TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Tuesday, May 19, 2015

Biografi Mr. Assaat



Assaat Datuk Mudo atau lebih dikenal dengan Mr. Assaat adalah salah seorang politisi dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang lahir di Dusun Kampuang nan Limo Kubang Putiah, Banuhampu, Agam, Sumatera Barat, 18 September 1904 dan meninggal di Jakarta, 16 Juni 1976 pada umur 71 tahun. Ia merupakan pemangku jabatan Presiden Republik Indonesia pada masa pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, juga pernah menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri Indonesia.


Pendidikan dan Praktik Advokat

Assaat belajar di Perguruan Adabiah dan MULO Padang, selanjutnya ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) Jakarta. Merasa tidak cocok menjadi seorang dokter, dia keluar dari STOVIA dan melanjutkan ke AMS (SMU sekarang). Dari AMS, Assaat melanjutkan studinya ke Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta.

Ketika menjadi mahasiswa RHS, ia memulai berkecimpung dalam gerakan kebangsaan, gerakan pemuda dan politik. Saat itu Assaat giat dalam organisasi pemuda Jong Sumatranen Bond. Karier politiknya makin menanjak dan berhasil menjadi Pengurus Besar Perhimpunan Pemuda Indonesia. Ketika Perhimpunan Pemuda Indonesia mempersatukan diri dalam Indonesia Muda ia terpilih menjadi Bendahara Komisaris Besar Indonesia Muda.

Dalam kedudukannya sebagai mahasiswa, Assaat masuk ke kancah politik dengan bergabung dalam Partai Indonesia atau Partindo. Dalam partai ini, Assaat bergabung dengan pemimpin Partindo, seperti Adenan Kapau Gani, Adam Malik, Amir Sjarifoeddin dan beberapa tokoh lainnya. Kegiatannya di bidang politik pergerakan kebangsaan, diketahui oleh pengajar dan pihak Belanda, sehingga dia tidak diluluskan walau sudah beberapa kali mengikuti ujian akhir. Tersinggung atas perlakuan itu, dia memutuskan meninggalkan Indonesia pergi ke Belanda. Di Belanda dia memperoleh gelar Meester in de Rechten (Mr) atau Sarjana Hukum.

Sebagai seorang non-kooperator terhadap penjajah Belanda, sekembalinya ke tanah air pada tahun 1939 Assaat berpraktik sebagai advokat hingga masuknya Jepang pada tahun 1942. Di zaman Jepang ia diangkat sebagai Camat Gambir, kemudian Wedana Mangga Besar di Jakarta.
 

KNIP dan RIS

Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) berkedudukan awal di Jakarta, dengan tempat bersidang di bekas Gedung Komedi (kini Gedung Kesenian Jakarta) di Pasar Baru dan di gedung Palang Merah Indonesia di Jl. Kramat Raya. Sekitar tahun 1945 KNIP dipindahkan ke Yogyakarta. Kemudian pada tahun itu pula, pindah ke Purworejo, Jawa Tengah sampai saat situasi dianggap kurang aman untuk kedua kalinya KNIP hijrah ke Yogyakarta.

Badan Pekerja KNIP (BP-KNIP) dibentuk tanggal 16 Oktober 1945 yang diketuai oleh Sutan Sjahrir dan penulis oleh Soepeno dan beranggotakan 28 orang. Pada tanggal 14 November 1945, Sutan Syahrir diangkat menjadi Perdana Menteri Indonesia, sehingga BP-KNIP diketuai oleh Soepeno dan penulis Abdul Halim.Kemudian pada tanggal 28 Januari 1948, Soepeno diangkat menjadi Menteri Pembangunan dan Pemuda pada Kabinet Hatta I, sehingga ketua adalah Assaat dan penulis tetap dr. Abdul Halim. Tahun 1948-1949 ia menjadi Ketua BP-KNIP. Ia terpilih menjadi Ketua KNIP terakhir hingga KNIP dibubarkan, kemudian ia ditugasi sebagai Penjabat Presiden RI di Yogyakarta.


Diasingkan

19 Desember 1948 Belanda melancarkan Agresi Militer II. Assaat ditangkap Belanda bersama Bung Karno dan Bung Hatta serta pemimpin Republik lainnya, kemudian diasingkan di Manumbing, Pulau Bangka.


