~ Usia bukanlah berapa lama
kita hidup, tetapi berapa lama kita akan dikenang dalam kehormatan
Seorang besar acapkali baru
terasa kadar kebesarannya tatkala dia sudah tiada. Dan selalu saja kita
terlambat menyadarinya. Tak terbilang tokoh yang terlepas dari kesadaran
historis kita, entah karena pemburaman ‘sejarah’ yang memang sering dikuasai
kaum yang menang atau lantaran kita tak pernah sungguh-sungguh jujur dalam
menilai kembali ‘sejarah’ kita sendiri. Dan karenanya, kita telah melupakan
satu nama: Tirto Adhi Suryo. Sungguh ironis, mengingat dia
adalah sosok paling penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia.
Tirto, pertama-tama harus diletakkan dalam setting sosial pergerakan nasional
bangkitnya pers pribumi, pintu gerbang bagi, terutama, kaum terjajah ke alam
demokrasi modern. Dan Tirto lah sang pemulanya. Tulisan-tulisannya yang tajam
mengajarkan kaum terjajah untuk bangkit dan berani melawan kesewenangan
kolonial, menjadi kaum mardika.
Pram (Pramoedya Ananta Toer),
adalah salah satu sastrawan Indonesia yang paling berhasil menghidupkan kisah
seorang tokoh nyata ke dalam roman bertema sejarah. Dalam karya novel
fenomenalnya Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah,
Rumah Kaca), Pram mengangkat sepak terjang tokoh kelahiran Blora, Jawa Tengah,
yang digelari Bapak Pers Nasional, yaitu Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo
(1880-1918).
Dalam kisah yang dibuatnya pada
masa pengasingan di Pulau Buru (1969-1979) itu, Pram menghidupkan sosok Raden
Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo dalam pribadi tokoh bernama Minke.
Meski sebagai putra seorang bangsawan Jawa, sosok Minke digambarkan Pram sebagai tokoh yang merangkak dari bawah untuk mengangkat harkat dan martabat bangsanya di hadapan penjajah Belanda.
Pada Bumi Manusia, Pram
menggambarkan awal kisah cinta dramatis Minke dengan Annelies, Bunga Akhir
Abad, seorang peranakan Belanda dengan pribumi bernama Sanikem yang kemudian
lebih dikenal dengan nama Nyai Ontosoroh. Sosok Nyai Ontosoroh yang tegar dan
lebih terpelajar ketimbang orang Belanda kemudian menjadi guru panutan Minke di
kemudian hari.
Diawali dengan mengeyam pendidikan
di sekolah Belanda HBS, Minke kemudian masuk sekolah kedokteran STOVIA di
Batavia, dia kemudian lebih senang dengan dunia tulis-menulis sehingga
pendidikannya terbengkalai dan dia dikeluarkan dari sekolah kedokterannya.
Pada awal kiprahnya menulis untuk
surat kabar, Minke menulis dalam bahasa Belanda, bahasa penjajah yang ketika
itu hanya mampu dibaca oleh golongan atas terpelajar, bukan masyarakat kelas
bawah, pribumi.
Hingga akhirnya suatu kali dalam
Anak Semua Bangsa, Minke diperingatkan oleh sahabatnya seorang pelukis Prancis
mantan tentara berkaki buntung, Jean Marais. Dia mengatakan bahasa Melayu lebih
banyak dipergunakan di Hindia Belanda ketika itu ketimbang bahasa Belanda.
“Kau pribumi terpelajar! Kalau mereka itu, pribumi itu, tidak terpelajar, kau harus bikin mereka jadi terpelajar. Kau harus, harus, harus bicara pada mereka, dengan bahasa yang mereka tahu. Kau tak kenal bangsamu sendiri,” kata Jean Marais.
Sebuah dakwaan yang menyakitkan
bagi Minke, sekaligus membangkitkan didih semangat. Kata-kata itu kemudian
selalu terngiang di kepalanya.
Orang bilang, ada
kekuatan-kekuatan dahsyat yang tak terduga yang bisa timbul pada samudera, pada
gunung berapi, dan pada pribadi yang tahu benar akan tujuan hidupnya. Sejak
saat itu Minke tahu benar akan tujuan hidupnya dan bertekad menyadarkan
masyarakat bangsanya dengan menulis dalam bahasa Melayu. Dia bahkan dikisahkan
belajar langsung mengenal seluk beluk kehidupan rakyat jelata dari seorang
petani Jawa bernama Trunodongso.
Pengalaman hidup tinggal bersama
keluarga Trunodongso dan merasakan sendiri pergulatan mereka membawanya kepada
kesimpulan: dunia harus tahu bagaimana para petani Jawa terusir dari sawahnya.
