TutupJangan Lupa Klik Like Dan Follow ya!

Monday, April 9, 2012

"Menaklukkan Gunung Slamet" oleh Soe Hok Gie



Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth. (Walt Whitman, Song of the Open Road)

Ketika saya menyatakan akan memimpin pendakian Gunung Slamet bersama para mahasiswa, seorang kawan menyatakan bahwa saya gila. "Gunung itu tingginya 3.422 m, gunung nomer dua di Pulau Jawa. Dan menurut Junghun, ia mendaki gunung itu dengan merangkak. Di puncaknya pada musim-musim tertentu suhu dapat turun sekitar nol derajat." Apa yang dikatakan kawan itu memang benar. Seorang rekan organisasi pendaki gunung di Bandung, Wanadri, mengatakan bahwa ketika ia masih bersama rombongan RPKAD mendaki dari lereng selatan, ia memerlukan waktu sebelas jam tanpa istirahat. Lagipula di Gunung Slamet tak ada air. Akhirnya saya putuskan bahwa saya akan mendaki gunung ini. Enam kawan yang terkuat berjalan seminggu sebelum kami. Sepulangnya, mereka memberikan semua informasi yang diperlukan. Dan selama itu saya mempersiapkan hal-hal yang perlu di Jakarta. Dalam rencana, peserta yang akan turut berjumlah 15 orang. Biaya transpor termurah kira-kira Rp. 400,00 pp. Sehingga diperlukan kira-kira Rp. 6.000,00 untuk biaya perjalanan. Uang kas Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam UI) hanya ada Rp. 1.200,00. Jadi saya harus mencari kira-kira Rp. 4.800,00.
`Mengemis’
Seminggu sebelum berangkat kawan – kawan mulai `mengemis’. Hasilnya terkumpul Rp. 3.300,00 ditambah dengan obat-obatan (dari Apotik Titi Murni) dan beberapa buah barang kalengan. Kekurangannya dipikul oleh kawan-kawan, yang rata-rata juga tidak punya uang. Tetapi akhirnya, kami memutuskan untuk berangkat. Setiap kali kami minta sumbangan kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrasi dan slogan – slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal akan objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung. Melihat alam dan rakyat dari dekat secara wajar dan di samping itu untuk menimbulkan daya tahan fisik yang tinggi. "Libur ini kami ingin mendaki gunung yang berat," kami terangkan pada mereka.
Start
Tanggal 22 Agustus pagi, lima belas mahasiswa UI berkumpul di Gambir untuk menuju ke Tegal. Saya sendiri bertindak sebagai pemimpin rombongan Mapala ini. Di antara peserta terdapat 3 mahasiswi, Luki Bekti, Olga Katuk dan Mayang Sari. Ketiganya telah berpengalaman mendaki gunung. Perjalanan Jakarta-Tegal ditempuh dengan cepat. Demikian pula Tegal-Slawi. Dari Slawi mulailah timbul persoalan-persoalan sulit.
Dalam rencana, dari Slawi kami naik truk omprengan ke Bumijawa yang berjarak sekitar 30 km ke arah selatan. Tetapi ternyata daerah yang harus kami lalui tertutup, karena dipakai latihan AKABRI. Kami mencoba mencari berbagai keterangan tentang kemungkinan untuk melewati daerah latihan. Pamongpraja yang kami tanyai tidak tahu. Polisi yang kami kontak memberikan keterangan yang tidak meyakinkan. Akhirnya kami pergi ke Koramil. Seorang bintara menemui kami. Kami jelaskan tujuan kami dan ia sangat ramah. Ternyata kami dapat melalui jalan tadi, bahkan bintara ini mencarikan kendaraan. Ia berbicara terus terang dan sangat simpatik. Memang di desa-desa dan kota-kota kecil terasa betapa eratnya hubungan antara tentara dan rakyat. Sore hari kami numpang truk untuk AKABRI menuju sebuah desa kira-kira 10 km dari Bumijawa untuk putar film di sana, mereka membawa rombongan mahasiswa ini. Dalam perjalanan, kami berkenalan dengan seorang pemuda yang berasal dari Bumijawa. Orangnya sangat ramah dan terbuka. Tak lama kemudian rombongan telah menjadi sahabat-sahabatnya.
Pukul setengah enam kami sampai ke desa tersebut. Truk berhenti dan perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Sepanjang jalan saya ngobrol dengan pemuda dari Bumijawa tadi. Jalannya melalui bukit-bukit dan di sana-sini terlihat hutan-hutan pinus. Kami melalui pula daerah latihan taruna-taruna AKABRI yang beberapa di antaranya adalah teman-teman di SMA dulu. Mereka ribut dan mulai membuat jokes, karena melihat di antara kami terdapat mahasiswi.
