TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Sunday, November 29, 2015

Biografi Abdoel Moeis

Abdoel moeis.jpg

Dunia kesusastraan Indonesia mengenal Abdul Muis sebagai pengarang yang cukup produktif. Bukunya ”Salah Asuhan ” yang bertemakan kritik sosial, sering dibicarakan orang. Kalangan politik, khususnya dalam masa pergerakan Nasional, mengenal Abdul Muis sebagai salah seorang tokoh Sarekat Islam (SI) yang berani dan sanggup membangkitkan semangat massa melalui pidato-pidatonya.

la lahir tanggal 3 Juli 1883 di Sungai Puar, Bukit Tinggi, Sumatra Barat. Jabatan ayahnya sebagai Tuanku Laras (setingkat Wedana) memungkinkan setamat dari ELS Abdul Muis memasuki STOVIA (School tot Oleiding Voor Inlandsche Artsen) atau Sekolah Dokter Bumi Putera di Jakarta. Waktu diadakan ujian pratikum, Abdul Muis jatuh pingsan. Ternyata ia tidak tahan melihat darah. Dengan demikian gagallah cita-cita Muis untuk menjadi dokter.

la lalu beberapa waktu lamanya bekerja sebagai pegawai negeri pada Departemen Van Eredienst en Nijverhid (Departemen Agama dan Kerajinan). Sesudah itu ia pindah ke harian "Preanger Bode” surat kabar Belanda yang terbit di Bandung. Tugas Abdul Muis adalah mengoreksi karangan-karangan yang akan dimasukkan ke percetakan. Dengan sendirinya ia membaca karangan-karangan Belanda berisi penghinaan terhadap bangsa Indonesia.

Perasaan Muis tersinggung. Ia mengajukan protes kepada atasannya, tetapi tidak pernah ditanggapi. Hal itu mendorongnya untuk juga menulis karangan-karangan yang menangkis penghinaan yang dilontarkan terhadap bangsanya oleh penulis-penulis Belanda. Artikel-artikel itu dikirimnya ke hari­an ”De Express” harian berbahasa Belanda yang dipimpin oleh Douwes Deker (Danudirja Setiabudi), seorang Indo yang menentang penjajahan Be­landa.

Sementara itu pertentangannya dengan pimpinan Preanger Bode semakin meningkat. Akhimya Muis meninggalkan Preanger Bode dan pindah bekerja ke harian ”Kaum Muda”. Di sini ia diterima menjadi pimpinan redaksi.

Melalui harian ”Kaum Muda” ia dapat menyalurkan hasratnya tanpa ada yang menghalangi. Tulisan-tulisannya bernada tajam mengecap pemerintah. Ia juga mengasuh ruangan ”pojok” yang terdapat pada harian itu, yang diberinya nama ”Keok”, artinya kalah atau serba salah. Dalam ruangan pojok itu ia melontarkan sindiran yang tajam, tetapi lucu. Penggemar ”Keok” bukan saja tokoh-tokoh Pergerakan Nasional, tetapi juga pegawai pemerintah. Di samping itu ia juga membantu harian ”De Express” dan duduk dalam staf redaksi. Tulisan-tulisannya ditandai A.M. alias dari Abdul Muis.

Selain menulis, Abdul Muis terkenal pula pandai berdebat dan berpidato. Dengan bekal itu ia terjun ke dalam gelanggang pergerakan nasional. Waktu di Bandung didirikan cabang ”Sarekat Islam” (SI) Muis masuk menjadi anggota. Mula-mula ia hanya tercatat sebagai anggota biasa, tetapi berkat kegiatan dan kecakapannya, tak lama kemudian ia diangkat menjadi Wakil Ketua SI cabang Bandung, dan sebagai ketua adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Selain itu ia duduk pula sebagai anggota pimpinan sentral komite pengurus pusat SI.

Perhatiannya kepada Pergerakan Nasional semakin besar dan sejalan dengan itu, sikapnya terhadap Pemerintah Kolonial semakin tegas.

Pada bulan November 1913 Pemerintah Hindia Belanda bermaksud mengadakan perayaan besar-besaran memperingati ”100 Tahun Kemerdekaan Negeri Belanda” (Dari Penjajahan Perancis). Untuk membiayai peringatan perayaan itu pemerintah memungut uang dari rakyat. Kaum nasional Indone­sia menganggap tindakan itu sangat tidak adil. Rakyat Indonesia masih berada dalam kungkungan penjajahan, tetapi diharuskan memberikan uang untuk memperingati perayaan kemerdekaan bangsa yang sedang menjajah mereka.

