TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Saturday, March 19, 2016

Otto Iskandar Dinata "si Jalak Harupat"

Image result for otto iskandar dinata
 





“Yen Dewi Sartika jeung Oto Iskandar Dinata kudu dipieling ku urang Sunda saban taun minangka Ibu jeung Bapa Sunda” (Kongres Pamuda Sunda, 5-7 November 1956)

Bapa Sunda merupakan sebuah bentuk pengakuan komunitas masyarakat Sunda kepada Pahlawan Nasional asal Kabupaten Bandung ini. Perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan kemerdekaan, diantaranya tidak terpisahkan dari  peran dan kontribusi tokoh yang satu ini. Sejarah mencatat begitu banyak jasa yang telah diberikan oleh Si Jalak Harupat dalam ruang lingkup nasional pada fase perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia maupun dalam memajukan etnis  masyarakat Sunda terutama dalam bidang pendidikan, melalui sepak terjangnya di Organisasi Paguyuban Pasundan kurun waktu periode 1931 sampai dibubarkan oleh pendudukan tentara Jepang pada tahun 1942.

Bojong Soang merupakan tempat kelahiran R. Otto Iskandar Dinata. Tepatnya pada tanggal 31 Maret 1897 dari pasangan Raden Haji Rachmat Adam, yang pada waktu itu merupakan Kuwu Desa Bojongsoang  dan ibunda yang bernama Nyi Raden Siti Hatijah.

Perjalanan Sang Tokoh
Dari beberapa literatur bacaan tentang pejuang yang namanya diabadikan menjadi nama ruas jalan di kota-kota di Indonesia ini, tidak pernah terungkap dimana beliau  menamatkan sekolah  pendidikan dasarnya (Sekolah Rakyat). Sejarah baru mencatat untuk Kweek School Onderbouw-nya (Sekolah Guru Bawah) ditempuh di Bandung, kemudian melanjutkan pendidikan di kota Purworejo, yaitu Hogere Kweekschool (Sekolah Guru Atas). Pada masa pendidikan di SGA, R. Otto mulai  sering membaca koran De Express yang kita tahu koran ini diasuh oleh Douwes Dekker. Kegiatan membacanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Koran sehabis dibaca diselipkan di bantal tempat tidurnya. Ini dilakukan karena koran tersebut dianggap ilegal dan dilarang keras untuk beredar oleh Pemerintah Kolonialisme Belanda pada saat itu.

Pada tahun 1923, setelah beberapa tahun mengabdikan diri sebagai tenaga pengajar di salah satu sekolah di Jawa Tengah, Si Jalak Harupat menikah dengan muridnya sendiri yang bernama Soekirah, putri asisten Wedana di Bojonegoro.

Tahun 1923, mulailah beliau terlibat di organisasi besar pada jamannya dengan masuk menjadi anggota perkumpulan Boedi Oetomo cabang Bandung, kiprahnya tidak tanggung-tanggung beliau langsung menjadi salah satu tokoh sentral di organisasi tersebut dengan menjadi Wakil Ketua, dan menjadi Ketua pada bulan Desember tahun 1928.

Setelah aktif  berkiprah di Boedi Oetomo, tahun 1931 beliau aktif pula di Paguyuban Pasundan dan pada tahun itu juga terpilih menjadi Ketua pengurus besar organisasi tersebut di Bandung. Tahun 1931-1941 dilantik menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat). Kemudian menjadi anggota BPUPKI sekaligus ikut merancang UUD 1945. Dalam sidang PPKI tepatnya pada tanggal 19 Agustus 1945 menjadi orang pertama yang mengusulkan agar Soekarno-Hatta menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Setelah Indonesia merdeka R. Otto Iskandar Dinata dipercaya oleh Presiden pada saat itu untuk memangku jabatan sebagai  Menteri Negara Urusan Keamanan.

