TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Thursday, January 17, 2013

Soe Hok Gie : Seorang Dosen, Seorang Pengacara dan Seorang Mahasiswa

Pagi itu saya datang ke biro rektor UI. Setelah saya menyelesaikan urusan saya di sana, saya mampir ke tempat Boy Mardjono, S.H. Dia adalah kepala bagian kriminologi UI dan juga menjadi pengajar di FHUI. Orangnya masih muda dan serius kalau bekerja.

Kami ngobrol-ngobrol,  dan Boy bercerita bahwa lembaganya baru saja menerima mayat seorang polisi. “Mengerikan, beratnya hanya tigapuluh kilo lebih. Kurus dan tulang pipinya telah bersatu dengan kulit. menurut polisi, ia orang gila dan menolak makan di penjara. Tetapi kami memeriksanya, ternyata dia menderita sejenis penykit di mulutnya. Sehingga dia tidak bisa makan dan menelan.sakit sekali. Kalau sekiranya dibawa ke dokter, dengan mudah dia bisa disembuhkan. Kita dapat membayangkan penderitaanya sebelum mati. Lapar, tetapi tidak dapat menelan makanan. Ternyata laporan-laporannya pada polisi tidak dihiraukan. Dan setelah bertempur dengan kelaparan dan kesakitan, beberapa puluh hari kemudian dia mati.”

“Kenapa tidak dibawa  ke RSUP?” Tanya saya secara naïf sekali. Boy tersenyum, tidak menjawab tapi saya mengerti maksudnya. Menurut Boy, tahanan-tahanan yang ada di seksi polisi amat menderita hidupnya. Tidak dipedulikan, menunggu perkaranya berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tidak diperiksa dan dipedulikan.
Seperti sang mayat tadi. Bagi pegawai penjara, sang mayat tadi hanya nomor dari urutan tahanan-tahanan yang ada. Tak ada yang mau peduli dengan keluhan-keluhannya, dan setelah mati, daftarnya hanya dicoret begitu saja. Nomor sekian tidak ada lagi. Wajahnya menjadi wajah tak bernama.

Sudah hampir setahun saya tidak bertemu Yap Thiam Hien, S.H. Saya menghormatinya karena sikapnya yang tegas dan berani, tetapi selalu berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan yang kuat.

Sesudah saya menyelesaikan soal-soal ‘dinas’, ia berpesan pada saya sebelum saya minta diri. “Hok Gie”, tiap hari saya menghadapi ketidak adilan. Dari jam delapan sampai jam duabelas, orang-orang datang pada saya, menceritakan dan meminta tolong mengurus perkaranya.” Saya tahu, ia selalu mengulurkan tangan pada mereka yang ditindas dan diperlakukan sewenang-wenang.

“Hati saya hancur, ingin berontak terhadap segala ketidak adilan ini. Seorang laki-laki dewasa di hadapan saya melihat penegak-penegak hukum menginjak-injak hukum,” katanya sayu.
Dari seorang temannya saya mendengar betapa ‘tergugah hatinya’ ketika salah seorang ‘langganannya’ pemuda luntang-lantung Wileem Sangadji mati dalam tahanan polisi Glodok, setelah ditahan bertahun-tahun, tanpa pernah diperiksa.  Mati dibunuh dalam suatu perkelahian di penjara. Ia menulis sebuah surat kiriman, dimana ia memperingati kita bahwa apa yang terjadi pada Wileem Sangadji sekarang, dapat pula terjadi pada kita besuk. Hanya pada Dia-lah kita dapat mengharapkan keadilan yang benar-benar.
Yap sebagai seorang pengacara yang terkenal dan ‘established’, terbakar idealismenya melihat kenyataan hakim-hakim korup, jaksa-jaksa makan sogokan, polisi-polisi memeras, dan tahanan-tahanan mati dipenjara tanpa diperiksa.

ADA suatu hal yang saya tidak mengerti tentang Fakultas Hukum di Indonesia (maafkan, saya tidak belajar hukum). Begitu banyak tahanan yang ada, Yang terkatung-katung nasibnya di penjara. Dan ada begitu banyaknya mahasiswa hukum, beribu-ribu, dan hampir tiap universitas (entah berapa ratus jumlahnya) mempunyai fakultas hukum. Apakah tidak sebaiknya, mahasiswa (paling tidak yang jurusan pidana) sebelum mereka lulus, mereka harus mengurus sebuah perkara yang telah terkatung berbulan-bulan atau bertahun-tahun di kota mereka. Atau mengurus sebuah kasus pelanggaran hukam (misalnya rumah diserobot oleh tentara). Sehingga dengan demikian mereka dapat melihat secara konkret tahanan-tahanan yang kurus, polisi-polisi yang menjadi maling, ibu-ibu yang kemudian menghayatinya secara lebih emosional. Agar hukum tidak menjadi teori-teori yang njelimet,  pasal-pasal sekian, dan nomor-nomor mati dari suatu UU…

Bagi saya lebih berguna mengurus perkara seorang tukang sayur yang diperlakukan sewenang-wenang oleh polisi daripada mengurus suatu seminar besar yang tak dapat dilaksanakan. Dan senat mahasiswanya lebih berguna mengurus ‘civic mission’nya ke penjara-penjara daripada menstensil diktat tentang rule of law.

Ini hanyalah ide seorang mahasiswa yang tidak tahu tentang liku-liku hukum, namun melihat kenyataan sehari-hari.

No comments:

Post a Comment