahkota perak karena dinilai berprestasi khususnya di bidang teori. Rekan seangkatannya di KMA antara lain A.H. Nasution dan Lex Kawilarang. Pada masa itu ,menurut Nasution, Bonar sudah membaca dan mendalami buku "Tentang Perang" karya Carl von Clausewitz. Dalam pertemuan alumni, biasanya Bonar yang paling banyak bicara dan memberikan analisa-analisa. Bahkan menurut Kawilarang, seandainya Bonar orang Belanda, dia pasti akan mendapatkan mahkota emas. Tak lama kemudian, balatentara Kekaisaran Jepang menginvasi Hindia Belanda hingga menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942.
Bonar menikah dengan Sumarti Budiardjo yang merupakan adik dari teman seperjuangannya Ali Budiardjo. Pasangan ini dikaruniai empat orang anak, yaitu: Tigor, Toga, Siadji, dan Ida Apulia. Salah seorang di antaranya meninggal. Ia dikarunia empat cucu, yaitu: Satria Mula Habonaran, Larasati Dameria, dan Kezia Sekarsari, serta Hizkia Tuah Badia.

Karier militer

Karier militer Bonar diawali saat diterima menjadi kadet di KMA, Bandung pada tahun 1940. Setelah menempuh pendidikan selama 2 tahun, Bonar pun lulus sebagai perwira muda. Namun belum sempat ditugaskan di KNIL (Koninlijke Nederlands Indische Leger), pasukan Jepang keburu merebut kekuasaan di Hindia Belanda dan KNIL pun dibubarkan dan senjatanya dilucuti. Bonar dan beberapa temannya sesama perwira pribumi direkrut Jepang dan ditempatkan di Resimen Pertama di Jakarta dengan pangkat Calon Perwira.
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, Bonar bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), dan kemudian turut bergerilya bersama Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman melawan pasukan Belanda yang berniat menguasai kembali bekas koloninya tersebut. Selama perang kemerdekaan Indonesia tersebut, ia pun diangkat menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (WAKASAP) RI pada tahun 1948 hingga 1949. Dalam kedudukannya tersebut, Bonar ikut mewakili TNI dalam delegasi Republik Indonesia menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Misi utama mereka adalah mendesak Belanda menghapus KNIL dan menjadikan TNI sebagai inti kekuatan tentara Indonesia. Ketika Jenderal Soedirman wafat pada tahun 1950, Bonar dalam usia yang sangat muda (29 tahun) diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang RI (KSAP) dengan pangkat Mayor Jenderal hingga tahun 1953.

Peristiwa 17 Oktober 1952

Selama masa jabatannya tersebut, terjadi peristiwa 17 Oktober 1952, di mana terjadi gelombang demonstrasi di Jakarta yang menuntut pembubaran parlemen. Moncong-moncong meriam dihadapkan oleh militer menghadap ke Istana Negara, suatu upaya militer untuk menekan Presiden Soekarno. Terbersit kabar juga bahwa Kolonel Bambang Soepeno menemui Presiden Soekarno menyampaikan tekad para panglima Divisi untuk meminta agar Kolonel Abdul Haris Nasution dicopot dari jabatannya sebagai KSAD (Kepala Staf TNI Angkatan Darat). Bonar selaku KSAP bersama Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono IX dan KSAD Kolonel A.H. Nasution menemui Presiden untuk mengkonfirmasi kebenaran berita tersebut dan sikap presiden mengenai usulan Bambang Soepeno. Presiden Soekarno menyatakan bila itu memang benar dia mempersilahkan diganti. Tanpa ragu Bonar menyatakan bahwa Presiden telah melakukan kesalahan yang sangat besar dan mendasar. Sistem di Angkatan Bersenjata akan terganggu bila panglima divisi bisa meminta KSAD untuk dicopot, dan seterusnya, Panglima Divisi bisa dicopot bila ada pengaduan dari bawahannya. Bonar tegas menyatakan kepada Presiden, selama dia menjabat KSAP, dia tidak akan membiarkan itu terjadi.