Maka atas prakarsa Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dr. Cipto Mangunkusumo dan Wignyadisastra (Harian Kaum Muda) dibentuklah ”Komite Bumi Putera”, yaitu komite yang akan merayakan ”100 tahun kemerdekaan negeri Belanda” dengan caranya sendiri berbeda dengan cara Pemerintah Kolonial merayakannya. Abdul Muis giat di dalam komite itu. ”Komite Bumi Putera” dibentuk sebagai protes terhadap tindakan pemerin­tah. Selain itu komite bermaksud pula mengirimkan telegram kepada Ratu Wilhemina supaya di Indonesia dibentuk parlemen yang sesungguhnya.

Suwardi Suryaningrat melancarkan protes melalui tulisannya yang berjudul ”Als ik eens Vederlander was” (Seandainya Aku Seorang Belanda). Dengan cara halus ia menyindir pemerintah Belanda yang bermaksud meraya­kan hari kemerdekaan di tanah jajahannya. Dr. Cipto Mangunkusumo pun menulis artikel berjudul ”Kracht of Vrees” (Kekuatan atau Ketakutan).

Pemerintah segera bertindak, Suwardi, Cipto, Wignyadisastra dan Ab­dul Muis ditangkap dan ditahan di dalam penjara. Douwes Dekker membela mereka dengan menulis artikel berjudul ”Onze helden, Cipto Mangunkusumo, en R.M. Suwardi Suryaningrat” (Pahlawan kita, Cipto Mangunkusumo, dan RM. Suwardi Suryaningrat). Tulisan itu ia menyebabkan ia ditangkap dan dipenjarakan pula. Abdul Muis dan Wignyadisasira dilepaskan dari tahanan sedang ketiga orang lainnya dihukum buang dalam negeri. Atas permintaan mereka hukuman itu diganti dengan pengasingan ke negeri Belanda.

Meskipun telah mengalami penahanan, Muis tetap giat dalam politik. Dalam tahun 1916 di Bandung dilangsungkan Kongres Nasional pertama SI. Dalam kongres itu semakin keras terdengar suara-suara yang menyatakan ketidakpuasan rakyat terhadap politik jajahan. Abdul Muis dalam pidatonya mengatakan, bahwa SI memilih cara-cara itu tidak mendatangkan hasil, maka rakyat harus siap membalas kekerasan dengan kekerasan.

Sekalipun kegiatan Abdul Muis dalam partai sudah banyak menyita waktunya, namun bidang jurnalistik tidak ditinggalkannya sama sekali. Dalam tahun 1916 itu pula ia bekerja sama dengan Haji Agus Salim memimpin majalah ”Neraca”. Tugas sebagai redaksi ”Neraca” dijalankan selama delapan tahun. Karena penghasilan sebagai redaktur itu tidak mencukupi kebutuhan hidupnya, maka ia pun bekerja sebagai pegawai pada "Inlandsch Credietwezen” (Urusan Kredit Bumi Putera). Sejak bekerja di sini, ia memperhatikan nasib buruh dan para pegawai.

Sementara itu tahun 1914, Eropa dilanda oleh Perang Dunia I. Negeri Belanda terlibat di dalamnya. Dengan sendirinya masalah penahanan In­donesia menjadi pembicaraan dalam sidang Volksraad (Dewan Rakyat) yang dibentuk dalam tahun 1918. Waktu itu Abdul Muis sudah menjadi anggota Volksraad. Ia bersama Cokroaminoto sudah mewakili SI. Untuk membicarakan masalah pertahanan itu dibentuk sebuah komite yang disebut ”Indie Weerbaar” (Ketahanan Hindia Belanda). Komite itu mengirim utusan ke Negeri Belanda untuk memperjuangkan, agar di Indonesia dilaksanakan milisi. Utusan itu terdiri dari Abdul Muis, Dwijosewoyo (Wakil Budi Utomo) dan D. Van Hindeloopen.

Perjuangan untuk milisi itu gagal, tetapi Abdul Muis berhasil meyakinkan Pemerintah Belanda, bahwa di Indonesia perlu didirikan sekolah tinggi teknik. Hal itu kemudian berwujud dengan didirikannya ’Technise Hooge School” (Sekarang Institut Teknologi Bandung, ITB). Gagasan itu timbul setelah Abdul Muis mencoba naik pesawat terbang. Dari pengalaman itu ia yakin bahwa kemajuan teknik barat perlu dipelajari oleh pemuda-pemuda Indonesia.

Setelah kembali ke Tanah Air suara Abdul Muis makin keras menuntut perbaikan-perbaikan untuk rakyat. Ia sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke daerah-daerah sebagai anggota Volksraad dan sebagai wakil SI. Dalam kunjungan ke Sumatera Barat ia berpidato mengenai perlunya pemerintahan sendiri bagi Indonesia. Selain itu dibahasnya pula soal rodi yang sangat memberatkan bagi penduduk.