Setelah melewati rombongan AKABRI, kami mulai hutan pinus. Matahari terbenam dan di bawah kami terlihat pemandangan yang indah sekali. Bukit-bukit botak dan sungai-sungai kecil yang melenggok seperti gadis genit yang sedang berjalan. Hutan pinus membuat suasana lebih indah. Angin senja yang segar membuat kami asyik dengan pikiran masing-masing.
Saya tanyakan kepada pemuda ini tentang suasana di daerahnya. Daerahnya adalah daerah PNI dan NU. Golongan-golongan ini tidak akur. Sehari sebelum 17 Agustus, Lesbumi membuat pertunjukan. Kemudian LKN. Pada pertunjukan kedua ini terdapat clash. Sebagai Hansip ia harus melerainya. Ia menyatakan kesedihannya atas "perang-perang kecil" yang selalu terjadi di pedalaman Jawa Tengah.
Dahulu di daerah ini terdapat orang-orang PKI yang bekerja di Jawatan Kehutanan. Mereka menebangi hutan. Dicegah sulit sekali karena PKI kuat dan menjalankan teror. Ketika meletus Gestapu terjadi hal yang sebaliknya. Beberapa ratus PKI dibunuh. "Itu tempatnya di bawah bukit dekat pohon-pohon pisang," katanya. Sebagian dari mereka PKI lari ke hutan-hutan dan membakar hutan. Daerah itu sekarang telah aman. Di desa yang terpencil ini terdapat sebuah kamp tawanan untuk PKI. Mereka disuruh bekerja untuk penduduk setempat dan hasilnya untuk makan mereka sendiri.
Saya sedih sekali melihat benih-benih pertentangan politik yang disebarkan dari Jakarta telah tumbuh ke desa-desa yang terpencil. Mungkin yang bertengkar adalah DPP PNI dan NU karena soal-soal rezeki, tetapi apakah ini harus juga memecah sahabat – sahabat yang kebetulan ormas – ormasnya GPM dan Ansor. Di rumah orang-orang PNI masih tetap terpasang gambar bekas Presiden Soekarno. Seorang letkol yang saya temui pada waktu latihan AKABRI menyatakan, bahwa di Bumijawa Presiden RI adalah Soekarno.
Pemuda ini bertanya pada saya tentang KAMI dan situasi Jakarta. Dia sangat ingin tahu tentang ibukota. Saya jelaskan, situasi Jakarta seperti apa adanya. "Sebagian dari pemimpin – pemimpin KAMI adalah maling juga. Mereka korupsi, mereka berebut kursi, ribut-ribut pesan mobil dan tukang kecap pula. Tetapi sebagian dari mereka jujur." Saya jelaskan seperti apa adanya. Juga tentang Soekarno. Saya tidak tahu apakah dia pendukung Soekarno atau bukan. Karena di seluruh daerah ini, Soekarno masih tetap merupakan mitos.
Saya katakan bahwa Soekarno telah banyak menyengsarakan rakyat. Tetapi ini tidak berarti bahwa para penentang Soekarno secara otomatis pahlawan pembela rakyat. "Banyak di antara mereka juga bajingan-bajingan dan oportunis."
Antara saya dan dan pemuda desa ini terdapat banyak sekali perbedaan-perbedaan. Pendidikan, pekerjaan, latar belakang kebudayaan, cita-cita dan lingkungan. Tetapi karena kami berbicara secara jujur dan terbuka, kontak pribadi menjadi mesra. Percakapan ini berlangsung di antara hutan-hutan pinus dan bukit-bukit botak. "Kalau sekiranya banyak pemuda Jakarta seperti kawan-kawan ini, saya masih punya harapan pada Jakarta," katanya perlahan. Baginya, Jakarta adalah sumber hipokrisi, kemunafikan dan dekadensi manusia.