Dunia harus tahu selama ini rakyat jelata mengalami ketidakadilan. Minke
kemudian menuliskan kisah kehidupan Trunodongso dalam bahasa Melayu.
Sepak terjang Minke atau Tirto
Adhie Soerjo dalam perannya mendirikan organisasi dan surat kabar digambarkan
Pram dengan lebih gamblang dalam Jejak Langkah.
Pada buku ketiga dari Tetralogi
Buru ini Minke dikisahkan mendirikan organisasi pribumi pertama di masa
pergerakan nasional yaitu Sarekat Priyayi pada 1904. Tiga tahun kemudian, pada
1907, dia mendirikan surat kabar dengan nama Medan Priyayi di Bandung. Koran
ini dikenal sebagai surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa
Melayu (bahasa Indonesia), dan seluruh pekerja mulai dari pengasuhnya,
percetakan, penerbitan, dan wartawannya adalah pribumi Indonesia asli.
Dengan Medan Priyayi Minke
menjadi sosok yang lebih berani terang-terangan menyatakan ketidakadilan dan
kebusukan penjajah Belanda hingga dia akhirnya harus ditangkap dan diasingkan.
Di penghujung perjalanan
hidupnya dalam Rumah Kaca, Minke tetap dikagumi tak hanya oleh bangsanya
sendiri tapi juga oleh penjajah Belanda. Dia tetap menyatakan perlawanannya
terhadap penjajah dan menyerukan kebangkitan kesadaran kepada bangsanya,
seperti tertuang dalam kata-kata yang diucapkannya menjelang akhir hayat :
“Kita semua harus menerima kenyataan, tapi menerima kenyataan saja adalah pekerjaan manusia yang tak mampu lagi berkembang. Karena manusia juga bisa membikin kenyataan-kenyataan baru. Kalau tak ada orang mau membikin kenyataan-kenyataan baru, maka ‘kemajuan’ sebagai kata dan makna sepatutnya dihapuskan dari kamus umat manusia.”
Karya Pram ini mendapat
penghargaan dari seluruh dunia dan diakui sebagai karya sastra terbaik. Karya
ini sempat dibredel saat Orde Baru berkuasa karena dianggap menyebarkan paham
Marxisme. Walau lagi-lagi tak jelas, mana paham Marxisme yang terdapat di buku
ini.
Membaca Tirto lewat Sang Pemula
Jika dalam Tetralogi yang di
tulisannya semasa di pengasingan Pulau Buru 1969-1979 Pramoedya menceritakan
sosok Tirto dalam roman sejarah melalui kisah hidup tokoh Minke maka dalam Sang
Pemula Pramoedya menggambarkan sepak terjang Tirto dalam bentuk biografi.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo
(TAS) lahir di Blora, Jawa Tengah, pada 1880. Djokomono adalah nama masa
kecilnya. Putra bangsawan Jawa ini mengenyam pendidikan di sekolah HBS Belanda
kemudian melanjutkan studi sebagai mahasiswa kedokteran di STOVIA, Batavia.
Namun TAS tak menyelesaikan sekolah dokternya lantaran dia lebih sibuk menulis
di media massa.
Perjalanan nasib membawanya
pindah ke Bandung dan menikah. Di Bandung TAS menerbitkan surat kabar Soenda
Berita (1903-1905) dan Medan Prijaji (1907) serta Putri Hindia (1908). Medan
Prijaji beralamat di jalan Naripan Bandung yaitu di Gedung Kebudayaan (sekarang
Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan-YPK).
Medan Prijaji dianggap sebagai
surat kabar nasional pertama karena menggunakan bahasa Melayu (bahasa
Indonesia), dan seluruh proses produksi dan penerbitannya ditangani pribumi
Indonesia asli.
Menurut catatan Dr. Rinkes, Medan
Prijaji diminati oleh masyarakat karena dalam salah satu rubrik terdapat
penyuluhan hukum gratis. Simpati pun datang melimpah dari masyarakat hingga
pada tahun ketiga tepatnya Rebo 5 Oktober 1910, Medan Prijaji berubah
menjadi harian dengan 2000 pelanggan.
Medan Prijaji merupakan Koran pertama di Indonesia dibawah naungan TAS. Koran ini
dianggap sebagai Koran pertama di Indonesia. Koran pertama ini disebabkan
hampir seluruh karyawan Medan Prijaji adalah Boemi Poetra atau
penduduk Indonesia dengan menggunakan bahasa melayu.
Koran yang berpusat di kota
Bandung ini memposisikan diri sebagai corong suara publik dengan moto “Orgaan
Boeat bangsa jang terperentah di H.O. tempat akan memboeka swaranya
anak-Hindia” salah satu moto yang dianggap berani dan membentuk opini
umum.