Rodi itu dikatakan sebagai kerja paksa untuk yang dipertuan. Rakyat dianjurkan agar supaya berjuang untuk menghapuskan rodi. Daerah Sulawesi tak luput pula dari kunjungannya. Dalam kesempatannya ia berpidato, ia selalu menganjurkan para pemuda agar berusaha mencapai kemajuan. Pengalaman di luar negeri diceritakan kepada para pemuda tersebut, katanya ”Jika orang lain bisa, saya juga bisa, mengapa pemuda-pemuda kita tidak bisa, jika memang mau berjuang?!”

Pada tahun 1919 dalam SI timbul perpecahan. Semaun, Darsono, Alimin, dan tokoh-tokoh SI Semarang, sudah kemasukan ideologi komunis. Hal itu cukup membahayakan kehidupan partai. Karena itu Abdul Muis dan Agus Salim mengusulkan supaya diadakan disiplin partai, artinya orang-orang yang berhaluan komunis harus meninggalkan SI. Dengan cara demikian kelompok komunis keluar dari SI. Dalam tahun 1920 mereka mendirikan Partai Komunis Hindia kemudian menjadi PKI pada tahun 1924.

Perhatian Abdul Muis terhadap perburuhan sudah dimulai ketika ia masih menjadi pegawai urusan kredit Bumi Putera. Sejak itu ia berjuang untuk memperbaiki keadaan sosial para buruh. Dalam tahun 1920 Muis dipilih menjadi ketua pengurus besar ”Perkumpulan Buruh Pegadaian” dan setahun kemudian ia sudah memimpin pemogokan buruh pegadaian di Yogyakarta bersama Suryopranoto. Yang disebut terakhir itu kemudian justru terkenal disebut ”Stangkingskoning” (Raja Pemogokan). Pemogokan itu dianjurkan sebagai senjata buruh untuk perbaikan nasib sebagai penuntutnya. Akibatnya banyak buruh yang dipecat dan Abdul Muis beserta beberapa pimpinan pe­mogokan lainnya ditangkap.

Setelah dibebaskan, ia kembali berjuang di lapangan Politik. Kegiatannya mulai mencemaskan Pemerintahan Belanda. Dalam tahun 1926 pemerin­tah bertindak. Ia dilarang tinggal di daerah kelahirannya, Sumatera Barat. Larangan ini disusul dengan larangan keluar Pulau Jawa. Di samping itu pula ia dilarang mengadakan kegiatan Politik. Tetapi ia diperbolehkan memilih daerah yang disukainya sebagai tempat pengasingannya.

Abdul Muis memilih tempat di daerah Garut, sebab di sana banyak pengikut SI. Dengan demikian ia masih dapat akan bergerak. Akan tetapi ternyata kemudian gerak-geriknya selalu diawasi oleh pemerintah. Akibatnya kegiatan politiknya menjadi berkurang namun ia masih sempat memimpin harian ”Mimbar Rakyat”. Tulisan-tulisannya dalam harian ini tetap tajam mengeritik pemerintah. Akibatnya harian itu dilarang terbit.

Hidup di dalam pengasingan dan dilarang melakukan kegiatan politik merupakan pukulan yang berat bagi seorang politikus. Karena itu dalam tahun 1937 Muis memutuskan untuk bekerja sebagai pegawai kontroler di daerah Garut. Hal itu dilakukannya supaya ia jangan menganggur, tetapi didorong pula oleh keyakinan, bahwa ia dapat bertindak tegas terhadap orang Belanda yang menyalahi peraturan. Banyak di antara mereka yang tidak menjalankan kewajiban membayar pajak, sewa listrik, air minum dan lain-lain. Dengan memilih bekerja kepada pemerintah itu, ia mendapat kritik dari kawan-kawannya, tetapi Muis tidak mengacuhkannya, sebab ia mempunyai tujuan tertentu. Sebaliknya ada pula temannya yang menganjurkan supaya ia meminta ampun kepada pemerintah, agar ia dapat hidup senang. Anjuran itu tidak diindahkannya.

Setelah bekerja selama dua tahun, Pemerintah Belanda mencabut keputusan pengasingan Abdul Muis. Dengan demikian ia kembali sebagai orang merdeka.

Masa di Garut itu merupakan masa penting pula bagi karir Abdul Muis sebagai Sastrawan. Selama berada di pengasingan hasratnya bergejolak, tetapi ia tidak dapat menyalurkannya. Dalam keadaan demikian jiwa sastra Abdul Muis tampil ke muka. la menulis buku yang kemudian cukup terkenal hingga sekarang yakni ”Salah Asuhan”. Sebenarnya sebagian dari isi buku itu adalah kisah nyata, yaitu tentang percintaan Muis dengan seorang gadis Belanda yang bernama Carry. ketika ia masih menjadi siswa STOVIA. Dalam buku itu ia menampilkan pertentangan dua generasi yakni generasi tua dan generasi muda. Secara tersirat ia mengingatkan bahwa generasi tua tidak seluruhnya salah. Persatuan antara dua generasi itu akan membawa manfaat yang besar bagi bangsa.

