TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Monday, March 24, 2014

Sarjana Fakultatif Lulusan Universitas

Oleh : Emha Ainun Nadjib

Semakin tua, saya makin mengalami kegagapan komunikasi, bahkan kegagalan komunikasi. Kita mendengarkan pidato pejabat, mendengarkan presentasi pemakalah dalam suatu diskusi, lalu lintas perdebatan dalam talk shows, ustadz-ustadz kasih pengajian, pasti kita juga sering berada bersama orang-orang yang mengobrol di warung atau di gardu. Sering kali terasa, kita seakan dua orang tuli yang berpapasan di jalan dan saling menyapa.

"Mau ke mana, Kang? Mancing ya?"

"O, enggak. Saya mau mancing kok."

"O, ya udah. Saya kira mau mancing."

Mungkin saja sekian persen dari kekacauan pembangunan dan kebobrokan keadaan negeri ini bersumber pada mekanisme dan dialektika ketulian massal seperti itu.

Banyak sekali kejadian dimana orang memperbincangkan "mancing" dan merasa lega telah berbincang, padahal mancing yang dimaksudkan oleh seseorang sama sekali berbeda dengan mancingnya orang yang berbincang dengannya.

Terkadang orang mempertengkarkan, bermusuhan serius, sampai terjadi tawur massal, padahal masing-masing pihak sebenarnya sama-sama tidak pergi "mancing".

Berbagai situasi dalam perpolitikan elite atau perkehidupan budaya pada skala bangsa, sebagian tidak kecil mungkin juga sesungguhnya bertemakan "mancing". Bisa puluhan tahun kelompok ini bermusuhan dengan kelompok itu. Tema permusuhan mereka adalah mancing. Padahal, tak ada yang mancing, dan sesudah pertengkaran yang sangat akut dan bertele-tele, toh tak ada yang memperoleh ikan diantara mereka yang bermusuhan.

Kekacauan epistemologis

Salah satu sumber dialektika tuli dan mancing adalah kekacau-balauan epistemologi. Nahdlatul Ulama dan Ikatan Cendekiawan Muslim tak pernah terlihat akur dalam tata pergaulan budaya politik nasional, padahal bahasa Arab-nya Ikatan Cendekiawan adalah Nahdlatul Ulama, dan bahasa Indonesia-nya Nahdlatul Ulama adalah Ikatan Cendekiawan.

Orang pintar dari universitas Islam disebut "cendekiawan muslim", orang pintar dari pesantren disebut "ulama". Padahal, bahasa Arab-nya cendekiawan muslim adalah ulama, dan bahasa Indonesia-nya ulama adalah cendekiawan muslim.

Bank alternatif Islam disebut bank "syariah" sehingga bank "konvensional"  disebut bukan syariah. Padahal, keduanya sama-sama syariah. Syariah (syari'), sebagaimana thariqah (thariq) dan sabil artinya 'jalan', meski konotasi penggunaannya berbeda. Maka, bank umum konvensional juga bank syariah. Berdampingan dengan bank syariah, ia sama-sama syariah : jalan, cara, metode, manajemen, desain, strategi untuk menuju suatu goal tertentu. Bedanya, bank konvensional adalah syariatunnas, bank syariah adalah syariatullah.
Subyeknya bank syariatunnas adalah manusia dan akal pikiran, sedangkan syariatullah berbekal manusia, akal pikiran dan firman.

Yang syariatunnas atau bank konvensional tidak otomatis boleh disebut "bukan jalan Tuhan" atau bukan "sabilillah" karena manusia dan akal pikiran juga suatu jenis firman. Hanya saja, bank konvensional secara resmi tidak mengacu kepada firman literer, yakni ayat-ayat Kitab Suci.

Tercetus, berdiri, dan berlangsungnya bank konvensional hasil akal pikiran manusia bisa saja terkategorikan sebagai upaya religiositas : upaya manusia untuk mencapai kebenaran dan kesejahteraan sejati.

Ia juga bisa menjadi suatu jenis ijtihad (jihad atau perjuangan intelektual), sebagaimana bank syariatullah juga suatu model ijtihad. Hanya saja, ijtihad bank syariatullah mengacu pada religi, bukan sekadar ikhtiar religiousitas. Salah satu bukti empiris bahwa keduanya bisa merupakan upaya ijtihad adalah bahwa bank-bank konvensional yang menyelenggarakan sayap syariah : tidak semata-mata langsung melakukan konversi total dengan membubarkan sistem konvensionalnya dan mengantinya dengan sistem syariatullah. Syariatunnas dan syariatullah berjalan beriring dalam satu institusi bank.

Paguyuban fakultas

Terdapat ribuan contoh kekacauan epistemologis. Ada ribuan lembaga pendidikan yang menyebut dirinya universitas, tetapi yang diproduknya seratus persen sarjana-sarjana fakultatif, bukan sarjana universal. Memang nanti di S-2 dan S-3 dibuka peluang komprehensif antarbidang keilmuan sehingga merupakan tabungan universalitas keilmuan pelakunya.

Namun, di pihak lain, yang berkembang pesat justru spesialisasi keilmuan. Semakin spesialis, semakin tidak universal. Karena itu, tepatnya jangan sebut universitas, melainkan paguyuban fakultas-fakultas dan jurusan-jurusan.

Fakultas-fakultas berpapasan dan bersapaan satu sama lain, "Mau mancing ya?",

"Enggak, orang aku mau mancing kok",

"O, ya udah, kupikir pergi mancing."

Para mahasiswa pergi kuliah, padahal yang mereka maksudkan adalah juz'iyyah. Kuliah berasal dari kata kulliyyah, kata dasarnya kullun, artinya 'setiap'. Meskipun setiap mirip dengan semua, mereka amat berbeda. Setiap maupun semua menyangkut dan melibatkan setiap dan semua subyek, tetapi masing-masing berbeda dengan kebersamaan, ke-setiap-an berbeda bahkan bertentangan dengan ke-semua-an. Aku plus aku plus aku tidak pasti sama dengan kita. Karena dalam "kita", ke-aku-an direlakan untuk tidak menjadi faktor utama.

Pergi kuliah artinya berangkat mencari ilmu universal-komprehensif. Para sarjana fakultatif tidak pernah pergi kuliah, yang mereka lakukan di kampus adalah juz'iyyah: mencari ilmu fakulatif spesialistis. Salah satu tugas akademis mereka adalah berseminar dan menulis makalah. Entah bagaimana asal-usul kata itu. Jika sumbernya bahasa Swahili atau Visayan, saya kurang tahu. Namun, jenis bunyi dan pilihan huruf dari "makalah" sepertinya dari bahasa Arab. Kalau benar demikian, mungkin yang dimaksud adalah ma qala, artinya 'sesuatu yang dikatakan'. Kalau sesuatu yang dituliskan, bahasa Arab-nya : ma kutiba.

Saya yang dasarnya pemalas dalam hal tulis-menulis selalu mendapat keuntungan kalau diundang seminar. Sebab, panitia selalu minta makalah. Maka saya tinggal datang ke acara dan langsung mempersembahkan ma qala, hal-hal yang dikatakan. Jangan sampai ada panitia yang minta ma kutiba, nanti saya terpaksa menuliskannya.


sumber :
* Emha Ainun Nadjib. 2007. Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki. Jakarta : Penerbit Buku Kompas.