Akhir Karier Militer

Presiden Soekarno menghapuskan jabatan KSAP pada tahun 1953. kemudian pada tahun 1954-1959, Bonar diangkat sebagai Penasihat Militer di Departemen Pertahanan RI. Setelah non aktif dari kemiliteran, Bonar menyibukkan diri dengan menulis buku dan mengajar di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, sekarang Seskoad, dan Akademi Hukum Milter/AHM). Dia sangat menyadari waktunya di militer akan segera berakhir. Untuk itu ada hal yang ingin dilakukannya sehingga perannya di militer bisa berlanjut, yaitu dengan menyiapkan Doktrin dan Kader melalui tulisan dan membekali perwira-perwira di sekolah militer. Akhirnya dia resmi dipensiunkan dari dinas militer pada tanggal 21 Juli 1959 dalam usia 39 tahun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.

Aktivitas di luar militer

Simatupang pernah mengatakan bahwa ada tiga Karl yang memengaruhi hidup dan pikirannya, yaitu Carl von Clausewitz, seorang ahli strategi kemiliteran, Karl Marx dan Karl Barth, teolog Protestan terkemuka abad ke-20. Seluruh kehidupan Simatupang mencerminkan peranan ketiga pemikir besar itu. Setelah melepaskan tugas-tugas aktifnya sebagai militer, Simatupang terjun ke pelayanan Gereja dan aktif menyumbangkan pemikiran-pemikirannya tentang peranan Gereja di dalam masyarakat.
Dalam aktivitas gerejawinya itu, ia pernah menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja-gereja Asia, Ketua Dewan Gereja-gereja se-Dunia, dll.
Di lingkungan kemasyarakatan, Simatupang menjabat sebagai Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM). Ia bahkan merupakan salah satu pencetus lembaga pendidikan ini, ketika di Indonesia belum banyak orang yang memikirkannya. Simatupang percaya bahwa Indonesia membutuhkan pemimpin-pemimpin yang menguasai ilmu manajemen di dalam perusahaan maupun di tengah masyarakat.
Pada 1969 Simatupang dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat.

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/T.B._Simatupang

Biografi Tjipto Mangoenkoesoemo (Seri Pahlawan di Uang 2017)

Cipto mangunkusumo.jpg

Perjalanan hidup

Cipto Mangunkusumo dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecangaan, Kabupaten Jepara. Ia adalah putera tertua dari Mangunkusumo, seorang priyayi rendahan dalam struktur masyarakat Jawa. Karier Mangunkusumo diawali sebagai guru bahasa Melayu di sebuah sekolah dasar di Ambarawa, kemudian menjadi kepala sekolah pada sebuah sekolah dasar di Semarang dan selanjutnya menjadi pembantu administrasi pada Dewan Kota di Semarang. Sementara, sang ibu adalah keturunan dari tuan tanah di Mayong, Jepara.
Meskipun keluarganya tidak termasuk golongan priyayi birokratis yang tinggi kedudukan sosialnya, Mangunkusumo berhasil menyekolahkan anak-anaknya pada jenjang yang tinggi. Cipto beserta adik-adiknya yaitu Gunawan, Budiardjo, dan Syamsul Ma’arif bersekolah di STOVIA, sementara Darmawan, adiknya bahkan berhasil memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda untuk mempelajari ilmu kimia industri di Universitas Delft, Belanda. Si bungsu, Sujitno terdaftar sebagai mahasiswa STIH Jakarta.