Bermalam
Malam itu juga kami bermalam di Bumijawa setelah seharian berjalan. Setelah mengurus surat-surat (yang menjadi sulit karena bentrokan Ansor-GPM) dan membeli 35 buah lontong, kami tidur (numpang di rumah pemuda tersebut). Sebagian kawan masak nasi sebanyak-banyaknya untuk makan besok pagi dan siang. Pukul 05.00, kami berjalan lagi melalui Tuwel menuju desa terakhir di Kedaung. Setelah 4 jam berjalan, kami sampai ke desa tersebut. Di tengah jalan perbekalan ditambah dengan 50 buah serabi untuk 15 orang. Istirahat sejam dan selama istirahat air – air diisi dan diadakan checking terakhir. Lima belas anggota dengan 15 veldvlesh, 35 lontong, 30 serabi (sisa), beberapa rantang nasi dan makanan kering ditambah dua jug air. Kondisi fisik tidak terlalu baik karena perjalanan yang jauh selama delapan jam sebelumnya. Tetapi semangat untuk memulai pendakian baik dan suasana riang terasa. Pukul 10.00 tepat setelah doa bersama, pendakian dimulai. Jam pertama kami melalui hutan – hutan pinus. Rombongan terdepan, Maulana, Wiyana dan saya sendiri tersesat di hutan – hutan pinus yang banyak mempunyai jalan bercabang. Setelah melalui sungai kering, perjalanan sesunguhnya dimulai. Jalannya mendaki sekali, tetapi jelas dan tidak tertutup. Rombongan praktis terpecah dua. Yang berangkat pertama yang kuat – kuat. Tiga orang membawa tenda dengan instruksi agar pada pukul 16.00 sore berhenti dan segera mencari camping site.
Hutan-hutan Gunung Slamet membosankan sekali. Tidak seindah seperti Gunung Pangrango ataupun menakjubkan seperti Gunung Merapi. Jalannya panjang dan berliku – liku. Pendakian – pendakian yang terjal pada hari itu hampir tak dijumpai. Pukul 14.00 berhenti untuk makan siang dan berjalan kembali hingga pukul 17.00. Tenda yang disiapkan oleh rombongan depan telah siap dan seluruh rombongan istirahat. Untuk sampai ke puncak, kami harus melalui tiga punggung bukit. Hari pertama hanya sampai pada batas penyeberangan bukit pertama. Makan malam segera diatur, walaupun baru pukul 18.00 sore. Malam itu setiap orang mendapat sebuah lontong dan air secangkir, karena persediaan air harus dihemat. Mereka sebenarnya masih lapar dan haus, tetapi jatah malam itu hanya sedemikian. Dan "rasa sedih" ini dimanifestasikan dalam bentuk jokes. "Kalau mami gue melihat apa yang gue makan, gue ngga boleh ikut lagi deh," kata Eng Lay sambil tertawa. "Apalagi kalau mertua gue liat, disuruh putus deh sama bini gue," kata Koy.
Malam itu rombongan tidur dipecah tiga. Wanita tidur di tenda kecil. Pria delapan orang bersesakan di tenda besar. Selebihnya tidur di udara terbuka dekat api unggun. Dan sebagaimana biasa, sebelum tidur kami bergurau terus-menerus. Pada malam hari terdengar suara-suara aneh. Mungkin suara harimau kecil (macan congklok).
Keesokan Harinya
Pukul 04.00 pagi hari Kamis, semua rombongan telah bangun. Waktu untuk packing sejam dan kemudian perjalanan dimulai lagi tanpa makan pagi. Perjalanan mulai menjadi berat karena harus melewati pohon – pohon tumbang. Lebih-lebih untuk saya yang membawa ransel besar. Saya sering tersangkut-sangkut. Pukul 10.00, rombongan utama stop untuk makan pagi.
Sarapan pagi benar-benar menyedihkan. Dua blik sup dibuka dan setelah ditambah dengan air dan roti, kami masak bubur roti. Roti tawar telah dilumatkan dengan air dan dua kaleng sup dimakan berdua belas. Hemat, karena tak usah minum lagi. Haus sudah sangat terasa karena perjalanan yang lama. Tetapi persediaan air harus dihemat. Untuk menahan haus diberikan gula merah dan beberapa mahasiswa makan mangga muda agar air liur keluar. Tetapi obat satu-satunya dari haus hanyalah air.
Dua jam kemudian, kami sampai di sebuah daerah rerumputan. Pohon-pohon tidak ada lagi dan puncak Gunung Slamet telah kelihatan. Botak dan terjal. "Akhirnya kelihatan juga si Botak," kawan-kawan mulai bergurau. Gunung Slamet diganti menjadi si Botak. Sebelum batas hutan terakhir, terdapat sebuah gua. Mereka yang ingin mendaki Gunung Slamet biasanya bermalam di gua ini, karena agak terlindung dari angin malam yang sangat dingin. Waktu kami sampai di sana, terdapat serombongan pendaki gunung lain dari Indonesian Mountain Triper, Bogor. Sangat senang sekali bertemu dengan rombongan lain di tengah puncak gunung yang sepi ini. Sebagian dari kami ngobrol-ngobrol dengan mereka. Sebagian lagi ngobrol dengan pembawa beban mereka yang berjumlah beberapa orang. Pukul 12.30 pendakian terakhir dimulai. 300 meter terakhir sangat sulit. Kemiringan jalan kira-kira 60 derajat dan arealnya botak. Di sana-sini batu-batu besar dan di mana-mana terdapat pasir. Jalan harus hati-hati, karena tak ada tempat berpegang dan kalau jatuh akan terguling-guling di atas batu-batu padas dan pasir. Jarak 300 meter terakhir kami tempuh setengah jam.