Tulisan-tulisan TAS yang begitu
berani langsung menuding muka orang. Tak ada bijakan kolonial yang dianggap
memberatkan rakyat luput dari penanya. Koran ini benar-benar menjadi
ajang”perkelahian” dibeberapa daerah seperti Banten, Rembang, Cilacap, Bandung.
Tulisan-tulisannya kerap diperkaarakan oleh ppihak yang merasa disudutkan dari
pemberitaannya.
Salah satu kasus dari sekian
banyak tulisan di muat pada Medan Prijaji No. 19-1909 mendappat
dukungan 236 warga desa Bapangan Purworejo yang pasang badan. Pada gilirannya
tulisan ini memuat TAS dibuang selama 2 bulan di Lampung. Kasus ini kemudian
mendapat perhatian pers Belanda.
Selain di bidang pers, TAS juga
aktif dalam pergerakan nasional. Dua tahun sebelum Budi Utomo lahir TAS telah
mendirikan Sarekat Priyayi, organisasi pribumi pertama bercorak modern,
berwawasan bangsa ganda Hindia, dan menggunakan lingua pranca Melayu sebagai
bahasa bangsa-bangsa yang terperentah. Syarikat Priayi berhasil melahirkan
Medan Priyayi pada 1907 yang membuat nama TAS semakin menonjol.
Kemudian TAS mendirikan Sarikat
Dagang Islam di Jakarta yang kelak berubah menjadi Sarekat Islam bersama H.O.S.
Tjokroaminoto.
Pada tahun 1909, TAS membongkar
skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo, A. Simon. Delik pers pun
terjadi, TAS dituduh menghina pejabat Belanda, terkena Drukpersreglement 1856
(ditambah Undang-undang pers tahun 1906). Meskipun TAS memiliki forum
privilegiatum (sebagai ningrat, keturunan Bupati Bojonegoro) ia dibuang ke
Teluk Betung, Lampung, selama dua bulan.
Pada pertengahan kedua tahun
1910, Medan Prijaji diubah menjadi harian ditambah edisi Mingguan, dan dicetak
di percetakan Nix yang beralamat di Jalan Naripan No 1 Bandung. Masa kejayaan
Medan Prijaji antara 1909-1911 dengan tiras sebanyak 2000 eksemplar.
Pemberitaan-pemberitaan harian
Medan Prijaji sering dianggap menyinggung pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
saat itu. Di tahun 1912 Medan Prijaji terkena delik pers yang dianggap menghina
Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putera R.
Adipati Djodjodiningrat (suami Raden Adjeng Kartini) menggantikan ayahnya. TAS
pun dijatuhi pembuangan ke pulau Bacan di Halmahera selama 6 bulan.
Sekembali dari Ambon, pada
1914-1918, TAS sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada 7 Desember 1918.
Mula-mula dia dimakamkan di Mangga Dua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor
pada tahun 1973.
Di nisannya tertulis, Perintis
Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia, Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers
Nasional.
Pada tanggal 7 Desember 1918,
seperti digambarkan oleh mas Marko, seorang murid dan pengagum Tirto, dalam
tulisannya: “dengan diantar rombongan sangat kecil jenazahnya dibawa ke
peristirahatan terakhirnya di Mangga Dua.” Tak satupun koran memuat kabar
kematiannya. Ia benar-benar telah dilupakan oleh bangsanya, yang dicintai, dan
dididiknya untuk maju. Sementara itu, perjuangan pembebasan umat manusia, yang
merupakan bagian terbesar dari seluruh perjuangan hidup dan cita-cita Tirto
Adhi Soeryo, lambat laun mengalun. Ia telah terbaring tenang.
Sebagaimana ditulis Pram dalam Sang Pemula: “ Seperti jamak menimpa seorang pemula, terbuang setelah madu mulia habis terhisap, sekiranya ia tak mulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana sebuah nation seperti Indonesia akan terbentuk?” **
Pramoedya dalam Sang Pemula
seolah ingin menyeru sekaligus menunjukkan kepada bangsa ini bahwa Indonesia
pernah punya seorang pejuang berpena tajam pembela kaum tertindas yang ditakuti
penjajah Belanda. Sebagaimana ditulis Pramoedya dalam Jejak Langkah, tak
mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal
kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak
pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.
Melalui sosok TAS, Pramoedya
sesungguhnya mengingatkan akan pentingnya keberanian dalam menulis. Orang boleh
pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam
masyarakat dan dari sejarah.
Benarkah Tirto seorang komunis?
Berkat Pram, sosok Tirto mulai dikenal.
Tapi karena Pram pula Orde Baru menganggap Tirto adalah seorang komunis.
