Melalui buku “Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara”,
figur Njoto digambarkan lebih dekat kepada Soekarnoisme ketimbang
Marxisme-Leninisme, ideologi resmi partainya–Partai Komunis Indonesia
(PKI).
Akan tetapi, dalam diskusi menyambut Hari Kelahiran Njoto, 17 Januari
1927, Sabar Anantaguna membantah keras pernyataan tersebut. Teman
sekolah dan kolega Njoto di Lekra ini justu lebih suka menggunakan
istilah “Soekarno-Njotois”.
“Kalau orang menyebut Njoto sebagai Soekarnois, maka saya menjawab:
Soekarno-Njotois. Kenapa Soekarno dekat dengan PKI? itu karena Njoto,”
kata Sabar Anantaguna.
Sabar menganggap Njoto sebagai orang memegang teguh prinsip, tidak
mudah goyah dalam keadaan apapun. Bahkan, jika pidato-pidato Bung Karno
di tahun 1960-an semakin condong ke marxisme, maka itu tidak lepas dari
pengaruh Njoto.
“Njoto tidak semudah itu mengubah pendiriannya. Itu terlihat sejak ia masih kecil hingga terjun dalam pergerakan,” kata Sabar.
Dalam pengamatan Martin Aleida, bekas wartawan Harian Ra’jat yang
ditugaskan meng-cover Bung Karno, Njoto merupakan orang kepercayaan Bung
Karno. “Dalam banyak kesempatan di istana negara, Bung Karno sering
memanggil staffnya dan mempertanyakan keberadaan Njoto. Ini memberikan
ilustrasi betapa dekatnya Bung Karno dengan Njoto kala itu.”
Martin Aleida pun mensitir salah satu pernyataan Bung Karno saat
bertemu dengan tokoh-tokoh muda PNI, yang berkata: “Penafsiran mengenai
Soekarnoisme yang paling benar adalah Njoto.”
Sosok cerdas dan serba-bisa
Sabar Anantaguna, ketika menjadi teman sekelas Njoto di MULO Solo,
mengaku bahwa Nyoto merupakan sosok sangat cerdas dan pandai. “Sebagai
pelajar, Njoto sangat cerdas dan pandai. Tulisan-tulisannya selalu
dijadikan contoh oleh guru,” kenang Sabar Anantaguna.
S. Anantaguna mengisahkan, suatu hari guru menyuruh mereka mengarang
soal sepak bola dan harus ditulis dengan lucu. Saat itu, seingatnya,
Njoto menulis mengenai kekecewaan penjudi bola karena pertandingan batal
dilakukan akibat lapangan tergenang oleh air hujan yang lebat.
Nyoto, yang lebih tua dua tahun dibandingkan S. Ananataguna,
memperlihatkan kecerdasan dan kepandaiannya saat menjadi politikus.
Tidak mengherankan, meski baru berusia 17 tahun, Njoto sudah menjadi
anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)–semacam parlemen paska di
masa awal Republik– di Jogjakarta.
Dengan kepandaian dan kecerdasannya, Njoto menjadi seorang politisi
ulung di usia yang masih terbilang sangat muda. Selain itu, menurut S.
Anantaguna, Njoto seorang orator yang sangat hebat.
Berbeda dengan kebanyakan orator, Njoto selalu berpidato dengan
beretika dan menggunakan penjelasan rasional, tidak pernah memakai
kata-kata kasar dan makian. “Dia menggunakan retorika-retorika yang
hebat sekali dan mengena.”
Meski Njoto tidak pernah menimbah ilmu di Universitas atau belajar di
luar negeri, tetapi Sabar Anantaguna mengakui bahwa pengetahuan Njoto
luas sekali, terutama di bidang politik, filsafat, dan kebudayaan.
Njoto yang dikenal tidak banyak bicara, dikenal juga sebagai tokoh
yang punya kharisma dan pengaruh sangat kuat terhadap orang-orang di
sekitarnya.
“Saya rasa, kalau Bung Njoto tidak ada, maka Lekra tidak akan pernah
besar seperti jaman itu,” kata Martin Aleida, yang juga pernah menjadi
aktivis Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Begitu juga dengan kebesaran Partai Komunis Indonesia (PKI), tidak
lepas dari pengaruh Njoto, yang pada saat itu berhasil mendekatkan PKI
dan Bung Karno.
Selain kehebatan di bidang politik, Njoto juga dikenal sebagai
seorang pemain musik dan pencinta olahraga. Musik yang sering dimainkan
Njoto adalah electone. Namun, Njoto diketahui pandai memainkan banyak alat musik, seperti biola, piano, gitar, saxophone dan klarinet.