Para wanita naik dengan separuh digeret. Darmatin, Yudi dan saya menggeret wanita-wanita itu. "Gunung ini tidak untuk honeymoon," begitu komentar Udin sebelum ia mendaki. Di kalangan para anggota Mapala ada cita-cita bahwa kalau mereka mendapatkan jodoh seorang pecinta alam, akan honeymoon di puncak gunung dan `mendengarkan konser burung-burung hutan'. Sebuah kata-kata yang umum di kalangan anggota Mapala, kalau mereka melamun tentang perkawinan. Dan Gunung Slamet, karena arealnya terlalu berat, pastilah bukan gunung yang ideal untuk honeymoon. Setidaknya untuk Udin.
Sampai di Puncak
Kira-kira pukul 14.00 siang, kami sampai di puncak Slamet. Lima belas meter di bawah kami terdapat lautan pasir (zandzee). Dan kawah gunung yang bagus sekali. Kawahnya jauh lebih besar dari Ciremai dan benar-benar mengagumkan. Dinding-dindingnya terjal dan curam. Di sana-sini kelihatan asap belerang mengepul dengan warna kuning dan hijau. Di pasir itu sendiri berjajar batu-batu dari berbagai organisasi dan pribadi yang pernah sampai ke sini. Dan satu di antara tulisan-tulisan itu "Aku Pendukung Soekarno". Ada beberapa kawan yang ingin menghapusnya, tetapi dilarang. Saya katakan bahwa kita harus menghormati the right of dissent. Dan setiap orang berhak untuk setuju ataupun tidak setuju dengan Soekarno.
Setengah tiga seluruh rombongan (kecuali dua wanita yang tak sanggup lagi berjalan) turun ke lautan pasir. Kami semua berdoa untuk keselamatan perjalanan ini, walaupun pulangnya masih jauh. Pukul tiga kami makan siang. Sekaleng kornet dibagi berlima belas sekadar tambahan kalori saja. Semuanya haus dan lapar. Setelah itu rombongan pulang kembali, karena keadaan fisik para anggota telah menurun sekali. Dua jam kemudian seluruh rombongan telah sampai pada batas hutan. Air kira-kira masih setengah juga. Kalau dibagi rata setiap orang akan mendapat secangkir teh. Setelah konsultasi dengan mahasiswa senior, diputuskan bahwa rombongan tidak akan berkemah dan akan jalan terus tanpa istirahat sampai desa. Jalan malam tidak banyak mengeluarkan tenaga. Kalau kami bermalam lagi dan berjalan lagi, dan berjalan tengah hari situasi akan sulit karena haus.
Mereka tidak diberi air, melainkan semua sisa air (kecuali veldvlesh) akan dimasak menjadi susu. Dan sore itu semuanya mendapat susu secangkir sebelum jalan. Makan malam ditiadakan. Untuk kalori diberikan gula. Pukul 06.00 rombongan pertama berangkat. Setengah jam kemudian rombongan kedua.
Pulang
Suasana sangat tidak ideal. Lapar, lelah, haus membuat semua orang sangat peka dan mudah tersinggung. Walaupun disiplin Mapala kuat, tetapi kadang-kadang terjadi `konsluiting' juga. Di tengah jalan, kira-kira pukul 23.00 malam rombongan dipecah dua. Rombongan pertama jalan dahulu dipimpin oleh Maulana dan saya sendiri. Rombongan kedua dipimpin oleh Darmatin.
Perjalanan rombongan pertama cukup baik, kecuali tersesat di hutan pinus dan beberapa clash kecil. Makin sulit keadaan, disiplin harus diperkeras dan hal ini membuat suasana kurang harmonis walaupun mereka semuanya patuh. Pukul empat lewat seperempat rombongan sampai di desa. Selama perjalanan, penyakit haus berkecamuk. Ada di antara yunior kami yang telah begitu "haus". Dia membuka veldvlesh-nya (yang telah kosong) dan minum. Padahal airnya telah tiada. Waktu saya tanyakan mengapa, jawabnya bahwa dengan membuka tutup veldvlesh dan pura-pura minum dia merasa sejuk. Setelah sampai di Kedaung, semuanya tidur di pos ronda malam. Ternyata kami hanya berani minum sedikit saja karena takut sakit.