Selain ”Salah Asuhan” yang sangat terkenal itu Abdul Muis juga menulis beberapa buku lainnya, di antaranya ialah ”Pertemuan Jodoh, Daman Brandal, Sabai nan Alui" (Cerita Rakyat Minangkabau) dan "contoh Surat menyurat", ia juga menterjemahkan buku dan Bahasa asing, antara lain ”Sebatang Kara", "Pangeran Krone", "Tom Sawyer", "Suku Mohawk Tumpas", "Cut Nyak Din", dan "Menuju Kemerdekaan" (sebuah buku sejarah tentang kemerdekaan dan pergerakan Nasional Indonesia karangan D.M.G. Koch).

Dalam zaman Jepang nama Abdul Muis tidak banyak terdengar. Tetapi setelah kemerdekaan diproklamasikan, keinginannya untuk melakukan ke­giatan politik bangkit kembali. Dengan beberapa temannya ia membentuk ”Persatuan Perjuangan Priangan”, yang berpusat di Wanaraja, di luar Garut. Kegiatannya dalam badan ini menyebabkan ia mempunyai dua lawan, yakni Belanda dan Dl/TII. Ia menjadi incaran kedua musuhnya dan karena itu ia terpaksa berpindah-pindah tempat ke tempat yang lain. Kepada Karto Suwiryo pimpinan DI/TII ia pernah berpesan supaya menghentikan aksi-aksi terornya. Ia sendiri rnenyatakan dengan tegas akan mempertahankan kemerdekaan yang sudah lama diperjuangkan.

Dalam mencapai usia lanjut kesehatan Abdul Muis mulai menurun. Penyakit jantung dan darah tinggi sering menyerangnya. Karena itu ia menolak tawaran untuk aktif bekerja di pemerintahan. Dalam tahun 1946 ia ditawari menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, tetapi ada saja orang yang iri. Orang itu menulis laporan palsu kepada Presiden Sukarno yang mengatakan bahwa sewaktu diasingkan di Garut, Abdul Muis pernah minta ampun kepada Pemerintah Belanda. Padahal anjuran berbuat demikian ditolaknya mentah-mentah.

Sesudah Pengakuan Kedaulatan, Abdul Muis menghentikan kegiatannya dalam bidang Politik. Ia bekerja menterjemahkan beberapa buku berbahasa asing kebahasa Indonesia. Selama hidupnya ia kawin empat kali. Dari istrinya yang kedua, wanita Priangan, ia memperoleh dua orang anak Isterinya yang keempat bernama Sunarsih, wartawati ”Pres Agenschap Hindie Timur”. Dari isteri terakhir itu ia memperoleh sebelas orang anak. Pada tanggal 17 Juli 1959 ia meninggal di Bandung dalam usia 76 tahun.

Pemerintah RI menghargai jasa-jasanya dan perjuangan Abdul Muis terhadap Bangsa Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Presiden RI. No. 218 Tahun 1959 tertanggal 30 Agustus 1959 Pemerintah R.I. menganugerahkan Abdul Muis gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional.

Sunday, November 15, 2015

Biografi Amir Hamzah

Amir Hamzah portrait edit.jpg 

Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911 dari keluarga bangsawan Melayu Kesultanan Langkat di Sumatera Utara. Saat berguru di SMA di Surakarta sekitar 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah hukum di Batavia keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937 ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia memenuhi tugas kekeratonannya. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, ia menjabat sebagai wakil pemerintah di Langkat. Namun  pada tahun pertama negara Indonesia yang baru lahir, ia meninggal dalam peristiwa konflik sosial berdarah di Sumatera yang disulut oleh faksi dari Partai Komunis Indonesia dan dimakamkan di sebuah kuburan massal.
 
Amir mulai menulis puisi saat masih remaja meskipun karya-karyanya tidak bertanggal, yang paling awal diperkirakan telah ditulis ketika ia pertama kali melakukan perjalanan ke Jawa. Menggambarkan pengaruh dari budaya Melayu aslinya, Islam, Kekristenan, dan Sastra Timur, Amir menulis 50 puisi, 18 buah puisi prosa, dan berbagai karya lainnya, termasuk beberapa terjemahan. Pada tahun 1932 ia turut mendirikan majalah sastra Poedjangga Baroe. Setelah kembali ke Sumatera, ia berhenti menulis. Sebagian besar puisi-puisinya diterbitkan dalam dua koleksi, Njanji Soenji (1937) dan Boeah Rindoe (1941), awalnya dalam Poedjangga Baroe, kemudian sebagai buku yang diterbitkan.