Acting Presiden Republik Indonesia

Setelah perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) 27 Desember 1949, Assaat diamanatkan menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta hingga 15 Agustus 1950. Dengan terbentuknya RIS (Republik Indonesia Serikat), jabatannya sebagai Penjabat Presiden RI pada Agustus 1950 selesai, demikian juga jabatannya selaku ketua KNIP dan Badan Pekerjanya. Sebab pada bulan Agustus 1950, negara-negara bagian RIS melebur diri dalam Negara Kesatuan RI. Saat menjadi Acting Presiden RI, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.


Setelah pindah ke Jakarta, Assaat menjadi anggota parlemen (DPR-RI), hingga duduk dalam Kabinet Natsir menjadi Menteri Dalam Negeri September 1950 sampai Maret 1951. Setelah Kabinet Natsir bubar, ia kembali menjadi anggota Parlemen.

Pada tahun 1955 ia menjabat sebagai formatur Kabinet bersama Soekiman Wirjosandjojo dan Wilopo untuk mencalonkan Bung Hatta sebagai Perdana Menteri. Karena waktu itu terjadi ketidakpuasan daerah terhadap beleid (kebijakan) pemerintahan Pusat. Daerah-daerah mendukung Bung Hatta, tetapi upaya tiga formatur tersebut menemui kegagalan, karena secara formal ditolak oleh Parlemen.
  

Pertentangan dengan Pemerintah Pusat

Ketika Presiden Soekarno menjalankan Demokrasi Terpimpin, Assaat menentangnya. Secara pribadi Bung Karno tetap dihormatinya, yang ditentangnya adalah politik Bung Karno yang seolah-olah condong ke sayap kiri Partai Komunis Indonesia (PKI).

Assaat merasa terancam, karena Demokrasi Terpimpin adalah kediktatoran terselubung, ia selalu diawasi oleh intel serta PKI. Dengan berpura-pura "akan berbelanja" ia bersama keluarganya melarikan diri dengan berturut-turut naik becak dari Jl. Teuku Umar ke Jl. Sabang, dari sana dilanjutkan menuju Stasiun Tanah Abang.

Assaat beserta keluarga berhasil menyeberang ke Sumatera. Berdiam beberapa hari di Palembang. Ketika itu di Sumatera Selatan sudah terbentuk Dewan Gajah yang dipimpin oleh Letkol Barlian. Di Sumatera Barat Letkol Ahmad Husein membentuk Dewan Banteng. Kolonel Maludin Simbolon mendirikan Dewan Gajah di Sumatera Utara, sementara Kolonel Ventje Sumual membangun Dewan Manguni (Burung hantu) di Sulawesi.

Dewan-dewan tersebut bersatu menentang Sukarno yang dipengaruhi oleh PKI. Terbentuklah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Assaat yang ketika itu baru tiba di Sumatera Barat bergabung dengan PRRI. Kemudian berkeliaran di hutan-hutan Sumatera setelah Pemerintah Pusat menggempur kekuatan PRRI.


Wafat

Ketika berada di hutan-hutan Sumatera Barat dan Sumatera Utara, Assaat sudah merasa dirinya sering terserang sakit. Ia ditangkap, dalam keadaan fisik lemah dan menjalani hidup di dalam penjara Demokrasi Terpimpin selama 4 tahun (1962-1966). Ia baru keluar dari tahanan di Jakarta, setelah munculnya Orde Baru.

Pada tanggal 16 Juni 1976, Assaat meninggal di rumahnya yang sederhana di Warung Jati Jakarta Selatan. Assaat gelar Datuk Mudo diantar oleh teman-teman seperjuangannya, sahabat, handai tolan dan semua keluarganya, dia dihormati oleh negara dengan kebesaran militer.
 

Kepribadian

Assaat bukan ahli pidato, ia tidak suka banyak bicara, tetapi segala pekerjaan dapat diselesaikannya dengan baik, semua rahasia negara dipegang teguh. Bagi orang-orang yang mengenalnya Asaat adalah pribadi yang sederhana. Ketika menjadi Penjabat Presiden, ia tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, lebih memilih panggilan Saudara Acting Presiden yang menjadi agak canggung pada waktu itu.