Rombongan kedua lebih sial lagi. Dua di antara wanita itu sudah begitu lemah kondisinya. Dalam keadaan haus, lapar dan lelah mulai timbul hal-hal yang aneh. Halusinasi mulai datang pada mereka yang lelah. Mula-mula dia pingsan sebentar dan dari mulutnya terdengar suara: "Saya tidak mau lihat lagi." Kawan-kawan yang `mistik’ percaya bahwa ia telah melihat setan. Mulailah keluar doa-doa anti setan. Yang Islam menyebut ayat-ayat Alquran. Bahkan ada pula yang berdoa secara Protestan walaupun ia seorang Islam. Karena keadaan telah krisis rombongan berhenti dan berkemah. Tak lama seorang pergi kencing ke balik pohon. Ia merasa melihat kaki yang berbulu dan menjerit. "Setan!" katanya. Suasana benar-benar jadi kritis. Anak-anak yang merasa melihat setan dipaksa tidur dan rebah. Mereka istirahat empat jam dan baru sampai ke desa kira-kira pukul delapan pagi.
Saya sendiri tidak percaya pada setan, walaupun orang-orang yang kami tanyai menyatakan bahwa Gunung Slamet adalah gunung yang angker. Mereka yang merasa melihat setan adalah yang justru paling lemah kondisi fisiknya. Dalam keadaan ini mudah sekali timbul halusinasi. Saya sendiri pernah tidur sendirian di hutan yang sama selama satu jam dan tidak ada seekor setan pun yang datang berkunjung. Sebagian kawan-kawan Mapala percaya bahwa memang ada setan yang mau mengganggu, sebagian lagi menganggap bahwa yang ada hanyalah halusinasi. Tetapi pembicaraan pagi itu, hari Jumat, adalah tentang setan-setan yang `berkunjung’ ke Mapala.
Pagi itu kami istirahat tiga jam di desa. Mandi, masak makanan, tiduran dan ngobrol. Dalam hati timbul perasaan puas dan bangga karena telah berhasil menaklukkan Slamet. Langkah selanjutnya adalah Semeru.
Tell them the difficulties can't be counted and let them are not only what will be but see with clairity these present times. Say obstacles exist they must encounter sorrow happens, hardship happens.
The hell with it. Who never knew the price of happiness will not be happy. Forgive no error you recognize it will repeat it self, increase and afterwards our pupils will not forgive in us what we forgave (Yevtushenko, Lies)
Kira-kira pukul 10.00, kami meninggalkan Desa Kedaung. Di belakang kami Gunung Slamet menjulang. Dalam hati timbul kebanggaan, karena saya telah berhasil membawa rombongan Mapala ke puncaknya. Perjalanan antara Kedaung-Tuwel adalah perjalanan yang membosankan. Panas, dan kami semua lelah. Di jalan kami berhenti beberapa kali.
Beberapa kilometer sebelum Tuwel, rombongan terdepan berhenti. Mereja sedang makan gado-gado dan membeli mangga muda. Harganya cukup murah. Sebuah Rp. 1,00. Terlihat kawan-kawan berkerumun di depan rumah.
"Mengapa tidak masuk?" tanya saya pada mereka. "Dilarang. Mereka yang baru turun Gunung Slamet tidak boleh masuk sampai Lebaran. Orang desa ini punya kepercayaan itu," kata seorang kawan. Ketika kami sedang makan mangga muda, tiba-tiba sebuah truk kayu berhenti. Supirnya menawarkan kami `ngompreng' sampai Slawi.
Buru-buru semuanya naik truk kayu ini. Isinya sudah penuh sekali, sedangkan kami berlima belas. "Mau ditaruh di mana?" tanya saya dalam hati. Tetapi rupa-rupanya soal penuh sesak sudah biasa bagi truk-truk omprengan di sini. Empat orang ditaruh di belakang di antara kayu-kayu jati. Saya sendiri, Satrio, Maulana dan Judi. Tiga orang wanita duduk di dalam bersama tentara yang ngompreng. Selebihnya duduk di bumper dan yang lainnya berdiri di tangga dekat sopir. Persis seperti sardin. Tetapi hal ini belum terlalu aneh. Saya pernah ngompreng ke Cisolok (12 km di sebelah barat Pelabuhan Ratu) mobil yang saya tumpangi baru dianggap penuh kalau atasnya sudah diisi orang. Ketika saya tanyakan kepada polisi setempat mengapa hal ini dibiarkan, jawabnya sederhana sekali: "Tidak ada mobil, penumpang - penumpangnya terlalu banyak." Sebagai orang Jakarta, saya malu sendiri melihat ribuan mobil yang ada di kota saya.