Pendidikan

Ketika menempuh pendidikan di STOVIA, Cipto mulai memperlihatkan sikap yang berbeda dari teman-temannya. Teman-teman dan guru-gurunya menilai Cipto sebagai pribadi yang jujur, berpikiran tajam dan rajin. “Een begaafd leerling”, atau murid yang berbakat adalah julukan yang diberikan oleh gurunya kepada Cipto. Di STOVIA, Cipto juga mengalami perpecahan antara dirinya dan lingkungan sekolahnya. Berbeda dengan teman-temannya yang suka pesta dan bermain, Cipto lebih suka menghadiri ceramah-ceramah, baca buku dan bermain catur. Penampilannya pada acara khusus, tergolong eksentrik, ia senantiasa memakai surjan dengan bahan lurik dan merokok kemenyan. Ketidakpuasan terhadap lingkungan sekelilingnya, senantiasa menjadi topik pidatonya. Baginya, STOVIA adalah tempat untuk menemukan dirinya, dalam hal kebebasan berpikir, lepas dari tradisi keluarga yang kuat, dan berkenalan dengan lingkungan baru yang diskriminatif.
Beberapa Peraturan-peraturan di Stovia menimbulkan ketidakpuasan pada dirinya, seperti semua mahasiswa Jawa dan Sumatra yang bukan Kristen diharuskan memakai pakaian tadisional bila sedang berada di sekolah. Bagi Cipto, peraturan berpakaian di STOVIA merupakan perwujudan politik kolonial yang arogan dan melestarikan feodalisme. Pakaian Barat hanya boleh dipakai dalam hierarki administrasi kolonial, yaitu oleh pribumi yang berpangkat bupati. Masyarakat pribumi dari wedana ke bawah dan yang tidak bekerja pada pemerintahan, dilarang memakai pakaian Barat. Akibat dari kebiasaan ini, rakyat cenderung untuk tidak menghargai dan menghormati masyarakat pribumi yang memakai pakaian tradisional.
Keadaan ini senantiasa digambarkannya melalui "De Locomotief", surat harian kolonial yang sangat berkembang pada waktu itu, di samping Bataviaasch Nieuwsblad. Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Tulisannya berisi kritikan dan menentang kondisi keadaan masyarakat yang dianggapnya tidak sehat. Cipto sering mengkritik hubungan feodal maupun kolonial yang dianggapnya sebagai sumber penderitaan rakyat. Rakyat umumnya terbatas ruang gerak dan aktivitasnya, sebab banyak kesempatan yang tertutup bagi mereka.
Kondisi kolonial lainnya yang ditentang oleh Cipto adalah diskriminasi ras. Sebagai contoh, orang Eropa menerima gaji yang lebih tinggi dari orang pribumi untuk suatu pekerjaan yang sama. Diskriminasi membawa perbedaan dalam berbagai bidang misalnya, peradilan, perbedaan pajak, kewajiban kerja rodi dan kerja desa. Dalam bidang pemerintahan, politik, ekonomi dan sosial, bangsa Indonesia menghadapi garis batas warna. Tidak semua jabatan negeri terbuka bagi bangsa Indonesia. Demikian juga dalam perdagangan, bangsa Indonesia tidak mendapat kesempatan berdagang secara besar-besaran, tidak sembarang anak Indonesia dapat bersekolah di sekolah Eropa.
Tulisan-tulisannya di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinasnya yang tidak sedikit.
Selain dalam bentuk tulisan, Cipto juga sering melancarkan protes dengan bertingkah melawan arus. Misalnya larangan memasuki sociteit bagi bangsa Indonesia tidak diindahkannya. Dengan pakaian khas yakni kain batik dan jas lurik, ia masuk ke sebuah sociteit yang penuh dengan orang-orang Eropa. Cipto kemudian duduk dengan kaki dijulurkan, hal itu mengundang kegaduhan di sociteit. Ketika seorang opas (penjaga) mencoba mengusir Cipto untuk keluar dari gedung, dengan lantangnya, Cipto memaki-maki sang opas serta orang-orang berada di dekatnya dengan mempergunakan bahasa Belanda. Kewibawaan Cipto dan penggunaan bahasa Belanda yang fasih membuat orang-orang Eropa terperangah.