Meninggal dunia secara tragis
Ketika menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Keamanan, keadaan Pemerintahan Republik Indonesia belum stabil. Pemberontakan di dalam negeri dan adanya rongrongan dari Pemerintah Imperialis Belanda yang masih ingin menancapkan kukunya di Nusantara menyebabkan situasi negara menjadi tidak aman. Keadaan menyebabkan adanya saling curiga diantara tokoh dan pejabat negara selama kurun waktu yang tidak menentu tersebut.

Pencetus jargon perjuangan Indonesia yang sangat populer di kalangan pejuang kala itu yaitu pekik “Merdeka” meninggal dunia secara tragis dengan cara dibunuh, setelah sebelumnya ditahan selama sepuluh hari.  Tepatnya tanggal 10 Desember 1945 diculik oleh Laskar Hitam atas tuduhan sebagai mata-mata Jepang.

Empat bulan sebelum dibunuh, seperti sudah ada firasat. Pejuang yang nama julukannya disematkan sebagai nama sebuah stadion sepak bola di Kabupaten Bandung, melalui ucapannya yang di kutif oleh Surat Kabar Tjahaya Edisi 21 Agustus 1945 mengatakan “Kalaoe Indonesia Merdeka boleh diteboes dengan djiwa seorang anak Indonesia, Saja telah memadjoekan diri sebagai kandidat jang pertama oentoek pengorbanan ini” (Buku Si Jalak Harupat, Biografi R. Otto karya Prof. Dr. Hj. Nina Lubis).

Kematian tokoh yang satu ini tidak serta-merta dapat terungkap, baik motif dibalik pembunuhan maupun otak dari pelaku pembunuhan tersebut. Hal ini mungkin bisa dimaklumi karena keadaan negara yang masih darurat. Setelah 11 tahun baru pelakunya bisa ditangkap. Tepatnya pada tahun 1956. Melalui kerja keras yang tidak kenal menyerah,  Komisaris Polisi II Moch. Enduh berhasil menangkap pelaku yang merupakan anggota Laskar Hitam, yaitu Mujitaba. Meskipun kasusnya dilanjutkan ke Meja Hijau, namun motif dan otak pelaku dibalik pembunuhan sampai sekarang masih samar dan belum terungkap. Disinyalir Mujitaba hanyalah orang yang disuruh untuk melakukan pembunuhan itu.

Figur Tokoh Sunda sepanjang masa
Si Jalak Harupat, merupakan nama julukan bagi R. Otto Iskandar Dinata. Julukan tersebut disematkan karena keberaniannya dalam berbicara dan bertindak. Bukan hanya musuh yang takut dibuatnya. Teman seperjuangannya pun segan dan hormat kepada beliau. Kharisma dan keberaniannya di kalangan tokoh pemimpin Sunda hanya bisa disamai oleh Pangeran Kornel dari Sumedang.

Kepemimpinan dan kecintaannya terhadap komunitas ke-Sunda-an dibuktikan melalui Paguyuban Pasundan (PP) yang dipimpinnya, dalam rentang waktu tahun 1931 sampai 1942, PP telah berhasil membangun 51 unit sekolah ber-arsitektur  Julang Ngapak yang tersebar di 36 daerah Jawa Barat dan Banten.
 
~ Dadi Margana ~
sumber : https://smknegri3cimahiutara.wordpress.com/suara-siswa/

Saturday, March 5, 2016

Masyarakat Onta dan Masyarakat Kapal Udara (Soekarno, 1940)

Dikutip dari majalah Panji Islam tahun 1940

Buat nomor Maulud ini Redaksi ”Panji Islam” minta kepada saya supaya saya menulis satu artikel tentang: ”Nabi Muhammad sebagai Pembangun Masyarakat!” Permintaan redaksi itu saya penuhi dengan segala kesenangan hati. Tetapi dengan sengaja saya memakai titel yang lain daripada yang dimintanya itu, yakni untuk memusatkan perhatian pembaca kepada pokoknya saya punya uraian nanti.