Dan mobil yang saya anggap overloaded ini kemudian dimuati lagi di Tuwel. Penumpang baru ini duduk di dekat lampu mobil. Inilah kenyataan di desa-desa pedalaman Pulau Jawa. Sepanjang jalan yang jauhnya 30 km ini terlihat landscape kering dan dan berbau. Mereka yang menggelantung di belakang, warnanya sudah putih coklat karena abu. Blue jeans yang saya pakai juga menjadi putih karena abu.
Ribut Angkut Beras
Di mobil, saya hampir-hampir tertidur karena ngantuk. Saya berusaha setengah mati agar jangan tertidur karena bergelantungan dan tidak duduk secara sempurna. Akhirnya kami sampai ke Slawi kira-kira jam setengah empat. Kami membayar Rp. 350,00 untuk lima orang. Dari sana mencari oplet yang kemudian menuju Tegal. Dalam rencana, kami akan naik kereta api malam dan di Tegal akan menunggu di tempat Satrio (bibinya).
Waktu kami sampai di stasiun, ternyata tarif Tegal – Jakarta Rp. 210,00 dan bukannya Rp. 155,00. Uangnya tidak cukup untuk naik KA malam. Dan bersamaan dengan itu, datang KA barang yang akan pergi ke Jakarta. Saya putuskan untuk segera naik KA barang dan membayar di atas. Pasti harganya lebih murah dari KA penumpang.
Setelah kami naik, mulailah gerbong ditumpuk dengan beras. Entah berapa puluh karung beras yang dimasukkan. Suasananya sangat kacau – balau. Wanita – wanita tukang beras berteriak-teriak, menuntut agar karungnya diangkut dahulu. Dan mereka bersama para kuli saling sikut. Naik pula beberapa orang tentara. Dua di antara mereka rupa-rupanya `war-lod’ alias tukang pukul untuk tukang-tukang beras ini. Tentara ini (seorang bintara) ditakuti sekali dan bertanya (setelah karung-karung diangkat) barang-barang apa yang dibawa. Salah seorang dari mereka mendekati rombongan kami dan agak kasar bertanya: "Bawa beras atau tidak." Saya dongkol juga. Seorang dari kami menjawab dengan ketus: "Tidak, kami hanya membawa alat-alat perkemahan." Kemudian mereka mulai beraksi. Para tukang beras ini dimintai uang. Setiap tukang beras dan penumpang membayar Rp. 5,00 untuk pajak tidak resmi. Rombongan saya sama sekali tidak dimintai. Mereka segan rupanya.
Lalu datang kondektur. Dia menagih lagi uang rata-rata Rp. 10,00 untuk tiap penumpang. Kepada rombongan kami dia minta Rp. 15,00. Rupa-rupanya tentara ini segan minta dari kami, jadi dia menyuruh kondektur (yang sudah tua) memintanya. Dalam hati kawan-kawan Mapala muak sekali melihat cara-cara ini. Kami bayar Rp. 200,00 dan kondektur tidak berbicara apa-apa. Terus terang saja, saya sayang mengeluarkan uang Rp. 5,00 untuk `tukang-tukang pukul’ yang menyalahgunakan status ABRI-nya.
Berbicara tentang tukang pukul beras, saya ingat sejarah `penghinaan’ wanita-wanita Indonesia. Sejak zaman Jepang, tukang-tukang beras wanita ini sudah mulai muncul. Mereka hidup dari selisih harga beras di Jawa Tengah dan Jakarta. Dan agar beras mereka selamat, mereka mencoba mencari koneksi dengan jagoan-jagoan sepanjang jalan.