“Saya tidak pernah melihat Njoto memainkan Saxofone, tetapi dia
memang sangat pintar memainkan electone. Kalau ada acara di istana,
Njoto sering bergabung dengan pemain musik dan memainkan electone untuk
mengiringi tari lenso,” kenang Martin.
Martin juga menduga Njoto seorang jago seni bela diri. Salah seorang
pengawalnya, Hardono, adalah seorang ahli seni bela diri dan ada
kemungkinan Njoto belajar dari sana.
Dan, mungkin sedikit diantara kita yang tahu, bahwa Njoto pernah
menjadi penasehat Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Pemikiran Politik
Mantan pimpinan Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan sekaligus
mahasiswa filsafat STF Driyarkara, Anom Astika, mengatakan: “Orang ini
punya kemampuan, kalau dalam filsafat, berbicara dan menulis dengan
memberikan arah atau orientasi politik.”
Anom Astika kemudian menunjukkan satu petikan tulisan Nyoto yang menjelaskan hal tersebut:
“Juga ketika Lenin memulai dengan elektrifikasi, karena menurut
keyakinannya Komunisme itu adalah sistem Sovyet plus elektrifikasi
seluruh negeri, ada orang orang yang mengejek Lenin dengan menuduhnya
“orang gila”. Apa yang perlu bagi Rakyat pekerja memang “gila” di mata
burjuasi dan kaum tuan tanah, dan sebagaimana setiap tamu Sovyet kini
bisa menyaksikan: elektrifikasi seluruh negeri itu sudah terlaksana.”
Pada semua tulisan Nyoto, tambah Anom, Nyoto mengulas sejarah dengan
sangat lengkap dan detail sekali, terutama tulisannya di Bintang Merah
dan buku “Pers dan Massa”.
Meskipun banyak tulisan Nyoto yang memuji-muji Soviet, tetapi ia
selalu berusaha menempatkan revolusi Indonesia seakan berbeda dengan
revolusi Rusia. “Karakter independenya selalu nampak mencolok,” kata
mantan tahanan politik rejim soeharto ini.
Anom juga mengeritik sebuah pernyataan dalam pengantar buku “Nyoto:
Peniup Saksofon di Tengah Prahara”, yang diterbitkan oleh TEMPO, bahwa
“Nyoto menghayati Marxisme dan Leninisme, tapi tak menganggap yang
”kapitalis” harus selalu dimusuhi.”
Menurut Anom Astika, komunisme memang tidak pernah memusuhi
kapitalis, tetapi yang dimusuhi komunisme adalah relasi produksi yang
dihasilkan oleh kapitalisme.
Di luar yang diperkirakan orang, sebagaimana sering dituduhkan kepada
stalinisme, Nyoto adalah pribadi yang sangat menghargai perbedaan
pendapat dan selalu mencari arti penting dari perbedaan pendapat itu.
Njoto sangat disegani seniman
Njoto juga pernah menulis mengenai peringatan kematian Beethoven. Di
zaman baru, koran terbitan milik Lekra, ada upaya penteorisasian
aktivitas kesenian rakyat, salah satunya, penteorisasian musik
alu—semacam pertunjukan memukul alu di dalam lesung.
Di Lekra, organisasi kebudayaan tempat Njoto berkecimpung, S.
Antaguna menyatakan bahwa Njoto tidak pernah memaksakan Lekra harus
memeluk realisme sosialis. “Dalam rapat-rapat Lekra, Njoto lebih banyak
diam. Baru kalau ada yang kurang disetujui, dia akan berbicara,” kata
Antaguna.
Lekra akan menerima semua struktur dan gaya, asalkan itu berpihak
kepada perjuangan rakyat. Njoto sangat menyadari bahwa setiap seniman
punya jati diri dan ide masing-masing.
Sangat Mencintai Keluarga
Ilham Dayawan, anak kedua Njoto, mengaku bahwa ayahnya sangat sayang
kepada keluarganya. “Jika berkunjung kemanapun, ia tidak pernah
melupakan istri dan anak-anaknya.”
Ini juga dibenarkan oleh Martin dan S Anantaguna, yang sering
menyaksikan Njoto membawa anak-anaknya ke kantor Harian Ra’jat dan
kegiatan-kegiatan Lekra.
Ilham juga masih mengingat bagaimana koleksi buku-buku ayahnya, yang
memenuhi ruangan hingga menyundul langit-langit rumah. Di rumah Njoto,
di Jalan Malang, rak buku terdapat dimana-mana.
Njoto juga menyimpan banyak koleksi piringan hitam, bukan saja
koleksi musik klasik dari eropa, tetapi juga musik-musik nasional dan
daerah.
Sebagai anak yang ditinggal ayahnya terlalu cepat, dalam usia 8
tahun, ia merasa sering merasa galau dan bertanya-tanya, terutama
keberadaan Njoto pasca 1965 itu masih gelap. “Kita tidak tahu bagaimana
ia meninggal, dengan cara apa, dimana kuburnya.”