Puisi-puisi Amir sarat dengan tema cinta dan agama, dan puisinya sering mencerminkan konflik batin yang mendalam. Diksi pilihannya yang menggunakan kata-kata bahasa Melayu dan bahasa Jawa dan memperluas struktur tradisional, dipengaruhi oleh kebutuhan untuk ritme dan metrum, serta simbolisme yang berhubungan dengan istilah-istilah tertentu. Karya-karya awalnya berhubungan dengan rasa rindu dan cinta, baik erotis dan ideal, sedangkan karya-karyanya selanjutnya mempunyai makna yang lebih religius. Dari dua koleksinya, Nyanyi Sunyi umumnya dianggap lebih maju. Untuk puisi-puisinya, Amir telah disebut sebagai "Raja Penyair Zaman Poedjangga Baroe" dan satu-satunya penyair Indonesia berkelas internasional dari era pra-Revolusi Nasional Indonesia.

Masa kecil

Amir lahir dengan nama Tengkoe Amir, merupakan putra bungsu dari Wakil Sultan Tengkoe Moehammad Adil dan istri ketiganya, Tengkoe Mahdjiwa. Tengkoe Moehammad Adil merupakan Wakil Sultan untuk Luhak Langkat Hulu yang berkedudukan di Binjai. Berdasarkan silsilah keluarga istana Kesultanan Langkat, Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Melalui ayahnya, ia terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed. Kepastian tanggal lahir Amir diperdebatkan, tanggal resmi yang diakui oleh pemerintah Indonesia adalah 28 Februari 1911, tanggal yang digunakan Amir sepanjang hidupnya. Namun kakaknya, Abdoellah Hod menyatakan bahwa Amir lahir pada tanggal 11 Februari 1911. Amir kemudian mengambil nama kakeknya, Tengkoe Hamzah, sebagai nama keduanya; sehingga ia disebut sebagai Amir Hamzah. Meskipun seorang anak bangsawan, dia sering bergaul dalam lingkungan non-bangsawan. Oleh teman sepermainannya, Amir kecil biasa dipanggil dengan sebutan "Tengku Busu" ("tengku yang bungsu"). Said Hoesny, sahabat Amir pada masa kecilnya menggambarkan bahwa Amir adalah anak manis yang menjadi kesayangan semua orang.

Diketahui bahwa Amir dididik dalam prinsip-prinsip Islam, seperti mengaji, fikih, dan tauhid, dan belajar di Masjid Azizi di Tanjung Pura dari usia muda. Dia tetap seorang Muslim yang taat sepanjang hidupnya. Periode saat ia menyelesaikan studi formal juga diperdebatkan. Beberapa sumber, termasuk pusat bahasa pemerintah Indonesia, menyatakan bahwa ia mulai bersekolah pada tahun 1916, sementara biografer M. Lah Husny menulis bahwa tahun pertama sekolah formal penyair ini adalah pada tahun 1918. Di sekolah dasar berbahasa Belanda di mana Amir pertama kali belajar, ia mulai menulis dan mendapat penilaian-penilaian yang bagus; dalam biografi yang ditulisnya tentang Amir, penulis Nh. Dini menulis bahwa Amir dijuluki "abang" oleh teman-teman sekelasnya karena ia jauh lebih tinggi daripada mereka.

Pada tahun 1924 atau 1925, Amir lulus dari sekolah dasarnya di Langkat dan pindah ke Medan untuk belajar di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, sekolah menengah pertama) di sana. Setelah menyelesaikan studinya sekitar dua tahun kemudian, ia memasuki hubungan formal dengan sepupunya dari pihak ibunya, Aja Bun. Husny menulis bahwa keduanya sengaja dipertemukan dan dijodohkan untuk menikah oleh orang tua mereka, namun Dini menganggap hubungan tersebut sebagai sumpah untuk menjadi selalu setia. Karena orang tuanya mengizinkannya untuk menyelesaikan studinya di Jawa, Amir kemudian pergi ke ibukota kolonial Hindia Belanda di Batavia untuk menyelesaikan studinya.