Pada waktu revolusi, KA di-stop di garis demarkasi Republik dekat Krawang atau Bekasi. Mereka diperiksa oleh pemuda-pemuda laskar. Untuk memudahkan pemeriksaan, mereka tanpa segan-segan mengorbankan dirinya. Diciumi, dipegang-pegang buah dadanya, bahkan sampai hubungan seksual, demi nafkah. Di daerah batas Belanda, serdadu-serdadu Gurkha (dan juga kemudian serdadu-serdadu Belanda – termasuk Belanda hitam) melakukan hal-hal yang sama. Saya mulai `tahu’ soal ini melalui karya-karya Pramudya Ananta Toer tentang para tukang beras. Sekarang hal tadi masih berlangsung walaupun tidak se-`kotor’ dahulu. Di kereta barang itu, saya lihat salah seorang tukang pukul itu sedang mesra-mesraan dengan salah seorang tukang beras yang masih muda. Mereka tidak melakukan apa-apa, mungkin karena banyak orang.
Menjelang Brebes, pintu ditutup. Kami tanyakan pada kondektur, mengapa, karena suasana dalam KA barang sangat panas. "Ini sebentar saja, nanti setelah lewat Brebes akan dibuka lagi. Sebab kalau kelihatan polisi bisa susah." Saya tidak tahu, berapa banyak dari karung-karung beras itu yang memang punya surat terang dan membayar pada Jawatan KA.
Kira-kira pukul 18.00, kami sampai di Cirebon. Waktu itu kami belum tahu di mana akan bermalam, karena dalam rencana Cirebon tidak akan disinggahi. Akhirnya saya datang ke rumah bibi, seorang pemilik toko di sana.
Karena pertolongan bibi, akhirnya kami mendapatkan kamar di sebuah hotel kenalan. Ternyata pemiliknya adalah salah seorang paman dari anggota rombongan. Hotel kecil itu kosong sama sekali. Malam itu kami bermalam di Cirebon. Dan sebelum kami tidur, keluarga bibi mentraktir seluruh rombongan makan malam. Dan malam itu kami makan banyak sekali. "Bayangkan," seorang kawan berkata, "Dua puluh empat jam yang lalu, kita sedang kehausan, lapar, ngantuk dan capai. Sekarang kita makan sepuas-puasnya. Memang bagi manusia-manusia seperti kita, antara kesengsaraan dan kenikmatan hanya soal satu langkah." Kami semuanya tertawa. Malam itu kami tidur nyenyak sekali.
Pancasila dan Manipol
Pukul 05.00 pagi, kami sudah di stasiun Cirebon. Tujuan adalah Cikampek dengan KA yang pertama. Pukul 05.15 KA berangkat. Kereta api yang kami naiki adalah kereta api langsam yang berhenti di setiap stasiun. Sepanjang jalan kami nyanyi-nyanyi dan beberapa di antara kami tertidur.
Desa-desa yang kami lewati adalah desa-desa yang gersang. Di mana-mana terlihat tulisan Pancasila. "Pancasila Jiwaku", "Hidup Mati Bersama Pancasila" dan slogan – slogan lainnya. Di mana-mana Pancasila, seperti juga di mana-mana kemiskinan. Saya sedih lagi melihat inflasi Pancasila. Bulan Juli 1965 saya keliling Jawa Tengah. Demikian pula pada bulan September 1965 bersama-sama Mapala mendaki Gunung Merapi. Di mana-mana terdapat slogan Nasakom. "Nasakom Jiwaku", "Anti – Nasakom = Anti – Pancasila". Atap – atap rumah dicat dengan USDEK. Dan gerbong-gerbong ditulisi dengan Manipol.
Saya katakan pada Satrio, "Sat, coba kamu ganti Pancasila dengan Nasakom. Ampera dengan Revolusi. Manipol dengan Catur Karya dan Dwi Dharma Kabinet Ampera, Nekolim dengan Subversif Cina RRC. Semuanya akan klop deh." Dia terdiam. Dalam kereta api ucapan Pak Said terdengar kembali, "Dalangnya telah diganti, wayangnya telah berubah, tetapi lakonnya tetap sama." Lakon yang tragis. Kisah seratus sepuluh juta manusia Indonesia yang menjilat-jilat dan membutakan mata dengan slogan. Cry, my beloved country. Semoga kisah duka ini cepat berakhir.
Berbicara tentang Pancasila, saya ingat pengalaman lucu dari Darmatin, wakil pemimpin rombongan. Waktu dia mencari rumah bibi saya, dia punya satu petunjuk. "Bibi si Soe tinggal di toko Pancasila." Dia keliru membaca nama toko bibi dengan papan slogan Pancasila yang (harus) dipasang di setiap toko di Cirebon untuk meresapi jiwa Pancasila. "Gue kira papan itu nama toko," katanya sambil tertawa ketika saya tanyakan mengapa dia keliru masuk rumah. Kalau saya menjadi Pak Harto, saya akan instruksikan agar lambang Pancasila hanya dipasang di tempat-tempat yang layak saja. Misalnya di kantor sekolah, DPR, markas ABRI, ruang kerja menteri, gubernur, aula untuk tempat – tempat acara resmi dan lain – lainnya. Dan tidak di stasiun, pintu gerbang reyot, atap rumah dan toko ikan asin serta warung kopi. Tetapi, saya bukan Pak Harto.