Nabi Muhammad memang salah seorang pembangun masyarakat yang maha-maha-haibat. Tetapi tiap-tiap hidung mengetahui, bahwa masyarakat abad ke-tujuh Masehi itu tidak sama dengan masyarakat abad ke-duapuluh yang sekarang ini.

Hukum-hukum diadakan oleh Nabi Muhammad untuk membangunkan dan memeliharakan masyarakat itu, tertulislah di dalam Qur’an dan Sunah (Hadits). Hurufnya Qur’an dan Hadits itu tidak berobah, sebagai juga tiap-tiap huruf yang sudah tertulis satu kali: buat hurufnya Qur’an dan Sunah malahan “teguh selama-lamanya, tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas”.

Tetapi masyarakat selalu berobah, masyarakat selalu berevolusi. Sayang sekali ini tidak tiap-tiap hidung mengetahui. Sayang sekali, sebab umpamanya tiap-tiap hidung mengetahui, maka niscaya tidaklah selalu ada konflik antara masyarakat itu dengan orang-orang yang merasa dirinya memikul kewajiban menjaga aturan-aturan Qur’an dan Sunah itu, dan tidaklah masyarakat Islam sekarang ini sebagai seekor ikan yang terangkat dari air, setengah mati megap-megap!

Nabi Muhammad punya pekerjaan yang maha-maha-haibat itu bolehlah kita bahagikan menjadi dua bahagian: bahagian sebelum hijrah, dan bahagian sesudah hijrah.

Bahagian yang sebelum hijrah itu adalah terutama sekali pekerjaan membuat dan membentuk bahannya masyarakat Islam kelak, material buat masyarakat Islam kelak : yakni orang-orang yang percaya kepada Allah yang satu, yang teguh imannya, yang suci akhlaknya, yang luhur budinya, yang mulia perangainya. Hampir semua ayat-ayat Qur’an yang diwahyukan di Mekkah itu adalah mengandung ajaran-ajaran pembentukan rohani ini : tauhid, percaya kepada Allah yang Esa dan Maha-Kuasa, rukun-rukunnya iman, keikhlasan, keluhuran moral, keibadatan, cinta kepada sesama manusia, cinta kepada si miskin, berani kepada kebenaran, takut kepada azabnya neraka, lazatnya ganjaran syurga, dan lain-lain sebagainya yang perlu buat menjadi kehidupan manusia umumnya, dan pandemen rohaninya perjoangan serta masyarakat di Madinah kelak.

92 daripada 114 surat, hampir 2/3 Qur’an adalah berisi ayat-ayat Mekkah itu. Orang-orang yang dididik oleh Muhammad dengan ayat-ayat serta dengan sunah dan teladannya pula, menjadilah orang-orang yang tahan-uji, yang gilang-gemilang imannya serta akhlaknya, yang seakan-akan mutiara di kala damai, tetapi seakan-akan dinamit di masa berjoang. Orang-orang inilah yang menjadi material-pokok bagi Muhammad untuk menyusun Ia punya masyarakat kelak dan Ia punya perjoangan kelak.

Maka datanglah kemudian periode Madinah. Datanglah kemudian periodenya perjoangan-perjoangan dengan kaum Yahudi, perjoangan dengan kaum Mekkah. Datanglah saatnya Ia menggerakkan material itu, ditambah dengan material baru, antaranya kaum Ansar mendinamiskan material itu ke alam perjoangan dan kemasyarakatan yang teratur. Bahan-bahan rohani yang Ia timbun-timbunkan di dalam dadanya kaum Muhajirin, kaum Ansar serta kaum-Islam baru itu, dengan satu kali perintah sahaja yang keluar dari mulutnya yang Mulia itu, menjadilah menyala-nyala berkobar-kobar menyinari seluruh dunia Arab.

“Pasir di padang-padang-pasir Arabia yang terik dan luas itu, yang beribu-ribu tahun diam dan seakan-akan mati, pasir itu sekonyong-konyong menjadilah ledakan mesiu yang meledak, yang kilatan ledakannya menyinari seluruh dunia”, begitulah kira-kira perkataan pujangga Eropah Timur Thomas Carlyle tatkala ia membicarakan Muhammad.
Ya, pasir yang mati menjadi mesiu yang hidup, mesiu yang dapat meledak. Tetapi mesiu ini bukanlah mesiu untuk membinasakan dan menghancurkan sahaja, tidak untuk meleburkan sahaja perlawanannya orang yang kendati diperingatkan berulang-ulang, sengaja masih mendurhaka kepada Allah dan mau membinasakan agama Allah. Mesiu ini jugalah mesiu yang boleh dipakai untuk mengadakan, mesiu yang boleh dipakai untuk scheppend-werk, sebagai dinamit di zaman sekarang bukan sahaja boleh dipakai untuk musuh, tetapi juga untuk membuat jalan biasa, jalan kereta-api, jalan irigasi - jalannya keselamatan dan kemakmuran. Mesiu ini bukanlah sahaja mesiu perang tetapi juga mesiu kesejahteraan.

Di Madinah itulah Muhammad mulai menyusun Ia punya masyarakat dengan tuntunan Ilahi yang selalu menuntun kepadanya. Di Madinah itulah turunnya kebanyakannya “ayat-ayat masyarakat” yang mengisi 1/3 lagi dari kitab Qur’an. Di Madinah itu banyak sekali dari Ia punya sunah bersifat “sunah-kemasyarakatan”, yang mengasih petunjuk ditentang urusan menyusun dan membangkitkan masyarakat.

Di Madinah itu Muhammad menyusun satu kekuasaan “negara”, yang membuat orang jahat menjadi takut menyerang kepadaNya, dan membuat orang baik menjadi gemar bersatu kepadaNya. Ayat-ayat tentang zakat, sebagai semacam payak untuk membelanjai negara, ayat-ayat merobah qiblah dari Baitul Muqaddis ke Mekkah, ayat-ayat tentang hukum-hukumnya perang, ayat-ayat tentang pendirian manusia terhadap kepada manusia yang lain, ayat-ayat yang demikian itulah umumnya sifat ayat-ayat Madinah itu.

Di Mekkah turunlah terutama sekali ayat-ayat iman, di Madinah ayat-ayat mengamalkan itu iman. Di Mekkah diatur perhubungan manusia dengan Allah, di Madinah perhubungan manusia dengan manusia sesamanya. Di Mekkah dijanjikan kemenangan orang yang beriman, di Madinah dibuktikan kemenangan orang yang beriman.

Tetapi tidak periode dua ini terpisah sama sekali sifatnya satu dengan lain, tidak dua periode ini sama sekali tiada “penyerupaan” satu kepada yang lain. Di Mekkah adalah turun pula ayat-ayat iman. Tetapi bolehlah kita sebagai garis-umum mengatakan: Mekkah adalah persediaan masyarakat, Madinah adalah pelaksanaan masyarakat itu.

Itu semua terjadi di dalam kabutnya zaman yang purbakala. Hampir 14 kali 100 tahun memisahkan zaman itu dengan zaman kita sekarang ini. Ayat-ayat yang diwahyukan oleh Allah kepada Muhammad di Madinah itu sudahlah dihimpunkan oleh Sayidina Usman bersama-sama ayat-ayat yang lain menjadi kitab yang tidak lapuk di hujan, tidak lekang di panas, sehingga sampai sekarang masihlah kita kenali dia presis sebagai keadaannya yang asli. Syari’at yang termaktub di dalam ayat-ayat serta sunah-sunah Nabi itu, syari’at itu diterimakanlah oleh angkatan-angkatan dahulu kepada angkatan-angkatan sekarang, turun-temurun, bapak kepada anak, anak kepada anaknya lagi. Syari’at ini menjadilah satu kumpulan hukum, yang tidak sahaja mengatur masyarakat padang pasir di kota Jatrib 14 abad yang lalu, tetapi menjadilah satu kumpulan hukum yang musti mengatur kita punya masyarakat di zaman sekarang.

