Sultan Hamid II adalah Sultan ke-VIII dari Kesultanan Kadriah Pontianak yang memiliki nama lengkap Sultan Abdul Hamid Alkadrie. Putra Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Sultan VII Kesultanan Pontianak. Sultan Hamid II lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Sultan Hamid Alkadrie II melewati masa kecilnya di Istana Kadriah Kesultanan Pontianak yang dibangun pada 1771 Masehi. Sultan Hamid II pernah menjadi Kepala Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada tahun 1948.
Sultan Hamid II dikenal cerdas, ia juga menjadi Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda (Ratu Juliana) dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran yaitu dengan pangkat terakhir Mayor Jenderal. Sultan Hamid II menempuh pendidikan "ELS" di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. "HBS" di Bandung satu tahun, "THS" Bandung tidak tamat, kemudian "KMA" di Breda, Belanda hingga tamat dan berpangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda. Sultan Hamid II adalah orang Indonesia pertama yang menempuh pendidikan di Akademi Militer Belanda (KMA) di Breda, Belanda, seperti AKABRI dengan pangkat letnan dua infanteri pada tahun 1936.
Sultan Hamid II adalah salah satu tokoh penting nasional dalam mendirikan Republik Indonesia bersama rekan sejawatnya, Sukarno, Muhammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, Mr. Muhammad Roem, Mohammad Natsir, dan Muhammad Yamin. Dalam sejarah pendirian RI, Sultan Hamid II pernah menjadi Ketua Delegasi BFO (Bijeenkomst Federaale Overleg/Musyawarah Istimewa Kaum Federal dan Strategi Konseptor Negara Federal) dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus 1949. Sultan Hamid II juga menjadi saksi pelantikan Sukarno sebagai Presiden RI di Keraton Yogyakarta pada 17 Desember 1949.
Sepak terjangnya di dunia politik menjadi salah satu alasan bagi Presiden Sukarno untuk mengangkat Sultan Hamid II sebagai Menteri Negara Zonder Porto Folio di Kabinet Republik Indonesia Serikat pada 1949-1950. Pada 13 Juli 1945 dalam Rapat Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, salah satu anggota Panitia, mengusulkan tentang lambang negara. Pada 20 Desember 1949, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 2 Tahun 1949, Sultan Hamid II diangkat sebagai Menteri Negara RIS. Dalam kedudukannya ini, Sultan Hamid II ditugaskan oleh Presiden Sukarno untuk mengkoordinasi kegiatan perancangan lambang negara.
Dalam buku Bung Hatta Menjawab (Hatta saat itu menjadi Perdana Menteri RIS) tertulis Menteri Priyono yang ditugaskan oleh Sukarno melaksanakan sayembara lambang negara menerima hasil dua buah gambar rancangan lambang negara yang terbaik. Yaitu Burung Garuda karya Sultan Hamid II dan Banteng Matahari karya Muhammad Yamin. Namun, yang diterima oleh Presiden Sukarno adalah karya Sultan Hamid II dan karya Muhammad Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang. Melalui proses rancangan yang cukup panjang, akhirnya pada 10 Februari 1950, Menteri Negara RIS Sultan Hamid II mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang. Hasil akhirnya adalah lambang negara Garuda Pancasila yang dipakai hingga saat ini.
Rancangan awal Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, berbentuk Garuda tradisional yang bertubuh manusia.
Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.
Rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II diresmikan pemakaiannya dalam sidang kabinet RIS yang dipimpin Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat (PM RIS) Mohammad Hatta pada 11 Februari 1950. Empat hari berselang, tepatnya 15 Februari, Presiden Sukarno memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara karya Sultan Hamid II kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Duta Merlin) Jakarta. Pada 20 Maret 1950, bentuk final lambang negara rancangan Menteri Negara RIS Zonder Forto Polio, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Sukarno dan mendapat disposisi persetujuan presiden. Selanjutnya Presiden Sukarno memerintahkan pelukis Istana bernama Dullah untuk melukis kembali gambar itu sesuai bentuk final dan aslinya.
Lambang negara ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951 yang diundangkan dalam Lembaran Negara Nomor 111 dan penjelasannya dalam tambahan Lembaran Negara Nomor 176 Tahun 1951 pada 28 November 1951. Sejak saat itu, secara yuridis gambar lambang negara rancangan Sultan Hamid II secara resmi menjadi Lambang Negara Kesatuan RI. Sebelum meninggal dunia, Sultan Hamid II yang didampingi sekretaris pribadinya, Max Yusuf Alkadrie menyerahkan gambar rancangan asli lambang negara yang sudah disetujui Presiden Sukarno kepada Haji Mas Agung–Ketua Yayasan Idayu, pada 18 Juli 1974. Gambar rancangan asli itu sekaligus diserahkan kepada Haji Mas Agung di Jalan Kwitang Nomor 24 Jakarta Pusat.
Keterlibatan dalam Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)
Pada 5 April 1950, Sultan Hamid II dikait-kaitkan dengan peristiwa Westerling (yang tidak pernah terbukti secara yuridis/hukum) sehingga harus menjalani proses hukum (tanpa hukum/politisasi) dan dipenjara selama 10 tahun oleh pemerintah Sukarno (dikarenakan pergolakan poltik pada saat itu). Sejak itulah, nama Sultan Hamid II seperti dicoret dari catatan sejarah. Jarang sekali buku sejarah Indonesia yang terang-terangan menyebutkan Sultan Hamid sebagai pencipta gambar Burung Garuda. Sejarawan Indonesia lebih sering menyebut nama Muhammad Yamin sebagai pencipta lambang negara. Gelar kepahlawanan yang seharusnya disandang Sultan Hamid II yang sangat berjasa sebagai perancang lambang negara tersebut sengaja dihilangkan oleh pemerintahan Sukarno, Suharto hingga saat ini. Kesalahan sejarah itu berlangsung bertahun-tahun hingga pemerintahan Orde Baru dan sampai dengan sekarang belum sepenuhnya terungkap.
Sultan Hamid II meninggal dunia pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang. Sudah sepatutnya negara mengembalikan nama baik Sultan Hamid II sebagai pahlawan bangsa serta pencipta lambang negara yang terlepas dari masalah politik lain yang ditimpakan kepadanya. Pemutarbalikan fakta sejarah yang terjadi saat ini sangat merugikan generasi mendatang. Sejarah harus diletakkan pada porsinya semula dan sejarah harus diluruskan agar generasi mendatang tau tentang pencipta lambang negaranya Burung Garuda, serta generasi bangsa ini tidak salah dalam melihat sejarah, begitupula termasuk memberikan penghormatan kepada Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional seperti halnya W.R. Supratman, pencipta lagu Indonesia Raya, Fatmawati, pembuat Bendera pusaka Indonesia, dan lainnya.
sumber : https://www.facebook.com/note.php?note_id=192177504157546
burung garuda adalah lambang negara indonesia, oiya kalo butuh logonya bisa kunjungi blog q
ReplyDeleteNASIB ANAK BANGSA YANG BERJASA DI KONFRENSI MEJA BUNDAR SANG PERANCANG LAMBANG NEGARA ELANG RAJAWALI GARUDA PANCASILA
ReplyDelete