Budi Utomo

Terbentuknya Budi Utomo pada 20 Mei 1908 disambut baik Cipto sebagai bentuk kesadaran pribumi akan dirinya. Pada kongres pertama Budi Utomo di Yogyakarta, jati diri politik Cipto semakin tampak. Walaupun kongres diadakan untuk memajukan perkembangan yang serasi bagi orang Jawa, namun pada kenyataannya terjadi keretakan antara kaum konservatif dan kaum progesif yang diwakili oleh golongan muda. Keretakan ini sangat ironis mengawali suatu perpecahan ideologi yang terbuka bagi orang Jawa.
Dalam kongres yang pertama terjadi perpecahan antara Cipto dan Radjiman Wedjodiningrat. Cipto menginginkan Budi Utomo sebagai organisasi politik yang harus bergerak secara demokratis dan terbuka bagi semua rakyat Indonesia. Organisasi ini harus menjadi pimpinan bagi rakyat dan jangan mencari hubungan dengan atasan, bupati dan pegawai tinggi lainnya. Sedangkan Radjiman ingin menjadikan Budi Utomo sebagai suatu gerakan kebudayaan yang bersifat Jawa.
Cipto tidak menolak kebudayaan Jawa, tetapi yang ia tolak adalah kebudayaan keraton yang feodalis. Cipto mengemukakan bahwa sebelum persoalan kebudayaan dapat dipecahkan, terlebih dahulu diselesaikan masalah politik. Pernyataan-pernyataan Cipto bagi zamannya dianggap radikal. Gagasan-gagasan Cipto menunjukkan rasionalitasnya yang tinggi, serta analisis yang tajam dengan jangkauan masa depan, belum mendapat tanggapan luas. Untuk membuka jalan bagi timbulnya persatuan di antara seluruh rakyat di Hindia Belanda yang mempunyai nasib sama di bawah kekuasaan asing tidak dapat dicapai dengan menganjurkan kebangkitan kehidupan Jawa. Sumber keterbelakangan rakyat adalah penjajahan dan feodalisme.
Meskipun diangkat sebagai pengurus Budi Utomo, Cipto akhirnya mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya. Sepeninggal Cipto tidak ada lagi perdebatan dalam Budi Utomo akan tetapi Budi Utomo kehilangan kekuatan progesif nya.

Indische Partij


Ki Hadjar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo (Tiga Serangkai)
Setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo, Cipto membuka praktik dokter di Solo. Meskipun demikian, Cipto tidak meninggalkan dunia politik sama sekali. Di sela-sela kesibukannya melayani pasien, Cipto mendirikan Raden Ajeng Kartini Klub yang bertujuan memperbaiki nasib rakyat. Perhatiannya pada politik semakin menjadi-jadi setelah dia bertemu dengan Douwes Dekker yang tengah berpropaganda untuk mendirikan Indische Partij. Cipto melihat Douwes Dekker sebagai kawan seperjuangan. Kerjasama dengan Douwes Dekker telah memberinya kesempatan untuk melaksanakan cita-citanya, yakni gerakan politik bagi seluruh rakyat Hindia Belanda. Bagi Cipto Indische Partij merupakan upaya mulia mewakili kepentingan-kepentingan semua penduduk Hindia Belanda, tidak memandang suku, golongan, dan agama.
Pada tahun 1912 Cipto pindah dari Solo ke Bandung, dengan dalih agar dekat dengan Douwes Dekker. Ia kemudian menjadi anggota redaksi penerbitan harian de Express dan majalah het Tijdschrijft. Perkenalan antara Cipto dan Douwes Dekker yang sehaluan itu sebenarnya telah dijalin ketika Douwes Dekker bekerja pada Bataviaasch Nieuwsblad. Douwes Dekker sering berhubungan dengan murid-murid STOVIA.
Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Perancis. Peringatan tersebut dirayakan secara besar-besaran, juga di Hindia Belanda. Perayaan tersebut menurut Cipto sebagai suatu penghinaan terhadap rakyat bumi putera yang sedang dijajah. Cipto dan Suwardi Suryaningrat kemudian mendirikan suatu komite perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putra. Dalam komite tersebut Cipto dipercaya untuk menjadi ketuanya. Komite tersebut merencanakan akan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wilhelmina, yang isinya meminta agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Komite Bumi Putra juga membuat selebaran yang bertujuan menyadarkan rakyat bahwa upacara perayaan kemerdekaan Belanda dengan mengerahkan uang dan tenaga rakyat merupakan suatu penghinaan bagi bumi putera.
Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913, ketika harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Pada hari berikutnya dalam harian De Express Cipto menulis artikel yang mendukung Suwardi untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda. Tulisan Cipto dan Suwardi sangat memukul Pemerintah Hindia Belanda, pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda karena kegiatan propaganda anti Belanda dalam Komite Bumi Putera.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier yang berupaya menyadarkan masyarakat Belanda dan Indonesia yang berada di Belanda akan situasi di tanah jajahan. Majalah De Indier menerbitkan artikel yang menyerang kebijaksanaan Pemerintah Hindia Belanda.
Kehadiran tiga pemimpin tersebut di Belanda ternyata telah membawa pengaruh yang cukup berarti terhadap organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda. Indische Vereeniging, pada mulanya adalah perkumpulan sosial mahasiswa Indonesia, sebagai tempat saling memberi informasi tentang tanah airnya. Akan tetapi, kedatangan Cipto, Suwardi dan Douwes Dekker berdampak pada konsep-konsep baru dalam gerakan organisasi ini. Konsep “Hindia bebas dari Belanda dan pembentukan sebuah negara Hindia yang diperintah rakyatnya sendiri mulai dicanangkan oleh Indische Vereeniging. Pengaruh mereka semakin terasa dengan diterbitkannya jurnal Indische Vereeniging yaitu Hindia Poetra pada 1916.