Menunggu 4 Jam
Jam setengah satu siang, rombongan sampai di stasiun Cikampek. Langsung kami naik KA menuju ke Jakarta. Waktu itu kami sudah lapar dan mau beli makanan di stasiun. Tetapi ternyata tidak ada penjual makanan. "Biasanya banyak sekali penjual makanan," gerutu beberapa kawan. Terpaksa beberapa orang keluar mencari makanan di Karawang. Kira – kira pukul setengah dua kami sampai di Karawang. Keadaannya sepi. Tak ada penjual makanan, tidak ada gembel (yang biasanya banyak) dan pakaian para petugas KA bersih serta berdasi. Kami mulai heran, setelah setengah jam KA belum juga jalan. Beberapa orang akhirnya datang ke masinis dan bertanya. Jawabannya sungguh mengejutkan. "Kita tak boleh jalan sampai pukul lima, karena ada rombongan Paduka Presiden yang ke Jatiluhur." Dan ditambahkan pula bahwa terdapat ratusan `bapak – bapak’ yang ikut Pak Harto. Beberapa kawan mulai mengerumuni masinis. Datang pula beberapa penumpang lain dan akhirnya menjadi obrolan – obrolan untuk melewatkan waktu.
"Memangnya negara ini milik mereka," kata salah seorang kawan dengan mendongkol. Pak Harto akan lewat pukul lima. Jarak antara Karawang – Jakarta paling lama hanya satu setengah jam. Tetapi sejak pukul satu semua telah ditutup. Seperti kalau Babe mau lewat saja. Para gembel dibersihkan, penjual – penjual makanan diusir. "Itu kan nipu diri sendiri."
Masinisnya diam saja dan tersenyum. "Kita cuma rakyat kecil. Kalau disuruh jalan, ya kita jalan. Disuruh tunggu ya kita tunggu," jawaban khas dari seorang manusia yang telah patah semangatnya karena penderitaan. "Seperti zaman Jepang saja," celetuk seorang bintara yang ikut ngobrol – ngobrol. " Kalau Jepang mau lewat, semua jalan ditutup. Sama saja zaman dulu sama sekarang," katanya meringis.
Tindakan – tindakan kecil seperti ini kadang – kadang menyakitkan hati sekali. Kita semua mengerti bahwa untuk tindakan – tindakan keamanan harus ada sejumlah persiapan yang baik. Beberapa trayek KA harus ditunda. Akan tetapi menunda 4 jam padahal jalan yang mau ditempuh tinggal satu jam setengah sungguh – sungguh menjengkelkan. Sikap ala Soekarno betul – betul sangat memalukan.
Saya pribadi melihat, lebih baik Pak Harto diterima secara wajar. Biarlah beliau melihat gembel-gembel, tukang – tukang dagang dan sisi – sisi hitam dari Indonesia. Janganlah semuanya ditutup-tutupi sehingga beliau punya kesan yang baik – baik saja tentang bangsa yang dipimpinnya. Soeharto bukan Soekarno. Dia lebih dewasa dari bekas Pemimpin Besar Revolusi kita. Makin banyak gembel, penganggur, pelacur, korupsi yang dilihatnya, makin baik.
Pukul setengah lima KA jalan lagi, karena rombongan para penggede telah lewat. Satu seperempat jam kemudian kami tiba kembali di Jakarta. Setelah 5 hari meninggalkannya, setelah melihat begitu banyak sisi lain dari negara Indonesia tercinta, setelah perjalanan yang begitu melelahkan. Semuanya akan menjadi ragi untuk diri masing – masing. Bangsa yang besar adalah bangsa yang sehat tubuhnya. Pemuda-pemuda sakitan tidak mungkin menyelesaikan tugas-tugas pembangunan. Dan untuk itulah saya selalu mau membawa rombongan mendaki gunung.




Tulisan ini pernah dimuat di Surat Kabar Harian Kompas tanggal 14, 15, 16, dan 18 September 1967.

Catatan perjalanan diambil dari buku "Zaman Peralihan", isinya merupakan kumpulan tulisan Soe Hok Gie yang pernah dimuat di berbagai media massa.

1 comment: