Kami ngobrol-ngobrol, dan Boy bercerita bahwa lembaganya baru saja
menerima mayat seorang polisi. “Mengerikan, beratnya hanya tigapuluh kilo
lebih. Kurus dan tulang pipinya telah bersatu dengan kulit. menurut polisi, ia
orang gila dan menolak makan di penjara. Tetapi kami memeriksanya, ternyata dia
menderita sejenis penykit di mulutnya. Sehingga dia tidak bisa makan dan
menelan.sakit sekali. Kalau sekiranya dibawa ke dokter, dengan mudah dia bisa
disembuhkan. Kita dapat membayangkan penderitaanya sebelum mati. Lapar, tetapi
tidak dapat menelan makanan. Ternyata laporan-laporannya pada polisi tidak
dihiraukan. Dan setelah bertempur dengan kelaparan dan kesakitan, beberapa
puluh hari kemudian dia mati.”
“Kenapa tidak dibawa ke RSUP?” Tanya saya secara naïf sekali. Boy
tersenyum, tidak menjawab tapi saya mengerti maksudnya. Menurut Boy,
tahanan-tahanan yang ada di seksi polisi amat menderita hidupnya. Tidak
dipedulikan, menunggu perkaranya berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Tidak
diperiksa dan dipedulikan.
Seperti sang mayat tadi. Bagi
pegawai penjara, sang mayat tadi hanya nomor dari urutan tahanan-tahanan yang
ada. Tak ada yang mau peduli dengan keluhan-keluhannya, dan setelah mati,
daftarnya hanya dicoret begitu saja. Nomor sekian tidak ada lagi. Wajahnya
menjadi wajah tak bernama.
Sudah hampir setahun saya tidak
bertemu Yap Thiam Hien, S.H. Saya menghormatinya karena sikapnya yang tegas dan
berani, tetapi selalu berlandaskan pada prinsip-prinsip keadilan yang kuat.
Sesudah saya menyelesaikan
soal-soal ‘dinas’, ia berpesan pada saya sebelum saya minta diri. “Hok Gie”,
tiap hari saya menghadapi ketidak adilan. Dari jam delapan sampai jam duabelas,
orang-orang datang pada saya, menceritakan dan meminta tolong mengurus
perkaranya.” Saya tahu, ia selalu mengulurkan tangan pada mereka yang ditindas
dan diperlakukan sewenang-wenang.
“Hati saya hancur, ingin berontak
terhadap segala ketidak adilan ini. Seorang laki-laki dewasa di hadapan saya
melihat penegak-penegak hukum menginjak-injak hukum,” katanya sayu.
Dari seorang temannya saya
mendengar betapa ‘tergugah hatinya’ ketika salah seorang ‘langganannya’ pemuda
luntang-lantung Wileem Sangadji mati dalam tahanan polisi Glodok, setelah
ditahan bertahun-tahun, tanpa pernah diperiksa. Mati dibunuh dalam suatu perkelahian di
penjara. Ia menulis sebuah surat kiriman, dimana ia memperingati kita bahwa apa
yang terjadi pada Wileem Sangadji sekarang, dapat pula terjadi pada kita besuk.
Hanya pada Dia-lah kita dapat mengharapkan keadilan yang benar-benar.
Yap sebagai seorang pengacara
yang terkenal dan ‘established’, terbakar
idealismenya melihat kenyataan hakim-hakim korup, jaksa-jaksa makan sogokan, polisi-polisi
memeras, dan tahanan-tahanan mati dipenjara tanpa diperiksa.
ADA suatu hal yang saya tidak
mengerti tentang Fakultas Hukum di Indonesia (maafkan, saya tidak belajar hukum).
Begitu banyak tahanan yang ada, Yang terkatung-katung nasibnya di penjara. Dan
ada begitu banyaknya mahasiswa hukum, beribu-ribu, dan hampir tiap universitas
(entah berapa ratus jumlahnya) mempunyai fakultas hukum. Apakah tidak
sebaiknya, mahasiswa (paling tidak yang jurusan pidana) sebelum mereka lulus,
mereka harus mengurus sebuah perkara yang telah terkatung berbulan-bulan atau
bertahun-tahun di kota mereka. Atau mengurus sebuah kasus pelanggaran hukam
(misalnya rumah diserobot oleh tentara). Sehingga dengan demikian mereka dapat
melihat secara konkret tahanan-tahanan yang kurus, polisi-polisi yang menjadi
maling, ibu-ibu yang kemudian menghayatinya secara lebih emosional. Agar hukum
tidak menjadi teori-teori yang njelimet, pasal-pasal sekian, dan nomor-nomor mati dari
suatu UU…
Bagi saya lebih berguna mengurus
perkara seorang tukang sayur yang diperlakukan sewenang-wenang oleh polisi
daripada mengurus suatu seminar besar yang tak dapat dilaksanakan. Dan senat
mahasiswanya lebih berguna mengurus ‘civic
mission’nya ke penjara-penjara daripada menstensil diktat tentang rule of law.
Ini hanyalah ide seorang
mahasiswa yang tidak tahu tentang liku-liku hukum, namun melihat kenyataan
sehari-hari.
Sumber : Buku Zaman Peralihan
No comments:
Post a Comment