Insulinde

Oleh karena alasan kesehatan, pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij. Sejak itu, Cipto menjadi anggota pengurus pusat Insulinde untuk beberapa waktu dan melancarkan propaganda untuk Insulinde, terutama di daerah pesisir utara pulau Jawa. Selain itu, propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Insulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan. Akibat propaganda Cipto, jumlah anggota Insulinde pada tahun 1915 yang semula berjumlah 1.009 meningkat menjadi 6.000 orang pada tahun 1917. Jumlah anggota Insulinde mencapai puncaknya pada Oktober 1919 yang mencapai 40.000 orang. Insulinde di bawah pengaruh kuat Cipto menjadi partai yang radikal di Hindia Belanda. Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP).
Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat). Pengangkatan anggota Volksraad dilakukan dengan dua cara. Pertama, calon-calon yang dipilih melalui dewan perwakilan kota, kabupaten dan provinsi. Sedangkan cara yang kedua melalui pengangkatan yang dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto.
Bagi Cipto pembentukan Volksraad merupakan suatu kemajuan yang berarti, Cipto memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Meskipun Volksraad dianggap Cipto sebagai suatu kemajuan dalam sistem politik, namun Cipto tetap menyatakan kritiknya terhadap Volksraad yang dianggapnya sebagai lembaga untuk mempertahankan kekuasaan penjajah dengan kedok demokrasi.
Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat. Cipto menyatakan bahwa pinjaman 12 gulden dari sunan ternyata harus dibayar rakyat dengan bekerja sedemikian lama di perkebunan yang apabila dikonversi dalam uang ternyata menjadi 28 gulden.