Belajar di Jawa

Amir pergi ke Pulau Jawa sendirian, dalam perjalanan di laut selama tiga hari di kapal Plancus. Setelah tiba di Batavia, ia masuk di Christelijk MULO Menjangan, di mana ia menyelesaikan tahun SMP terakhirnya. Anthony H. Johns dari Australian National University menulis bahwa di sekolah ini Amir mempelajari beberapa konsep dan nilai-nilai Kekristenan. Di Batavia, Amir juga terlibat dalam organisasi sosial Jong Sumatera. Saat periode ini pemuda Amir menulis puisi pertamanya. Husny menulis bahwa Amir patah hati setelah menemukan Aja Bun telah menikah dengan pria lain tanpa sepengetahuan Amir (mereka berdua tidak pernah berbicara lagi), sementara Dini berpendapat bahwa puisi "Tinggallah " ditulis tidak lama setelah Amir naik kapal Plancus, saat ia sangat rindu dengan ayah bundanya.

Setelah menyelesaikan sekolah menengah dan kepulangan singkat ke Sumatera, Amir melanjutkan sekolahnya ke Algemene Middelbare School (AMS, sekolah menengah atas) yang dioperasikan Boedi Oetomo di Surakarta, Jawa Tengah, di mana ia mempelajari Sastra Timur dan bahasa, termasuk bahasa Jawa, Sansekerta, dan Arab. Lebih suka menyendiri ketimbang hiruk-pikuknya asrama, Amir lebih memilih menyewa kamar di sebuah rumah pribadi yang dimiliki oleh residen Surakarta. Kemudian ia bertemu dengan beberapa orang yang kelak menjadi penulis, termasuk Armijn Pane dan Achdiat Karta Mihardja; mereka segera menemukan bahwa Amir adalah seorang pelajar yang ramah, rajin, dan dengan catatan lengkap dan kamar tidur bersih (selimut dilipat dengan baik, Mihardja kemudian bercerita, bahwa "... lalat jang kesasar akan dapat tergelintjir atasnja"), tetapi juga seorang romantis; cenderung berpikir sedih di bawah cahaya lampu dan mengisolasi diri dari teman-teman sekelasnya.

Di Surakarta Amir bergabung dengan gerakan nasionalis. Dia akan bertemu dengan sesama perantau dari Sumatera dan mendiskusikan masalah sosial rakyat Melayu Nusantara di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Meskipun pemuda berpendidikan kala itu pada umumnya lebih memilih berbicara menggunakan bahasa Belanda, dia bersikeras bercakap dengan bahasa Melayu. Tahun 1930 Amir menjadi kepala cabang dari Indonesia Moeda di Surakarta, menyampaikan pidatonya dalam Kongres Pemuda 1930 dan mengabdi sebagai editor majalah organisasi itu, "Garoeda Merapi". Di sekolah dia kemudian bertemu dan jatuh cinta dengan Ilik Soendari, seorang gadis Jawa yang hampir seusia dengannya. Soendari, putri Raden Mas Koesoemodihardjo, adalah salah satu dari sedikit siswa perempuan di sekolah tersebut, dan rumahnya berada di dekat salah satu yang pernah ditinggali Amir. Menurut Dini, keduanya semakin dekat, Amir mengajari Soendari bahasa Arab, dan Soendari mengajarinya bahasa Jawa. Mereka segera bertemu setiap hari, bercakap-cakap tentang berbagai topik.


~ Ilik Soendari ~

Ibunda Amir meninggal pada tahun 1931, dan ayahnya setahun setelahnya; pendidikan Amir pun tidak bisa dibiayai lagi. Setelah studi AMS-nya rampung, ia ingin terus belajar di sekolah hukum di Batavia. Karena itu, ia menulis kepada saudaranya, Jakfar yang mengatur agar biaya sisa studinya dibayar oleh Sultan Langkat. Pada tahun 1932 Amir mampu kembali ke Batavia dan memulai studi hukumnya, mengambil pekerjaan paruh waktu sebagai guru. Pada awalnya, hubungannya dengan Soendari dilanjutkan melalui surat, meskipun Soendari segera melanjutkan studinya di Lembang, sebuah kota yang jauh lebih dekat jaraknya ke Batavia daripada Surakarta, hal ini memungkinkan keduanya untuk bertemu diam-diam – ketika orangtua Soendari mengetahui hubungan mereka, Amir dan Soendari pun dilarang untuk bertemu.