Pramoedya adalah tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA) yang dicap sebagai
organisasi sayap Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh Orde Baru. Pram juga
sempat dibuang ke Pulau Buru sebagai tahanan politik.
Karena itu peran Tirto seolah
tersisihkan dari sejarah.Pemerintah Indonesia baru memberikan gelar pahlawan
Nasional pada tahun 2006. 100 Tahun setelah Tirto mendirikan surat kabar Medan
Prijaji tahun 1906. Inilah surat kabar pertama yang dikelola pribumi dan berani
mengkritisi pemerintah kolonial Belanda.
Sebelumnya Tahun 1973
pemerintahan Soeharto merasa cukup dengan memberikan gelar ‘Perintis Pers
Indonesia’ pada Tirto.
Keluarga Tirto pun meyakini
leluhur mereka bukan seorang komunis. Okky Tirto adalah keturunan Tirto yang
menjadi wartawan, aktivis sekaligus pemerhati sejarah. Pada merdeka.com, dia membeberkan langkah politik
Tirto.
“Paham komunis yang dibawa HFJ Sneevliet itu baru masuk sekitar tahun 1913. Sementara kalau kita lihat tahun 1913 itu Tirto sudah mengalami kemunduran. Koran-koran Tirto sudah dibredel semua dan dia dibuang ke Ambon. Jadi tentu Tirto bukan komunis, karena komunis baru muncul setelah karir politik Tirto berakhir,” kata Okky.
Okky menilai Pram mengidolakan
Tirto bukan karena Tirto seorang komunis. Tetapi lebih karena peran Tirto di
awal kebangkitan nasional. Tirto adalah tokoh terpenting saat awal pergerakan
nasional. Dia menjadikan pers sebagai bentuk perlawanan pada kolonialisme.
Secara sederhana ideologi yang
digunakan Tirto adalah menyatukan semua golongan senasib. Semua dipersatukan
sebagai kaum terjajah atau yang disebutnya bangsa yang terprentah. Sementara
Tirto menyasar golongan menengah untuk bergerak. Dia berpendapat kelas menengah
bisa mendorong perubahan.
Hal ini terlihat dari slogan
surat kabar Medan Prijaji yang didirikannya. “Bagi raja-raja, bangsawan baik
usul dan pikiran (kaum intelektual), priyayi, hingga saudagar yang dipersamakan
dengan Anak Negeri di seluruh Hindia Belanda.”
Tirto mendirikan organisasi
modern pertama ‘Sarikat Prijayi’ tahun 1906. Dua tahun sebelum Boedi Utomo
lahir tahun 1908. Sarikat Prijaji dinilai lebih mencerminkan nasionalisme
karena menggunakan bahasa Melayu dan keanggotaannya bebas. Sementara Boedi
Utomo berbahasa Jawa dan khusus untuk priyayi Jawa.
Sarikat Priyayi didirikan di
Batavia. Organisasi awal ini bertujuan membantu para pelajar dengan menyediakan
pemondokan, beasiswa dan buku-buku.
Tirto juga bergabung dengan
Boedi Oetomo. Tapi dia tidak kerasan karena Boedi Oetomo lebih didominasi
tokoh-tokoh tua yang tidak progresif.
Tahun 1909, Tirto mendirikan
Sarikat Dagang Islamiyah (SDI). Perkumpulan ini dibuat untuk melawan monopoli
pedagang China. Tirto menyebut anggota serikat ini ‘Vrije Burgers’ atau ‘Kaum
Mardika’. Mereka yang menggantungkan hidupnya bukan sebagai pegawai kolonial
Hindia Belanda. Kaum Mardika ini beranggotakan masyarakat menengah yang bekerja
sebagai pedagang dan petani.
Memang pada perkembangannya SDI
berkembang menjadi Sarikat Islam. Kemudian beberapa tokoh Sarikat Islam
terpengaruh komunis dan sehingga ada aliran SI perah dan SI putih. Tapi itu
terjadi tahun 1919, saat Tirto sudah meninggal dan tak lagi mengurusi SDI sejak
lama.
Tirto memang bukan komunis, tapi
sejarawan Orde Baru tak pernah mengkajinya. Tanpa takaran yang jelas, enak saja
cap komunis atau bukan komunis diberikan pada seseorang. Maka gelar pahlawan
buat tokoh ini pun harus menunggu 100 tahun.
Jangan salahkan ketidaktahuan,
tapi hanya yang bebal yang tetap hidup dalam ketidakmengertian…
sumber : http://serbasejarah.wordpress.com/2013/02/11/raden-mas-djokomono-tirto-adhi-soerjo-t-a-s-jurnalis-organisatoris-propagandis/
No comments:
Post a Comment