Pengasingan

Melihat kenyataan itu, Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Akan tetapi, pada kenyataannya pembuangan Cipto ke daerah Jawa, Madura, Aceh, Palembang, Jambi, dan Kalimantan Timur masih tetap membahayakan pemerintah. Oleh sebab itu, Dewan Hindia berdasarkan surat kepada Gubernur Jenderal mengusulkan pengusiran Cipto ke Kepulauan Timor. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung. Selama tinggal di Bandung, Cipto kembali membuka praktik dokter. Selama tiga tahun Cipto mengabdikan ilmu kedokterannya di Bandung, dengan sepedanya ia masuk keluar kampung untuk mengobati pasien.
Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI). Meskipun Cipto tidak menjadi anggota resmi dalam Algemeene Studie Club dan PNI, Cipto tetap diakui sebagai penyumbang pemikiran bagi generasi muda. Misalnya Sukarno dalam suatu wawancara pers pada 1959, ketika ditanya siapa di antara tokoh-tokoh pemimpin Indonesia yang paling banyak memberikan pengaruh kepada pemikiran politiknya, tanpa ragu-ragu Sukarno menyebut Cipto Mangunkusumo.
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indonesia terjadi pemberontakan komunis. Pemberontakan itu menemui kegagalan dan ribuan orang ditangkap atau dibuang karena terlibat di dalamnya. Dalam hal ini Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal itu disebabkan suatu peristiwa, ketika pada bulan Juli 1927 Cipto kedatangan tamu seorang militer pribumi yang berpangkat kopral dan seorang kawannya. Kepada Cipto tamu tersebut mengatakan rencananya untuk melakukan sabotase dengan meledakkan persediaan-persediaan mesiu, tetapi dia bermaksud mengunjungi keluarganya di Jatinegara, Jakarta, terlebih dahulu. Untuk itu dia memerlukan uang untuk biaya perjalanan. Cipto menasehatkan agar orang itu tidak melakukan tindakan sabotase, dengan alasan kemanusiaan Cipto kemudian memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya.
Setelah pemberontakan komunis gagal dan dibongkarnya kasus peledakan gudang mesiu di Bandung, Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang 10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Sebagai hukumannya Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.

Akhir Hidup

Dalam pembuangan, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Ketika Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa dengan melepaskan hak politiknya, Cipto secara tegas mengatakan bahwa lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal pada 8 Maret 1943 dan dimakamkan di TMP Ambarawa.

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Tjipto_Mangoenkoesoemo

Biografi Herman Johannes (Seri Pahlawan di Uang 2017)