Tahun tersebut, dua puisi pertama Amir, "Soenji" dan "Maboek ..." , diterbitkan dalam edisi Maret majalah Timboel. Delapan karyanya yang lain dipublikasikan tahun itu, termasuk sebuah syair berdasarkan Hikayat Hang Tuah, tiga puisi lainnya, dua potong puisi prosa, dan dua cerita pendek; puisi itu kembali diterbitkan dalam Timboel, sementara prosa tersebut terbit dalam majalah Pandji Poestaka. Sekitar September 1932 Armijn Pane, atas dorongan dari Sutan Takdir Alisjahbana, editor rubrik "Memadjoekan Sastera" (rubrik sastra Pandji Poestaka), mengundang Amir untuk membantu mereka mendirikan majalah sastra independen. Amir menerima, dan ditugasi menulis surat untuk meminta kiriman tulisan. Sejumlah lima puluh surat dikirimkan Amir kepada penulis-penulis yang sudah dikenal kala itu, termasuk empat puluh dikirimkan ke para kontributor "Memadjoekan Sastera". Setelah beberapa bulan persiapan, edisi awal diterbitkan pada bulan Juli tahun 1933, dengan judul Poedjangga Baroe. Majalah baru ini ada di bawah kendali editorial Armijn dan Alisjahbana, sementara Amir menerbitkan hampir semua tulisan-tulisannya yang berikutnya di sana.

Pada pertengahan 1933 Amir dipanggil kembali ke Langkat, di mana Sultan Langkat memberitahukan dua syarat yang harus Amir penuhi untuk melanjutkan studinya, yaitu menjadi siswa yang rajin, dan meninggalkan gerakan kemerdekaan Indonesia. Meskipun menghadapi penolakan Sultan Langkat, Amir menjadi terlibat lebih jauh dalam gerakan nasionalis, membawa dia ke bawah pengawasan Belanda yang semakin meningkat. Ia terus melanjutkan untuk menerbitkan karyanya dalam Poedjangga Baroe, termasuk serangkaian lima artikel tentang Sastra Timur dari bulan Juni sampai Desember 1934 dan terjemahan dari Bhagawad Gita dari 1933 sampai 1935. Namun studi hukumnya menjadi tertunda, bahkan belum merampungkan studinya pada tahun 1937.

Kembali ke Langkat

Belanda, khawatir tentang kecenderungan nasionalistik Amir, meyakinkan Sultan Langkat untuk menarik dia kembali ke Langkat; sebuah perintah yang tidak dapat ditolak oleh Amir. Tahun 1937, Amir bersama dengan dua pengikut Sultan Langkat yang bertugas mengawal dia, naik di kapal Opten Noort dari Tanjung Priok dan kembali ke Sumatera. Setelah tiba di Langkat, ia diberitahu bahwa ia akan menikah dengan putri tertua Sultan Langkat, Tengkoe Poeteri Kamiliah, seorang wanita yang hampir tak pernah ia temui sebelumnya. Sebelum pernikahannya, Amir kembali ke Batavia untuk menghadapi ujian kuliah terakhirnya – dan mengatur sebuah pertemuan terakhir dengan Soendari. Beberapa minggu kemudian ia kembali ke Langkat, di mana ia dan Kamiliah menikah dalam sebuah upacara mewah. Sepupunya, Tengkoe Boerhan, kemudian menyatakan bahwa ketidakpedulian Amir sepanjang upacara adat tujuh hari tersebut adalah karena Amir terus memikirkan Soendari.

Sekarang seorang pangeran di Langkat Hilir, Amir diberi gelar Tengkoe Pangeran Indra Poetera. Dia tinggal bersama Kamiliah di rumah mereka sendiri. Dalam semua kesaksian, Kamiliah adalah seorang istri yang taat dan penuh kasih, dan pada tahun 1939 pasangan ini memiliki anak tunggal mereka, seorang putri bernama Tengkoe Tahoera. 

Menurut Dini, Amir mengaku pada Kamiliah bahwa dia tidak pernah bisa mencintainya karena ia telah memiliki Soendari, dan bahwa ia merasa berkewajiban untuk menikahinya, pengakuan yang kabarnya diterima oleh Kamiliah. Amir menyimpan sebuah album dengan foto-foto Soendari, kekasih Jawanya di rumahnya dan sering mengisolasi dirinya dari keluarganya, tenggelam dalam pikirannya. Sebagai seorang pangeran Langkat, Amir menjadi seorang pejabat keraton, menangani masalah administrasi dan hukum, dan kadang-kadang juga menghakimi kasus pidana. Ia sempat mewakili Kesultanan Langkat di pemakaman Pakubuwono X di Jawa pada tahun 1939 – sebuah perjalanan terakhir Amir ke pulau Jawa.

Meskipun Amir hanya melakukan sedikit korespondensi dengan teman-temannya di Jawa, puisi-puisinya yang sebagian besar ditulis di Jawa terus diterbitkan dalam Poedjangga Baroe. Koleksi puisi pertamanya, Njanji Soenji, diterbitkan dalam edisi November 1937. Hampir dua tahun kemudian, pada Juni 1939, majalah tersebut menerbitkan kumpulan puisi yang telah diterjemahkan Amir, berjudul Setanggi Timoer ("Dupa dari Timur"). Pada Juni 1941, koleksi terakhirnya, Boeah Rindoe, diterbitkan. Semuanya kemudian diterbitkan sebagai buku. Sebuah buku terakhir, Sastera Melajoe Lama dan Radja-Radjanja, diterbitkan di Medan pada tahun 1942, terbitan ini didasarkan pada pidato radio yang disampaikan Amir.


