Romo Mangun mengawali pendidikannya di HIS Fransiscus
Xaverius, Muntilan, Magelang (1936-1943). Lalu berturut-turut di STM
Jetis, Yogyakarta (1943-1947) dan SMU-B Santo Albertus, Malang
(1948-1951). Selanjutnya ia menempuh pendidikan seminari pada
Seminari Menengah Kotabaru, Yogyakarta, yang dilanjutkan ke Seminari
Menengah Santo Petrus Kanisius di Mertoyudan, Magelang.
Pada masa-masa sekolahnya, Romo Mangun sudah ikut
dalam gerakan kemerdekaan. Ia, misalnya, ikut dalam aksi pencurian
mobil-mobil tentara Jepang. Ia pun bergabung dalam Batalyon X Divisi III
sebagai prajurit TKR. Ia turut pula dalam pertempuran di Ambarawa,
Magelang, dan Mranggen. Selain menjadi prajurit Tentara Pelajar, ia
pernah pula bertugas sebagai sopir pendamping Panglima Perang Sri Sultan
Hamengkubuwono IX memeriksa pasukan. Pernah pula ia menjabat sebagai
komandan Tentara Pelajar saat Agresi Militer Belanda I pada Kompi Kedu.
IMAM YANG MENEKUNI ARSITEKTUR
Pada tahun 1953 ia masuk ke Institut Filsafat dan
Teologi Santo Paulus di Kotabaru. Di sinilah ia bertemu mentornya, Uskup
Soegijapranata, SJ., sosok yang juga menjadi tokoh Nasional. Uskup
Soegijapranata, SJ. merupakan uskup agung pribumi pertama di Indonesia.
Tidak hanya mengajar, Soegijapranata pulalah yang menahbiskan Romo
Mangun sebagai imam pada tahun 1959.
Meski telah menjabat sebagai imam, cita-cita Romo
Mangun sejak lama untuk menjadi insinyur tidaklah hilang. Itulah
sebabnya, setelah ditahbiskan, ia justru melanjutkan pendidikannya di
Teknik Arsitektur ITB, juga pada tahun 1959. Dari ITB, ia melanjutkan
studinya di universitas yang sama dengan B.J. Habibie, yaitu di
Rheinisch Westfaelische Technische Hochschule, Aachen, Jerman pada 1960,
yang diselesaikannya pada tahun 1966. Pendidikan arsitektur inilah yang
kemudian memberinya landasan yang kuat untuk menghasilkan beragam karya
arsitektural yang justru menghadirkan nuansa baru dalam arsitektur
Indonesia. Tidak heran pula bila ia kemudian dikenal sebagai bapak
arsitektur modern Indonesia.
Sebagai arsitek, ia merancang membangun banyak
gedung. Sebut saja kompleks peziarahan Sendangsono Yogyakarta, Gedung Keuskupan
Agung Semarang, Bentara Budaya Jakarta, pelbagai bangunan lain, termasuk
beberapa gereja. Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) pun menganugerahinya
IAI Awards 1991 dan 1993 sebagai penghargaan atas beberapa karyanya.
Adapun karya arsitekturalnya di Kali Code Yogyakarta menjadi salah satu "monumen"
Romo Mangun. Ia membangun kawasan pemukiman warga pinggiran itu tidak
sebatas pembangunan fisik, tapi sampai pada fase memanusiakan manusia.
"Penataan lebih pada segi sosio-politis dan
pengelolaan kemasyarakatan," demikian tutur Romo Mangun, yang dikenal
juga sebagai bapak dari masyarakat "Girli" (pinggir kali) mengenai
"monumen"-nya tersebut. Penataan lingkungan di Kali Code itu pun
membuahkan The Aga Khan Award for Architecture pada tahun 1992. Tiga
tahun kemudian, karya yang sama ini membuahkan penghargaan dari
Stockholm, Swedia, The Ruth and Ralph Erskine Fellowship Award untuk
kategori "Arsitektur Demi Rakyat yang tak Diperhatikan."
MEMIHAK RAKYAT KECIL
Sisi humanisme Romo Mangun memang begitu kental. Pada
tahun 1986, ia mendampingi warga Kedungombo Jawa Tengah yang kala itu
memperjuangkan lahannya dari pembangunan waduk. Pembelaannya kepada
nasib penduduk Kedungombo menyebabkan presiden, yang saat itu masih
dijabat oleh Soeharto, menuduhnya sebagai komunis yang mengaku sebagai
rohaniawan. Berbagai teror dan intimidasi menghampirinya pula.
"Kalau saya dituduh melakukan kristenisasi kepada
para santri, silakan tanyakan langsung kepada warga Kedungombo. Kalau
saya dikatakan sebagai warga negara yang tidak taat kepada pemerintah,
saya jawab, ketaatan itu harus pada hal yang baik. Orang tidak
diandaikan untuk menaati perintah yang buruk. Apa yang saya kerjakan
sesuai dengan Mukadimah UUD 1945 dan Pancasila," komentarnya tenang.