ReceivingPahNasPlaquePosting tamu berikut diambil dari tulisan bapak Paul Doko di harian Timor Express Kupang, tgl. 8 Oktober 2007. Terima kasih pak Paul yang bersedia berbagi info ini sehingga bisa diabadikan di Internet. Seperti yang terbaca di akhir posting, tulisan ini dan LPM I.H. Doko punya andil dalam mengusulkan kepada Pemerintah Republik Indonesia agar Prof.DR.Ir. Herman Johannes dianugerahi gelar Pahlawan Nasional yang sudah terkabul bulan ini. Foto-foto keluarga Johannes adalah foto keluarga yang saya terima dari berbagai sumber. Terima kasih buat para kontributor, terutama Henny Meka-Johannes, Danny Johannes dan Helmi Johannes, serta bapak Paul Doko.
Warga NTT mengenal baik nama Prof.DR.W.Z. Johannes, seorang tokoh kedokteran asal NTT yang oleh Pemerintah RI telah dianugerahi penghargaan berupa gelar Pahlawan Nasional dan namanyapun telah diabadikan sebagai nama RSU Kupang serta sebuah jalan dikota Kupang. Tapi tidak banyak yang mengenal nama Prof. DR. Ir. Herman Johannes, seorang tokoh pejuang paripurna asal NTT yang hidupnya diabdikan bagi Bangsa dan Negara Indonesia melalui bidang ilmu, tekhnologi, politik bahkan perjuangan bersenjata.
Keluarga Prof. Herman JohannesLahir didesa Keka pulau Rote pada tanggal 12 Mei 1912 sebagai anak ke 4 dari 6 putra-putri pasangan Daniel Abia Johannes dengan Aranci Dirk, Herman Johannes muda harus meninggalkan desa dan Sekolah Melayu yang hanya diikutinya selama setahun, agar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pada Europesche Lagere School (ELS) di Kupang.
Kepindahan ini adalah berkat dorongan Daniel Abia Johanness, sang ayah yang memiliki pandangan luas serta mengutamakan pendidikan anak-anaknya. Dengan gaji yang sangat terbatas sebagai seorang guru desa merangkap guru agama, beliau berusaha keras agar semua anaknya memperoleh pendidikan yang pantas walaupun itu berarti mereka harus merantau meninggalkan kampung halaman dan sanak keluarganya. Herman Johannes dalam usia masih belia berangkat ke Makassar untuk melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan kemudian dilanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Batavia dan selanjutnya pada Technische Hooge School di Bandung tahun 1934 yang baru dapat diselesaikannya pada tahun 1946 di Sekolah Tinggi Tehnik Bandung yang karena faktor keamanan, untuk sementara waktu diungsikan ke Yogyakarta. AMS dapat diselesaikannya tepat waktu dengan memperoleh nilai tertinggi, sehingga ia berhasil memdapat beasiswa ke THS.
Waktu senggangnya dimasa kuliah digunakannya untuk kegiatan organisasi dan menulis karangan ilmiah. Tulisan-tulisannya mendapat perhatian besar dan pujian dari pimpinan fakultas dan kalangan akademisi sehingga lolos seleksi untuk dimuat dalam majalah De Ingenieur in Nederlandsch Indie dan akhirnya mendapat penghargaan dari Koningklijk Instituut van Ingenieurs di Belanda. Masih dalam status sebagai mahasiswa, Herman Johannes telah dipercaya untuk menjadi dosen pada Sekolah Menengah Tinggi Jakarta , Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta, Solo dan Klaten, Sekolah Tinggi Tehnik Bandung (dalam pengungsian) di Yogyakarta serta pada Akademi Militer di Yogya.
Pada masa kuliah pada THS di Bandung inilah, Herman Johannes yang sangat aktif dalam berorganisasi bertemu dengan pemuda-pemuda pelajar asal Timor yang bersekolah di Bandung. Bersama-sama dengan Simon K.Tibuludji, Izaak Huru Doko, Josef Toelle dan Chris Ndaumanu, Herman mendirikan perkumpulan Timorsche Jongeren yang kemudian diubah menjadi Perkumpulan Kebangsaan Timor (PKT). Ini merupakan awal keterlibatan Herman dalam bidang politik yang kemudian akan mengantarnya menjadi salah seorang pendiri Partai Indonesia Raya dan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Cita-cita Herman sejak kecil adalah menggali ilmu sedalam-dalamnya melalui pendidikan tinggi, sehingga ia menolak tawaran beasiswa dari Pemerintah Hindia Belanda yang mengharuskannya masuk ke sekolah calon pegawai negeri / Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) setamat ELS. Tidak pernah pula terlintas dalam pikirannya untuk menjadi tentara, namun ternyata takdir berkata lain.
Berbekal pengetahuannya dibidang fisika dan kimia, bantuannya sering diminta oleh para pemuda pejuang untuk merakit senjata api dan membuat detonator serta alat peledak. Tugas ini dapat dikerjakannya dengan baik berkat fasilitas laboratorium Sekolah Tinggi Kedokteran yang bebas digunakannya.