Setelah invasi Jerman ke Belanda pada tahun 1940, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan diri untuk kemungkinan invasi Jepang. Di Langkat, divisi Stadswacht (Angkatan Garda) dibentuk untuk membela Tanjung Pura di Langkat. Amir dan sepupunya Tengkoe Haroen bertanggung jawab atas angkatan garda ini; kaum bangsawan, dipercaya oleh masyarakat umum, dipilih untuk memastikan perekrutan rakyat jelata yang lebih mudah. Ketika invasi Jepang menjadi kenyataan pada awal tahun 1942, Amir adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankannya. Dia dan pasukan lainnya yang bersekutu dengan Belanda dengan cepat ditangkap oleh Tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang sampai tahun 1943, ketika pengaruh dari Sultan memungkinkan dia untuk dibebaskan. Sepanjang sisa masa pendudukan yang berlangsung sampai 1945 tersebut, Amir bekerja sebagai komentator radio dan sensor di Medan. Dalam posisinya sebagai pangeran, ia ditugasi untuk membantu mengumpulkan beras dari petani untuk memberi makan tentara pendudukan Jepang.

Pasca-kemerdekaan dan kematian

Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, keseluruhan Pulau Sumatera dinyatakan sebagai bagian de facto dari negara Republik Indonesia yang baru lahir. Pemerintah pusat menetapkan Teuku Muhammad Hasan sebagai gubernur pertama pulau Sumatera, dan pada 29 Oktober 1945 Hasan memilih Amir sebagai wakil pemerintah Republik Indonesia di Langkat (di kemudian hari disamakan dengan bupati), dengan kantornya di Binjai; Amir menerima posisi tersebut dengan siap sedia, kemudian menangani berbagai tugas yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, termasuk meresmikan divisi lokal pertama dari Tentara Keamanan Rakjat (yang kelak menjadi Tentara Nasional Indonesia), membuka pertemuan berbagai cabang lokal dari partai politik nasional, dan mempromosikan pendidikan – terutama keaksaraan alfabet Latin.

Revolusi Nasional Indonesia sedang berkobar dengan berbagai pertempuran di Jawa, dan Republik Indonesia yang baru didirikan tidak stabil. Pada awal 1946, rumor menyebar di Langkat bahwa Amir telah terlihat bersantap dengan perwakilan pemerintah Belanda yang kembali ke Sumatera, dan bangsawan daerah menyadari tumbuhnya benih-benih kerusuhan dalam populasi jelata Langkat. Pada tanggal 7 Maret 1946 selama revolusi sosial yang dipimpin oleh faksi-faksi dari Partai Komunis Indonesia, sebuah kelompok Pemuda Sosialis Indonesia dengan kukuh menentang feodalisme dan kaum bangsawan, kekuasaan Amir dilucuti darinya dan ia ditangkap; sementara Kamiliah dan Tahoera lolos. Bersama dengan anggota-anggota keluarga keraton Langkat yang lain, Amir dikirim ke sebuah perkebunan yang dikuasai faksi Komunis di Kwala Begumit, sekitar 10 kilometer di luar Binjai. 

Potongan tulisan Amir terakhir, sebuah fragmen dari puisi 1941-nya Boeah Rindoe, kemudian ditemukan di selnya:
Wahai maut, datanglah engkau
Lepaskan aku dari nestapa
Padamu lagi tempatku berpaut
Disaat ini gelap gulita

Pada pagi hari 20 Maret 1946, Amir tewas dengan 26 orang tahanan lainnya dan dimakamkan di sebuah kuburan massal yang telah digali para tahanan tersebut; beberapa saudara Amir juga tewas dalam revolusi tersebut. Setelah dilumpuhkan oleh pasukan nasionalis, pemimpin revolusi tersebut diinterogasi oleh tim yang dipimpin oleh Adnan Kapau Gani; Adnan dilaporkan telah berulang kali menanyakan "Dimana Amir Hamzah?" selama penyelidikan seputar peristiwa tersebut. Pada tahun 1948 sebuah makam di Kwala Begumit digali dan jenazah yang ditemukan diidentifikasi oleh anggota keluarga; tulang belulang Amir berhasil diidentifikasi karena gigi palsu yang hilang. Pada November 1949 jenazahnya dikuburkan di Masjid Azizi di Tanjung Pura, Langkat. Atas jasa-jasanya, Amir Hamzah diangkat menjadi Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 106/ tahun 1975, tanggal 3 November 1975.