Mempertanyakan Akurasi Laporan TEMPO
Sementara itu, rumor perselingkuhan antara Njoto dengan seorang
perempuan Rusia bernama Rita dibantah keras oleh pembicara, yaitu Martin
Aleida dan S. Anantaguna.
Menurut Martin Aleida, gaya sensasional TEMPO, terutama dalam
mengangkat tokoh Rita dalam kehidupan Njoto, menyebabkan laporan
tersebut dipertanyakan akurasinya.
“Ini dikutip habis-habisan TEMPO dari Joesoef (Joesef Ishak).
Sedangkan Joesof mendengar rumor itu di penjara Salemba. Benar tidak
dengan itu?” kata Martin Aleida yang mengaku bahwa laporan TEMPO itu
mengutip habis-habisan pernyataan Joesoef Isak dalam sebuah diskusi.
Dan, Martin menyarankan, jika mau menukik lebih jauh mengenai siapa
Rita ini, ada baiknya menggali informasi dari Sibarani, karikaturis
Indonesia jaman itu, yang juga kenal dan punya hubungan dengan Rita.
Sabar Anantaguna menganggap kasus itu masih sebatas rumor, sesuatu yang belum tentu benar dan mesti diverifikasi kebenarannya.
“Njoto adalah orang yang sangat mencintai istrinya, Soetarni,” tegasnya.
Hal lain yang dibantah dari laporan TEMPO adalah pernyataan bahwa
“Njoto menghilangkan Hemingway dari catatan.” “Ini tidak benar,” kata
Martin.
Yang benar, menurut Martin, ketika terjadi kampanye anti-film Amerika dan ada baliho tentang film Amerika berjudul “The Old Man and The Sea”, di situ ada photo Ernest Hemingway sebagai penulisnya.
Ketika gambar baliho itu mau dimuat di Harian Ra’jat, Njoto
menghitamkan nama Ernest Hemingway ini. Karena Njoto sangat tahu bahwa
Hemingway adalah seorang yang berfikiran maju, dan bersahabat dengan
Fidel Castro dan sering memancing bersama-sama.
Perpecahan Nyoto-Aidit dan G.30/S
Njoto adalah orang yang sangat teguh pendirian, tidak mudah untuk
berganti ideologi. Dengan demikian, adalah tidak benar untuk
menyimpulkan bahwa Njoto telah bergeser dari seorang marxis-leninis
menjadi soekarnois.
Begitu juga dengan isu perpecahan Njoto-Aidit, yang menurut isu yang
berhembus, menyebabkan Njoto tersingkir dari perahu kepemimpinan partai.
Dalam ingatan Sabar Anantaguna, Njoto merupakan orang sangat cinta
kepada partai dan patuh kepada Aidit. Sebagai contoh, Sabar mengutip
pernyataan Nyoto bahwa “dia berangkat ke Moskow atas pesan Aidit dan di
sana ia mengejek Khrushchev (Nikita Khrushchev) di sana. Itu pertanda bahwa PKI menentang revisionisme.
Bahwa Njoto tidak tahu menahu soal G.30/S, Sabar menganggap hal itu
mungkin saja. “Kalau semua tahu, PKI akan menyelamatkan diri,” ujar
Antaguna dengan nada kelakar.
Pada intinya, menurut Anantaguna, bukan cuma Nyoto yang kemungkinan
tidak tahu soal G.30/S, tetapi banyak orang PKI memang tidak tahu. Pada
saat itu, partai sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk melakukan
parlawanan terhadap teror kaum reaksioner.
Soal loyalitas Njoto terhadap PKI, itupun tidak dapat diragukan lagi.
“Njoto mempertahankan partai hingga akhir hayatnya. Bahkan, Nyoto lebih
duluan mati dibanding Aidit,” katanya.
Satu pertanyaan diajukan Sabar Anantaguna, “Jika Njoto memang lebih
loyal kepada Bung Karno, kenapa dia tidak pergi ke Bung Karno dan
memaki-maki PKI pasca G.30/S?”
Menurut catatan Soe Hok Gie dalam “Orang-Orang Di Persimpangan Kiri
Jalan”, Aidit bertemu Njoto di Solo pada pertengahan tahun 1946, setelah
ia lepas dari penjara pulau Onrust.
sumber : http://www.berdikarionline.com/njoto-seorang-marxis-hingga-akhir-hayatnya/
Online Slots Provider Review – Lucky Club
ReplyDeleteLucky Club is a Swedish software provider luckyclub offering casino games and live dealer games on the online casino gaming scene. We have a special focus on Company · Games · Lucky · Lucky · Lucky