Maka konflik datanglah! Konflik antara masyarakat itu sendiri dengan pengertian manusia tentang syari’at itu. Konflik antara masyarakat yang selalu berganti corak, dengan pengertian manusia yang beku. Semakin masyarakat itu berobah, semakin besarlah konfliknya itu.

Belum pernah masyarakat begitu cepat robahnya sebagai di akhir abad yang ke-19 di permulaan abad yang ke-20 ini. Sejak orang mendapatkan mesin-uap di abad yang lalu, maka roman-muka dunia berobahlah dengan kecepatan kilat dari hari ke hari. Mesin-uap diikuti oleh mesin-minyak, oleh electriciteit, oleh kapal-udara, oleh radio, oleh kapal-selam, oleh tilpun dan telegraf, oleh televisi, oleh mobil dan mesin-tulis, oleh gas racun dan sinar yang dapat membakar. Di dalam 50 tahun sahaja roman-muka dunia, lebih berobah daripada di dalam 500 tahun yang terdahulu. Di dalam 50 tahun inipun sejarah-dunia seakan-akan melompati jarak yang biasanya dilalui sejarah itu di dalam 500 tahun. Masyarakat seakan-akan bersayap kilat.

Tetapi pengertian tentang syari’at seakan-akan tidak bersayap, seakan-akan tidak berkaki, seakan-akan tinggal beku, kalau umpamanya tidak selalu dihantam bangun oleh kekuatan-kekuatan-muda yang selalu mengentrok-entrokkan dia, mengajak dia kepada ”rethinking of Islam” di waktu yang akhir-akhir ini. Belum pernah dia ada konflik yang begitu besar antara masyarakat dan pengertian syari’at, seperti di zaman yang akhir-akhir ini.

Belum pernah Islam menghadapi krisis begitu haibat, sebagai di zaman yang akhir-akhir ini. ”Islam pada saat ini,” - begitulah Prof. Tor Andrea menulis di dalam sebuah majalah - ”Islam pada saat ini adalah sedang menjalani “ujian-apinya” sejarah. Kalau ia menang, ia akan menjadi teladan bagi seluruh dunia; kalau ia kalah, ia akan merosot ke tingkatan yang kedua buat selama-lamanya”.
Ya, dulu “zaman Madinah”, kini zaman 1940. Di dalam ciptaan kita nampaklah Nabi duduk dengan sahabat-sahabatnya di dalam rumahnya. Hawa sedang panas terik, tidak ada kipas listrik yang dapat menyegarkan udara, tidak ada es yang dapat menyejukkan kerongkongan, Nabi tidak duduk di tempat penerimaan tamu yang biasa, tetapi bersandarlah Ia kepada sebatang puhun kurma tidak jauh dari rumahnya itu.

Wajah mukanya yang berseri-seri itu nampak makin sedaplah karena rambutnya yang berombak-ombak dan panjang, tersisir rapih ke belakang, sampai setinggi pundaknya. Sorot matanya yang indah itu seakan-akan “mimpi”, seperti memandang ke satu tempat yang jauh sekali dari alam yang fana ini, melayang-layang di satu alam-gaib yang hanya dikenali Tuhan.

Maka datanglah orang-orang tamunya, orang-orang Madinah atau luar Madinah, yang sudah masuk Islam atau yang mau masuk Islam. Mereka semuanya sederhana, semuanya membawa sifatnya zaman yang kuno itu. Rambutnya panjang-panjang, ada yang sudah sopan, ada yang belum sopan. Ada yang membawa panah, ada yang mendukung anak, ada yang jalan kaki, ada yang naik onta, ada yang setengah telanjang. Mereka datanglah minta keterangan dari hal pelbagai masalah agama, atau minta petunjuk ditentang pelbagai masalah dunia sehari-hari. Ada yang menanyakan urusan ontanya, ada yang menanyakan urusan pemburuan, ada yang mengadukan hal pencurian kambing, ada yang minta obat, ada yang minta didamaikan perselisihannya dengan isteri di rumah.

