oleh KH. A. Mustofa Bisri
Jarak waktu kehidupan kita sekarang ini
dengan kehidupan pemimpin agung kita Rasulullah SAW sudah mendekati 15 abad.
Ibarat air sungai, kita sudah sangat jauh dari mata air. Boleh jadi sudah
mendekati muara. Maka air sungai pun sudah semakin keruh, nyaris tak terlihat
lagi warnanya. Tinggal namanya saja.
Berbaur dengan limbah nilai-nilai baru
yang dikemas begitu menarik oleh kehidupan serba materi yang mendominasi dunia
dewasa ini, ajaran dan keteladanan Rasulullah SAW sering tak jelas lagi. Kalau
pun tampak, kebanyakan sekedar dagingnya belaka. Peringatan-peringatan Maulid
Nabi yang digelar dalam kemas yang begitu-begitu saja dengan isi yang kurang
lebih permanen dari Rabi’ul Awal ke Rabi’ul Awal, tak cukup berarti di
sela-sela derasnya banjir ‘pengajian lain’ yang lebih menggiurkan yang secara
rutin dan tertib melanda rumah-rumah.
Setiap kali kita menyebut suatu perangai
atau perilaku pemimpin agung kita Muhammad SAW, kita hanya terkagum-kagum
seperti mendengar dongeng nan indah. Apalagi di zaman dimana kebanyakan
pemimpin tidak lagi mecerminkan sosok pemimpin yang pantas disebut pemimpin,
pemimpin yang membantu memudahkan orang menghormati dan meneladaninya. Mereka
yang terlanjur disebut pemimpin dewasa ini, bila diingatkan akan keagungan
Rasulullah SAW, mungkin akan berdalih, “Itu kan Nabi pemimpin agung yang
mendapat wahyu Ilahi, mana mungkin kami bisa menirunya. Lagi pula kalian
sebagai umat juga tidak seperti para shahabat Nabi.”
Seperti juga air sungai yang masih
jernih ketika baru saja meninggalkan mataairnya, para pemimpin salaf masih
dapat dengan jelas kita lihat benang merah yang menghubungkan mereka dengan
kepemimpinan Rasulullah SAW. Aroma keharuman akhlak mereka masih anduk kesemerbakan uswah
hasanah-nya. Mereka yang tidak menangi Nabi Muhammad SAW
dan masih sempat melihat shahabat Abu Bakar ash Shiddiq, misalnya, masih dapat
dengan jelas melihat kelembutan; kasih sayang; dan kearifan kenabian melalui
pribadi khalifah pertamanya ini. Mereka yang tidak menangi Nabi
Muhammad SAW dan masih sempat melihat shahabat Umar Ibn Khatthab, masih dapat
dengan jelas menyaksikan kesederhanaan; kedemokratan; dan keadilan kenabian
melalui pribadi Amirul mu'minin ini. Mereka yang tidak menangi Nabi
Muhammad SAW dan masih sempat melihat sahabat Utsman Ibn ‘Affan, masih dapat
dengan jelas merasakan; kesantunan; kedermawanan; dan keikhlasan kenabian
melalui pribadi Dzun Nurain ini. Mereka yang tidak menangi Nabi
Muhammad SAW dan masih sempat mengenal shahabat ‘Ali Ibn Abi Thalib, masih
dapat dengan jelas menghayati keilmuan; kezuhudan; dan keberanian kenabian
melalui pribadi Baabul Ilmi ini. Jika mau, Anda bisa
melanjutkan sendiri dengan contoh-contoh agung lainnya seperti Tholhah Ibn
‘Ubaidillah; Zubair Ibn ‘Awwam; ‘Abdurrahman Ibn ‘Auf; Sa’d Ibn Abi Waqqash; Sa’id
Ibn Zaid; Abu ‘Ubaidah Ibn Jarrah dan masih banyak lagi dari para pemimpin
salaf --radhiaLlahu ‘anhum ajma'in-- yang meneruskan tradisi Nabi:
menebar kasih sayang. Rahmatan lil ‘aalamin!
Kalau mereka terlalu jauh, Anda masih
dapat mencari-cari dari teladan-teladan mulia yang datang belakangan, seperti
khalifah Umar Ibn Abdul ’Aziz; imam Hasan Bashari; imam Abu Hanifah; imam
Malik, imam Syafi'i; imam Ahmad; imam Junaidi; imam Ghazali; syeih Syadzily;
syeikh Abdul Qadir Jailani; dlsb. Atau yang lebih belakangan lagi:
Hadlratussyeikh Hasyim Asy’ari …hingga Kiai Abdul Hamid Pasuruan. RahimahumuLlohu
ajma’in.
Setiap bulan Rabi’ul Awal, memang banyak
di antara kita yang sengaja mendatangi tempat dimana ‘percik-percik’ kebeningan
mata air coba dikemukakan. Sekilas-sekilas kemilau kejernihannya tampak oleh
kita; namun belum sempat kita menyerap kesegarannya, sampah-sampah yang
membanjiri sungai sudah melanda kita.
Gemerlap sampah-sampah yang deras itu
begitu canggih menutupi sisa-sisa air mata air, hingga kita tak lagi dapat atau
sempat membedakan mana yang warna sampah dan mana yang warna air. Kekeruhan
yang sempurna. Masya Allah!
Meratapi nasib saja tak ada gunanya.
Kita yang berada di hilir ini masih bisa menapis dan menyaring untuk
mendapatkan air yang bersih. Apalagi zaman sekarang menyediakan berbagai
fasilitas canggih untuk itu. Tinggal kita. Maukah kita menyempatkan diri
melakukan penapisan dan penyaringan itu, atau bahkan mau bersusah payah naik ke
hulu, mencari mata air. Ataukah kita masih asyik dan sibuk dengan sampah-sampah
limbah hingga tak merasa perlu dengan air jernih nan bersih? sumber : http://gusmus.net/mata-air
No comments:
Post a Comment