Peran penting yang dijalankannya ini ternyata mendapat perhatian dari Markas Teringgi Tentara di Yogyakarta, yang kemudian memerintahkannya untuk segera datang ke Yogya guna membuka dan sekaligus memimpun sebuah laboratorium persenjataan. Untuk tugas tersebut Herman diangkat sebagai anggota militer dengan pangkat Mayor, jabatan dan karier yang tidak pernah diimpikannya tapi ia terima dengan penuh tanggung jawab demi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sebagai anggota tentara, Herman tidak hanya berjuang di garis belakang dengan mengelola dan memimpin laboratorium persenjataan yang merakit senjata dan membuat bom serta granat, tapi ia ikut aktif di garis depan bersama pasukan Taruna Akademi Militer di bawah komando Kolonel Djatikusumo serta memimpin Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (GRISK). Jabatan dan pangkat kemiliterannya ini ia lepaskan setelah pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda tahun 1950 untuk dapat kembali mengabdi dalam bidang pendidikan
Ucapan Selamat dari Sri Sultan HB IX. Kembali ke kehidupan sipil, Herman diangkat oleh Presiden Sukarno menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga dalam kabinet Moh.Natsir.
Setelah melepaskan pangkat Mayor dan jabatan sebagai Menteri, ia kembali meneruskan cita-citanya menjadi dosen dengan pangkat Mahaguru yang disandangnya sejak tahun 1948 dan kemudian berturut-turut dipercaya sebagai Dekan Fakultas Tehnik UGM, Dekan Fakultas Ilmu Pasti dan Alam UGM dan akhirnya sebagai Rektor UGM.
Pensiun baginya bukanlah masa istirahat, beliau tetap giat berkarya menekuni berbagai jabatan antara lain sebagai Koordinator Perguruan Tinggi DIY-Jawa Tengah, Ketua Regional Science and Development Center Yogyakarta, Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Anggota Komisi Empat (Tim Pemberantasan Korupsi), anggota Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia, anggota Dewan Riset Nasional, Pengurus Legiun Veteran Pusat, dll.
Karya-karya tulisnya, baik yang dibukukan maupun dalam bentuk makalah serta pandangan-pandangannya yang dimuat dalam surat kabar, merupakan sumbangan yang sangat berharga bagi perkembangan ilmu dan teknologi antara lain mengenai fisika modern, matematika untuk ekonomi, gaya bahasa keilmuan, kamus istilah Ilmu dan Teknologi, sumber energi alternatif, listrik tenaga panas laut, manfaat lamtoro gung, teknologi yang dibutuhkan Indonesia, anglo hemat energi dan pandangan kritisnya mengenai Timor Gap. Salah satu karya tulisnya “Fusi Dingin dalam Tabung Lucutan” dikerjakan pada saat-saat akhir hidupnya dan diselesaikan di ruang perawatannya.
Tokoh Herman Johannes adalah contoh pribadi yang serius, tekun dan penuh tanggung jawab, pribadi yang mengutamakan kerja serta pengabdian. Hari-hari hidupnya diisi dengan berkarya, sedangkan rekreasi dan hiburan untuk kesenangan pribadi hampir-hampir terabaikan, begitu pula masa-masa indah saat remajanya yang seolah terlupakan demi kerja serta tugas-tugas yang diembannya.
PestanikahBaru pada usia 43 tahun yaitu dalam bulan Mei 1955 beliau menikah dengan putri seorang raja Rote, Attie M.G. Amalo. Dari perkawinan ini beliau memperoleh 4 orang anak, masing-masing Christine, Henriette, Daniel dan Helmi.
JlPJohannesSampai akhir hayatnya Herman Johannes tetap rendah hati dan sederhana. Penghargaan-penghargaan serta tanda-tanda kehormatan yang diterima dari berbagai kalangan atas karya dan jasa-jasanya tidak membuatnya menjadi tinggi hati dan angkuh. Gelar Doktor Honoris Causa dipersembahkan Universitas Gajah Mada kepadanya, Sultan Hamengku Buwono IX menganugerahi penghargaan, Keluarga Alumni Tehnik Gajah Mada (KATGAMA) mengabadikan nama Prof. DR. Ir. Herman Johannes pada sebuah jalan di kota Yogyakarta dan sebuah penghargaan untuk karya utama penelitian dalam bidang ilmu dan teknologi diberi nama Herman Johannes Award.
Pemerintah Republik Indonesia telah menganugerahinya Bintang Gerilya, Satya lencana Pejuang Kemerdekaan, Satya Lencana Wirakarya, Bintang Mahaputera, Bintang Legiun Veteran dan melalui Keputusan Presiden RI no. 80 tahun 1996 nama Herman Johannes diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya kawasan hutan Sisinemi-Sanam di Kabupaten Kupang.
sumber : http://28oktober.net/prof-dr-ir-herman-johannes-pejuang-yang-terlupakan-di-daerah-asalnya-sendiri/