Tetapi tidak seorangpun menanyakan boleh tidaknya menonton bioskop, boleh tidaknya mendirikan bank, boleh tidaknya nikah dengan perantaraan radio, tidak seorangpun membicarakan hal mobil atau bensin atau obligasi bank atau telegraf atau kapal-udara atau gadis menjadi dokter!

Nabi mendengarkan segala pertanyaan dan pengaduan itu dengan tenang dan sabar, dan mengasihlah kepada masing-masing penanya jawabnya dengan kata-kata yang menuju terus ke dalam rokh-semangatnya semua yang hadir. Di sinilah syari’atul Islam tentang masyarakat lahir kedunia, di sinilah buaian wet kemasyarakatan Islam yang nanti akan dibawa oleh zaman turun-temurun, melintasi batasnya waktu dan batasnya negeri dan samudra.

Di sinilah Muhammad bertindak sebagai pembuat wet, bertindak sebagai wetgever, dengan pimpinannya Tuhan, yang kadang-kadang langsung mengasih pimpinannya itu dengan ilham dan wahyu. Wet ini harus cocok dan mengasih kepuasan kepada masyarakat di waktu itu, dan cukup “karat”, cukup elastis, cukup supel, agar dapat tetap dipakai sebagai wet buat zaman-zaman di kelak kemudian hari. Sebab Nabi, di dalam maha-kebijaksanaannya itu insyaflah, bahwa Ia sebenarnya tidak mengasih jawaban kepada si Umar atau si Zainab yang duduk di hadapannya di bawah puhun kurma pada saat itu sahaja, Ia insyaf, bahwa Ia sebenarnya mengasih jawaban kepada Seluruh Peri-kemanusiaan.

Dan seluruh peri kemanusiaan, bukan sahaja dari zamannya Nabi sendiri, tetapi juga seluruh peri kemanusiaan dari abad-abad yang kemudian, abad ke-10, abad ke-20, ke-30, ke-40, ke-50 dan abad-abad yang masih kemudian-kemudian : Lagi yang masyarakatnya sifatnya lain, susunannya lain, kebutuhannya lain, hukum perkembangannya lain.

Maka di dalam maha-kebijaksanaan Nabi itu, pada saat Ia mengasih jawaban kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir 1400 tahun yang lalu itu, Ia adalah juga mengasih jawaban kepada kita. Kita, yang hidup di tahun 1940! Kita, yang hajat kepada radio dan listrik, kepada sistim politik yang modern dan hukum-hukum ekonomi yang modern, kepada kapal-udara dan telegraf, kepada bioskop dan universitas! Kita, yang alat-alat penyenangkan hidup kita berlipat-lipat ganda melebihi jumlah dan kwaliteitnya alat-alat hidup si Umar dan si Zainab dari bawah puhun kurma tahadi itu, yang masalah-masalah hidup kita berlipat-lipat ganda lebih sulit, lebih berbelit-belit, daripada si Umar dan si Zainab itu. Kita yang segala-galanya lain dari si Umar dan si Zainab itu.

Ya, juga kepada kita! Maka oleh karena itulah segala ucapan-ucapan Muhammad tentang hukum-hukum masyarakat itu bersifat syarat-syarat minimum, yakni tuntutan-tuntutan ”paling sedikitnya”, dan bukan tuntutan-tuntutan yang “musti presis begitu”, bukan tuntutan-tuntutan yang mutlak. Maka oleh karena itulah Muhammad bersabda pula, bahwa ditentang urusan dunia ”kamulah lebih mengetahui”.

