Willibrordus Surendra Bawana Rendra (beberapa sumber menyebutnya Willibrordus Surendra Broto Rendra) adalah seorang penyair ternama yang terkenal dengan Bengkel Teater-nya serta kerap dijuluki sebagai si-"Burung Merak". Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater, menggubah sajak dan membacakannya, menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, juga di luar negeri.
Beliau memulai pendidikannya dari TK Marsudirini, Yayasan Kanisius pada tahun 1942 kemudian melanjutkan di sekolah Katolik St. Yosef, Solo hingga menyelesaikan Sekolah Menengah Atas-nya. Setamat SMA Rendra pergi ke Jakarta dengan maksud bersekolah di Akademi Luar Negeri tetapi ternyata akademi tersebut telah ditutup. Kemudian beliau pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada yang tidak pernah diselesaikannya.Walaupun demikian tidak berarti beliau berhenti untuk belajar.
Melalui berbagai puisi, cerpen dan drama untuk kegiatan sekolah pada masa SMP-nya, kemampuan dan bakat sastra Rendra mulai terasah. Puisinya terpublikasi di media massa untuk pertama kalinya melalui majalah Siasat. Sampai dua dekade kemudian secara rutin karya-karyanya menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi dan Siasat Baru .
Tak hanya berupa tulisan, ia juga piawai di atas panggung saat mementaskan naskah dramanya. Kiprahnya diawali dengan pementasan drama pertamanya yang berjudul "Kaki Palsu" ketika SMP hingga saat SMA karyanya yang berjudul “Orang-Orang di Tikungan Jalan” menjadi drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Yogyakarta.
Pada tahun 1954 Rendra memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika Serikat melalui beasiswa dari American Academy of Dramatical Art juga keikutsertaannya dalam seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan dari pemerintah setempat.
Baru berusia 24 tahun, beliau menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi yang dinikahinya pada 31 Maret 1959. Rendra mendapat lima anak yang dinamai Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa dan Clara Sinta. Romantisme percintaan mereka memberi inspirasi Rendra sehingga lahir beberapa puisi yang kemudian diterbitkan dalam satu buku "Empat Kumpulan Sajak".
Pada tahun 1961 Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta tetapi akhirnya vakum karena ia kembali lagi ke Amerika Serikat. Ketika pulang lagi ke Indonesia, pada 1968 beliau membentuk kembali grup teater yang diberi nama Bengkel Teater yang pada kemudian hari menjadi sangat terkenal di Indonesia serta memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air.
Pada tahun 1970 datanglah Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat ditemani oleh kakaknya RA Laksmi Prabuningrat, keduanya adalah putri darah biru Keraton Yogyakarta, mengutarakan keinginannya untuk menjadi murid Rendra dan bergabung dengan Bengkel Teater. Tak lama kemudian Rendra melamar Sitoresmi untuk menjadi istri kedua. Pada tanggal 12 Agustus 1970 Rendra mengucapkan dua kalimat syahadah pada hari pernikahannya dengan Sitoresmi dengan disaksikan dua tokoh sastra Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi. Setelah memeluk Islam namanya diubah menjadi Wahyu Sulaiman Rendra. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak yang diberi nama Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi dan Rachel Saraswati. Pernikahan kedua ini mengundang komentar sinis bahwa masuknya Rendra menjadi Islam hanya untuk poligami. Tapi alasan yang lebih prinsipil menurut Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya yaitu kemerdekaan individual sepenuhnya untuk bisa beribadah langsung kepada Tuhan tanpa harus melalui perantara orang lain.
Beberapa waktu kemudian, saat Rendra dan sahabatnya dari Australia berlibur di Kebun Binatang Gembiraloka, Yogyakarta, saat tiba di kandang merak, Rendra merasa mendapati dirinya sendiri ketika melihat seekor merak jantan berbuntut indah sedang dikerubungi merak-merak betina. “Seperti itulah saya,” tutur Rendra spontan. Ucapan itu langsung menjadi buah bibir di kalangan teman-temannya. Berawal dari kisah inilah akhirnya julukan si Burung Merak melambung. Seorang sahabat dekatnya mengakui bahwa pribadi Rendra memang suka pamer seperti burung merak jantan yang suka memamerkan bulu-bulu indahnya.
Pada tahun 1977 ketika sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya "Yang Muda Yang Bercinta", beliau dicekal pemerintah Orde Baru. Sejak itulah Rendra mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Karya-karyanya yang berbau protes pada masa aksi para mahasiswa di tahun 1978 membuatnya pernah ditahan oleh penguasa saat itu. Demikian juga pementasan dramanya yang terkenal berjudul SEKDA serta Mastodon dan Burung Kondor dilarang untuk dipentaskan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Dalam tahun 1978 juga, sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahannya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak yang diberi nama Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979 dan Sunarti pada 1981.
Seiring pencekalan oleh pemerintah, kelompok teaternyapun sukar bertahan. Untuk menanggulangi masalah ekonominya, Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada bulan Oktober 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.
Di kancah internasional, tidak hanya aktif mengikuti festival-festival puisi di beberapa negara, Rendra pun pernah membacakan sajaknya yang berjudul Mencari Bapak pada tanggal 2 Oktober 1987 dalam acara Peringatan Hari Ulang Tahun ke 118 Mahatma Gandhi di depan para undangan The Gandhi Memorial International School Jakarta. Ketika itu penampilannya mendapat perhatian dan sambutan yang sangat hangat dari para undangan. Selain itu ada sajaknya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris seperti Rendra: Ballads and Blues Poems oleh Oxford University Press pada tahun 1974.
Pada usianya yang sudah mencapai 70 tahun, Rendra tidak pernah kehabisan energi untuk aktif mengikuti berbagai kegiatan sastra selain tetap memimpin Bengkel Teater-nya, misalnya pada hari Selasa tanggal 22 Juli 2004 beliau turut serta dalam acara penutupan Festival Ampel Internasional 2004 yang berlangsung di halaman Masjid Al Akbar, Surabaya, Jawa Timur.
Pada hari Kamis 6 Agustus 2009 Rendra meninggal dunia akibat penyakit jantung koroner yang dialaminya. Jenazahnya dimakamkan di rumah sekaligus padepokan Bengkel Teater di Depok, Jawa Barat. Meskipun sudah terkenal, ternyata masih banyak keinginannya yang belum terpenuhi yang semua direkamkan dalam sebuah puisi yang dibuatnya beberapa hari sebelum beliau menghembuskan nafasnya yang terakhir. Sebuah puisi yang menyebutkan walaupun situasi dirinya semakin lemah tapi masih banyak keinginan dan semangatnya untuk mengabdi kepada Tuhan melalui karya-karyanya.
Apakah artinya kesenian,bila terpisah dari derita lingkungan?
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan?
sumber :
http://news.detik.com/read/2009/08/07/095310/1179073/10/cerita-julukan-si-burung-merak-untuk-ws-rendra
http://id.wikipedia.org/wiki/W._S._Rendra
http://www.tokohindonesia.com/biografi/article/285-ensiklopedi/1850-kepiawaian-si-burung-merak
http://regional.kompasiana.com/2010/08/06/testimony-duka-yang-tak-terperikan-selamat-jalan-mas-willy-selamat-jalan-sang-maestro/
No comments:
Post a Comment