Upaya yang tidak sia-sia mengingat pada tanggal 5
Juli 1994, akhirnya Mahkamah Agung RI mengabulkan tuntutan kasasi 34
warga Kedungombo tersebut. Malahan warga memperoleh ganti rugi yang
nilainya lebih besar daripada tuntutan semula.
SEBAGAI PENULIS SEKALIGUS PENDIDIK
Karya tulis yang dihasilkan Romo Mangun bukanlah
karya tulis sembarangan. Semua dihadirkan dengan alam pikir yang
kompleks. Hal ini terwujud pula dari kalimatnya yang panjang-panjang,
yang tak jarang sulit dipahami. Namun, ia berkata, "Tulisan saya
realitas. Realitas itu kompleks, tidak sederhana, tidak satu dimensi,
canggih, rumit, dan banyak segi. Kalimat mestinya begitu juga."
Kekayaan tulisan Romo tidak hanya terlihat lewat
bingkai sejarah yang dihadirkan, tetapi juga persoalan kultur turut
dibahasnya. Dalam bukunya, "Pasca-Indonesia, Pasca-Einstein" (1999),
masalah kultur dan dikotomi Barat-Timur, ia bahas secara tajam.
Dalam bidang kesusastraan, buah tangannya tidak
dipungkiri pula. Sebut saja "Burung-Burung Manyar" (1981) yang menuai
penghargaan dari Ratu Thailand Sirikit lewat ajang The South East Asia
Write Award 1983. Ia juga menjadi orang Indonesia kedua setelah Goenawan
Mohammad yang mendapat penghargaan The Professor Teeuw Award di Leiden,
Belanda, untuk bidang susastra dan kepedulian terhadap masyarakat.
Adapun karya sastra terakhirnya berjudul "Pohon-Pohon Sesawi", yang
diterbitkan setahun setelah ia meninggal.
Tidak hanya dalam bidang arsitektur dan penulisan,
Romo Mangun pun memiliki keprihatinan terhadap sistem pendidikan di
Indonesia. Ia mewujudkannya dengan mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi
Dasar. Catherine Mills, yang menulis tesis mengenai Romo Mangun,
mengutip perkataan Romo, "When I die, let me die as a primary school
teacher (kalau saya meninggal, biarkan saya meninggal sebagai guru
sekolah dasar)." Bagi Romo Mangun, pendidikan dasar jauh lebih penting
daripada pendidikan tinggi. Itulah sebabnya, ia pun pernah berujar,
"Biarlah pendidikan tinggi berengsek dan awut-awutan. Namun, kita tidak
boleh menelantarkan pendidikan dasar."
ROMO BERPULANG
Romo Mangun sebenarnya telah memasang alat pacu
jantung sejak 1990. Lalu sejak 1994, ia berniat mengurangi aktivitasnya
sebagai pembicara di berbagai seminar dan diskusi. Meski demikian, pada
tahun 1999, ia justru menghadiri kegiatan yang ia hindari itu.
Pada tanggal 10 Februari 1999, Romo Mangun menghadiri
Simposiom "Meningkatkan Buku Dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru
Indonesia", yang diselenggarakan Yayasan Obor Indonesia, di Hotel Le
Meridien, Jakarta. Ia juga berbagian sebagai pembicara pada simposium
tersebut, namun belum lama, badannya limbung, nyaris jatuh. Budayawan
Mohamad Sobary langsung membaringkannya di lantai Ruang Puri. Dan tepat
pukul 13:55 WIB, Romo Mangun dinyatakan meninggal karena serangan
jantung.
Pemakamannya dihadiri oleh ribuan pelayat. Hal ini
menunjukkan betapa ia merupakan pribadi yang sangat dikagumi sekaligus
dihormati masyarakat dari berbagai kalangan. Tidak hanya kalangan
rohaniawan dan penganut Katolik atau masyarakat Yogyakarta, berbagai
lapisan masyarakat dan agama turut menghadiri.
Cita-cita Romo Mangun memang banyak yang terlampaui.
Sebagai arsitek, ia berhasil membangun beragam bangunan yang membuahkan
penghargaan. Sebagai penulis, karyanya pun diakui di tingkat dunia.
Hanya saja, obsesinya tentang pendidikan anak-anak miskin belum
tercapai. Ia memang telah merintis Yayasan Dinamika Edukasi Dasar sejak
tahun 1980-an, sebuah wadah pengajaran bagi anak-anak miskin dan
telantar. Ia juga merintis sekolah di desa Mangunan, Kalasan, yang
merupakan karya intelektual yang nyata, yang
melakukan penyebaran ide dan kritis. Intelektual yang tidak saja
memiliki "laboratorium" tapi juga mewakili nurani bangsa.
sumber : http://biokristi.sabda.org/selayang_pandang_y_b_mangunwijaya
No comments:
Post a Comment