Halide Edib Hanum kira-kira limabelas tahun yang lalu pernah menulis satu artikel di dalam surat-surat-bulanan ”Asia”. Yang antaranya ada berisi kalimat: “Di dalam urusan ibadat, maka Muhammad adalah amat keras sekali. Tetapi di dalam urusan yang lain, di dalam Ia punya sistim masyarakat, Ia, sebagai seorang wetgever yang jauh penglihatan, adalah mengasih hukum-hukum yang sebenarnya “liberal”. Yang membuat hukum-hukum masyarakat itu menjadi sempit dan menyekek nafas ialah consensus ijma’ ulama.”
Renungkanlah perkataan Halide Edib Hanum ini. Hakekatnya tidak berbedaan dengan perkataan Sajid Amir All tentang “kekaretan” wet-wet Islam itu, tidak berbedaan dengan pendapatnya ahli-tarikh-ahli-tarikh yang kesohor pula, bahwa yang membuat agama menjadi satu kekuasaan reaksioner yang menghambat kemajuan masyarakat manusia itu, bukanlah pembikin agama itu, bukanlah yang mendirikan agama itu, tetapi ialah ijma’nya ulama-ulama yang terkurung di dalam tradisi-pikiran ijma’-ijma’ yang sediakala.

Maka jikalau kita, di dalam abad ke-20 ini, tidak bisa mengunyah dengan kita punya akal apa yang dikatakan kita punya oleh Nabi kepada si Umar dan si Zainab di bawah puhun kurma hampir 1400 tahun,- jikalau kita tidak bisa mencernakan dengan akal apa yang disabdakan kepada si Umar dan si Zainab itu di atas basisnya perbandingan-perbandingan abad ke-20 dan kebutuhan-kebutuhan abad ke-20, maka janganlah kita ada harapan menguasai dunia, seperti yang telah difirmankan oleh Allah Ta’ala sendiri di dalam surat-surat ayat 29. Janganlah kita ada pengiraan, bahwa kita mewarisi pusaka Muhammad, sebab yang sebenarnya kita warisi hanyalah pusaka ulama-ulama faqih yang sediakala sahaja.

Di dalam penutup saya punya artikel tentang ”Memudakan Pengertian Islam” saya sudah peringatkan pembaca, bahwa segala hal itu boleh asal tidak nyata dilarang.

Ambillah kesempatan tentang bolehnya segala hal ini yang tak terlarang itu, agar supaya kita bisa secepat-cepatnya mengejar zaman yang telah jauh meninggalkan kita itu. Dari tempat-tempat-interniran saya yang terdahulu, dulu pernah saya serukan via tuan A. Hassan dari Persatuan Islam, di dalam risalah kecil ”Surat-surat Islam dari Endeh”:

Kita tidak ingat, bahwa masyarakat itu adalah barang yang tidak diam, tidak tetap, tidak “mati”, tetapi hidup mengalir, berobah senantiasa, maju, dinamis, ber-evolusi. Kita tidak ingat, bahwa Nabi s.a.w. sendiri telah menjadikan urusan dunia, menyerahkan kepada kita sendiri perihal urusan dunia, membenarkan segala urusan dunia yang baik dan tidak nyata haram atau makruh. Kita royal sekali dengan perkataan “kafir”, kita gemar sekali mencap segala barang yang baru dengan cap “kafir”. Pengetahuan Barat kafir; radio dan kedokteran kafir; sendok dan garpu dan kursi kafir; tulisan Latin kafir; yang bergaulan dengan bangsa yang bukan bangsa Islam-pun kafir!

Padahal apa, apa yang kita namakan Islam? Bukan Rokh Islam yang berkobar-kobar, bukan Amal Islam yang mengagumkan, tetapi dupa dan karma dan jubah dan celak mata! Siapa yang mukanya angker, siapa yang tangannya bau kemenyan, siapa yang matanya dicelak dan jubahya panjang dan menggenggam tasbih yang selalu berputar, dia, dialah yang kita namakan Islam.

Astagafirullah, inikah Islam? Inikah agama Allah? Ini? Yang mengkafirkan pengetahuan dan kecerdasan, mengkafirkan radio dan listrik, mengkafirkan kemoderenan dan ke-uptodate-an? Yang mau tinggal mesum sahaja, tinggal kuno sahaja, tinggal terbelakang sahaja, tinggal “naik onta” dan “makan zonder sendok” sahaja, seperti di zaman Nabi-nabi.

Islam is progress, Islam itu kemajuan, begitulah telah saya tuliskan di dalam salah satu surat saya yang terdahulu. Kemajuan karena fardhu, kemajuan karena sunah, tetapi juga kemajuan karena diluaskan dan dilapangkan oleh jaiz atau mubah yang lebarnya melampaui batasnya zaman. Progress berarti barang baru, yang lebih tinggi tingkatnya daripada barang yang terdahulu. Progress berarti pembikinan baru, ciptaan baru, creation baru, bukan mengulangi barang yang dulu, bukan mengcopy barang yang lama.

Di dalam politik Islam-pun orang tidak boleh mengcopy sahaja barang-barang yang lama, tidak boleh mau mengulangi sahaja segala sistim-sistimnya zaman “khalifah-khalifah yang besar”. Kenapa orang-orang Islam di sini selamanya menganjurkan political system “seperti di zamannya khalifah-khalifah besar” itu?

Tidakkah di dalam langkahnya zaman yang lebih dari 1000 tahun itu peri-kemanusiaan mendapatkan sistim-sistim baru yang lebih sempurna, lebih bijaksana, lebih tinggi tingkatnya daripada dulu? Tidakkah zaman sendiri menjelmakan sistim-sistim baru yang cocok dengan keperluannya, cocok dengan keperluan zaman itu sendiri? Apinya zaman “khalifah-khalifah yang besar” itu?

Akh, lupakah kita, bahwa api ini bukan mereka yang menemukan, bukan mereka yang “menganggitkan”? Bahwa mereka “menyutat” sahaja api itu dari barang yang juga kita di zaman sekarang mempunyainya, yakni dari Kalam Allah dan Sunahnya Rasul?

Tetapi apa yang kita “cutat” dari Kalam Allah dan Sunah Rasul itu? Bukan apinya, bukan nyalanya, bukan! Abunya, debunya, akh ya, asapnya! Abunya yang berupa celak mata dan sorban, abunya yang menyintai kemenyan dan tunggangan onta, abunya yang bersifat Islam-muluk dan Islam ibadat-zonder-taqwa, abunya yang cuma tahu baca Fatihah dan tahlil sahaja, tetapi bukan apinya, yang menyala-nyala dari ujung zaman yang satu keujung zaman yang lain.”

Begitulah saya punya seruan dari Endeh. Marilah kita camkan di dalam kita punya akal dan perasaan, bahwa kini bukan masyarakat onta, tetapi masyarakat kapal-udara. Hanya dengan begitulah kita dapat menangkap inti arti yang sebenarnya dari warta Nabi yang mauludnya kita rayakan ini hari. Hanya dengan begitulah kita dapat menghormati Dia di dalam artinya penghormatan yang hormat sehormat-hormatnya. Hanya dengan begitulah kita dengan sebenar-benarnya boleh menamakan diri kita umat Muhammad, dan bukan umat kaum faqih atau umat kaum ulama.

Pada suatu hari saya punya anjing menjilat air di dalam panci di dekat sumur. Saya punya anak Ratna Juami berteriak: “Papie, papie, si Ketuk menjilat air di dalam panci!” Saya menjawab: “Buanglah air itu, dan cucilah panci itu beberapa kali bersih-bersih dengan sabun dan kreolin.”

Ratna termenung sebentar. Kemudian ia menanya: ”Tidakkah Nabi bersabda, bahwa panci ini musti dicuci tujuh kali, diantaranya satu kali dengan tanah?”

Saya menjawab: “Ratna, di zaman Nabi belum ada sabun dan kreolin! Nabi waktu itu tidak bisa memerintahkan orang memakai sabun dan kreolin.” Muka Ratna menjadi terang kembali. Itu malam ia tidur dengan roman muka yang seperti bersenyum, seperti mukanya orang yang mendapat kebahagiaan besar.

Maha-Besarlah Allah Ta’ala, maha-mulialah Nabi yang Ia suruh!



Panji Islam, 1940